ACT Bersama Pakar Manajemen Bencana PBB Berikan Edukasi Mitigasi Bencana
A
A
A
JAKARTA - Kondisi geografis menjadikan Indonesia sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Pendidikan dan mitigasi bencana menjadi elemen penting untuk mengurangi risiko bencana.
Hal ini menjadikan Center of Excellence Kebencanaan perlu direalisasikan sebagai wujud pengalaman panjang ACT di bidang kebencanaan. Gagasan ini menjadi topik utama yang disampaikan Dr Puji Pujiono, MSW, seorang Pakar Manajemen Bencana PBB dalam acara “Sharing with The Master” pada Kamis (4/7/2019).
Tahun 2018 lalu, dua ibu kota provinsi di Indonesia dilanda gempa besar: Mataram di Lombok dan Palu di Sulawesi Tengah. Ratusan penduduknya dinyatakan meninggal dunia akibat tak sempat menyelamatkan diri.
Potensi bencana besar pun mengancam kota lain dengan penduduk padat, sebut saja Bandung di Jawa Barat dengan sesar Lembangnya. Ada pula Jakarta dengan Sesar Baribis yang masih misteri melintang di selatan ibu kota.
Puji Pujiono sebagai Penasihat Senior The Pujiono Centre mengatakan, sudah sepatutnya masyarakat perkotaan waspada pada ancaman bencana. Mereka perlu memahami risiko di lingkungan tempat mereka menetap.
“Pengetahuan, praktik keamaan, serta penyelamatan diri perlu dibekali ke semua penduduk, termasuk yang tinggal di perkotaan. Bencana alam tak mengenal waktu kapan akan datang. Malah terkadang masyarakat lupa, padahal tahu kalau mereka menepatkan diri mereka di jalur bencana,” ujar Puji dalam rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (7/7/2019).
Sebagian besar penduduk Indonesia, berdasarkan Megatrend pada tahun 2035 akan tinggal di perkotaan. Angkanya mencapai 85%. Mereka akan mendapatkan fasilitas hidup yang lebih lengkap dibandingkan pedesaan. Namun, kewaspadaan akan risiko bencana terkadang masih diabaikan.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat dapat dimanfaatkan untuk mengurangi dampak dari bencana alam serta bencana kemanusiaan yang mungkin saja terjadi setelahnya. Penyebaran informasi yang cepat dan manusia yang saling terhubung dapat mencegah risiko bencana yang besar.
Puji menyebutkan, ke depannya dengan memanfaatkan teknologi, masyarakat dapat semakin mudah mengunduh sendiri informasi berkenaan dengan bencana. Mereka dapat memproses dan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang didapat. “Teknologi bakal menjadi penentu suksesnya pengurangan dampak bencana,” jelasnya.
Sejauh ini di Indonesia, pemanfaatan teknologi di bidang kebencanaan sudah dilakukan. Walau belum maksimal, ini menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk hidup aman di tanah yang penuh ancaman bencana, seperti Indonesia.
Pemerintah sebagai pemilik tanggung jawab besar atas keselamatan masyarakatnya mutlak menghindari potensi terburuk dari bencana. Puji menuturkan, kehadiran lembaga swadaya masyarakat yang melibatkan masyarakat sipil juga memiliki peran besar di tengah pemerintah yang tak mampu mengatasi dampak bencana secara menyeluruh.
“Saling bersinergi, memanfaatkan teknologi menjadi solusi terbaik antara pemerintah, LSM, serta masyarakat sipil. Mereka saling melengkapi dan bekerja sama untuk menyelamatkan sesama. Walau tak jarang, pemerintah dengan LSM tak satu pandangan dalam suatu hal, tak jadi masalah. Itulah seninya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat,” tutup Puji yang pernah bekerja di PBB selama 25 tahun.
Hal ini menjadikan Center of Excellence Kebencanaan perlu direalisasikan sebagai wujud pengalaman panjang ACT di bidang kebencanaan. Gagasan ini menjadi topik utama yang disampaikan Dr Puji Pujiono, MSW, seorang Pakar Manajemen Bencana PBB dalam acara “Sharing with The Master” pada Kamis (4/7/2019).
Tahun 2018 lalu, dua ibu kota provinsi di Indonesia dilanda gempa besar: Mataram di Lombok dan Palu di Sulawesi Tengah. Ratusan penduduknya dinyatakan meninggal dunia akibat tak sempat menyelamatkan diri.
Potensi bencana besar pun mengancam kota lain dengan penduduk padat, sebut saja Bandung di Jawa Barat dengan sesar Lembangnya. Ada pula Jakarta dengan Sesar Baribis yang masih misteri melintang di selatan ibu kota.
Puji Pujiono sebagai Penasihat Senior The Pujiono Centre mengatakan, sudah sepatutnya masyarakat perkotaan waspada pada ancaman bencana. Mereka perlu memahami risiko di lingkungan tempat mereka menetap.
“Pengetahuan, praktik keamaan, serta penyelamatan diri perlu dibekali ke semua penduduk, termasuk yang tinggal di perkotaan. Bencana alam tak mengenal waktu kapan akan datang. Malah terkadang masyarakat lupa, padahal tahu kalau mereka menepatkan diri mereka di jalur bencana,” ujar Puji dalam rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (7/7/2019).
Sebagian besar penduduk Indonesia, berdasarkan Megatrend pada tahun 2035 akan tinggal di perkotaan. Angkanya mencapai 85%. Mereka akan mendapatkan fasilitas hidup yang lebih lengkap dibandingkan pedesaan. Namun, kewaspadaan akan risiko bencana terkadang masih diabaikan.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat dapat dimanfaatkan untuk mengurangi dampak dari bencana alam serta bencana kemanusiaan yang mungkin saja terjadi setelahnya. Penyebaran informasi yang cepat dan manusia yang saling terhubung dapat mencegah risiko bencana yang besar.
Puji menyebutkan, ke depannya dengan memanfaatkan teknologi, masyarakat dapat semakin mudah mengunduh sendiri informasi berkenaan dengan bencana. Mereka dapat memproses dan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang didapat. “Teknologi bakal menjadi penentu suksesnya pengurangan dampak bencana,” jelasnya.
Sejauh ini di Indonesia, pemanfaatan teknologi di bidang kebencanaan sudah dilakukan. Walau belum maksimal, ini menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk hidup aman di tanah yang penuh ancaman bencana, seperti Indonesia.
Pemerintah sebagai pemilik tanggung jawab besar atas keselamatan masyarakatnya mutlak menghindari potensi terburuk dari bencana. Puji menuturkan, kehadiran lembaga swadaya masyarakat yang melibatkan masyarakat sipil juga memiliki peran besar di tengah pemerintah yang tak mampu mengatasi dampak bencana secara menyeluruh.
“Saling bersinergi, memanfaatkan teknologi menjadi solusi terbaik antara pemerintah, LSM, serta masyarakat sipil. Mereka saling melengkapi dan bekerja sama untuk menyelamatkan sesama. Walau tak jarang, pemerintah dengan LSM tak satu pandangan dalam suatu hal, tak jadi masalah. Itulah seninya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat,” tutup Puji yang pernah bekerja di PBB selama 25 tahun.
(kri)