Hikmahanto: NKRI Belum Aman dari Ancaman Negara Lain
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengingatkan hingga kini NKRI belum aman dari ancaman luar. Bahkan, ancaman itu terjadi di berbagai wilayah NKRI, baik darat, laut maupun udara.
Di darat misalnya, pemerintah Indonesia dan Malaysia masih bersengketa soal batas wilayah Camar Bulan. Sengketa juga terjadi di Nunukan, karena banyak warga di sana yang memiliki KTP ganda. Sedangkan, perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini kerap digunakan anggota kelompok terlarang untuk melakukan penyerangan terhadap aparat. Selain itu, ada juga para pendatang di wilayah perbatasan yang terlibat dalam illegal trafficking maupun penyelundupan.
”Perselisihan itu harus diselesaikan melalui meja diplomasi, dan tidak boleh dibiarkan berlarut yang hanya merugikan kepentingan kedua belah pihak,” kata Hikmahanto di hadapan peserta Round Table Discussion dengan tema “Wilayah Negara dan Pertahanan dan Keamanan Negara Menurut UUD RI Tahun 1945” yang digelar Lembaga Pengkajian MPR di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Sementara di wilayah laut, kata Hikmahanto, Indonesia dan Malaysia juga terlibat dalam over lapping claim karena perbedaan pemakaian peta yang digunakan untuk menentukan batas wilayah. Over lapping claim juga terjadi antara Indonesia dan Vietnam hingga menimbulkan aksi penabrakan kapal patroli Indonesia oleh kapal Vietnam. Sengketa di perairan juga terjadi antara Indonesia dengan China. Indonesia tidak mengakui adanya sembilan gari putus sedangkan China tidak menerima Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
”Kalau sengketa-sengketa ini sampai menyeret emosi masyarakat, pemerintah kedua negara pasti akan lebih sulit menyelesaikan persoalan tersebut. Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat dengan penuh kehati-hatian, agar tidak melibatkan emosi warga yang hanya akan memperkeruh suasana,” kata Hikmahanto.
Presiden Indonesia Institute for Maritime Studies, Connie Rahakundini Bakrie, menambahkan, rencana pemerintah Joko Widodo (Jokowi) menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia masih jauh panggang dari api. Karena itu, pada periode kedua kekuasaan Jokowi, pemerintah harus melakukannya secara lebih serius. Tidak hanya mendorong dan mengedepankan Angkatan Laut, tapi juga angkatan yang lain.
Sayangnya, hingga kini sistem keamanan yang dipakai terbilang sudah ketinggalan zaman. Karena sistem pertahanan keamanan yang dianut bukan berbasis pada ancaman, namun memakai basis anggaran. Cara ini membuat kemajuan yang dicapai sangat lamban.
”Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia salah satu yang harus segera diwujudkan adalah membetuk pasukan khusus dari trimatra, minimal untuk kawasan tertentu dahulu. Kalau ini saja tak kunjung teralisasi maka cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia tidak akan pernah tercapai,” kata Connie.
Karena itu, menurut dia, saat ini Indonesia membutuhkan seorang panglima yang berani dan bersikap tegas. Termasuk berani mempertaruhkan tongkat komandonya demi menegakkan kehormatan bangsa dan negara Indonesia.
Di darat misalnya, pemerintah Indonesia dan Malaysia masih bersengketa soal batas wilayah Camar Bulan. Sengketa juga terjadi di Nunukan, karena banyak warga di sana yang memiliki KTP ganda. Sedangkan, perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini kerap digunakan anggota kelompok terlarang untuk melakukan penyerangan terhadap aparat. Selain itu, ada juga para pendatang di wilayah perbatasan yang terlibat dalam illegal trafficking maupun penyelundupan.
”Perselisihan itu harus diselesaikan melalui meja diplomasi, dan tidak boleh dibiarkan berlarut yang hanya merugikan kepentingan kedua belah pihak,” kata Hikmahanto di hadapan peserta Round Table Discussion dengan tema “Wilayah Negara dan Pertahanan dan Keamanan Negara Menurut UUD RI Tahun 1945” yang digelar Lembaga Pengkajian MPR di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Sementara di wilayah laut, kata Hikmahanto, Indonesia dan Malaysia juga terlibat dalam over lapping claim karena perbedaan pemakaian peta yang digunakan untuk menentukan batas wilayah. Over lapping claim juga terjadi antara Indonesia dan Vietnam hingga menimbulkan aksi penabrakan kapal patroli Indonesia oleh kapal Vietnam. Sengketa di perairan juga terjadi antara Indonesia dengan China. Indonesia tidak mengakui adanya sembilan gari putus sedangkan China tidak menerima Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
”Kalau sengketa-sengketa ini sampai menyeret emosi masyarakat, pemerintah kedua negara pasti akan lebih sulit menyelesaikan persoalan tersebut. Karena itu, pemerintah harus bertindak cepat dengan penuh kehati-hatian, agar tidak melibatkan emosi warga yang hanya akan memperkeruh suasana,” kata Hikmahanto.
Presiden Indonesia Institute for Maritime Studies, Connie Rahakundini Bakrie, menambahkan, rencana pemerintah Joko Widodo (Jokowi) menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia masih jauh panggang dari api. Karena itu, pada periode kedua kekuasaan Jokowi, pemerintah harus melakukannya secara lebih serius. Tidak hanya mendorong dan mengedepankan Angkatan Laut, tapi juga angkatan yang lain.
Sayangnya, hingga kini sistem keamanan yang dipakai terbilang sudah ketinggalan zaman. Karena sistem pertahanan keamanan yang dianut bukan berbasis pada ancaman, namun memakai basis anggaran. Cara ini membuat kemajuan yang dicapai sangat lamban.
”Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia salah satu yang harus segera diwujudkan adalah membetuk pasukan khusus dari trimatra, minimal untuk kawasan tertentu dahulu. Kalau ini saja tak kunjung teralisasi maka cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia tidak akan pernah tercapai,” kata Connie.
Karena itu, menurut dia, saat ini Indonesia membutuhkan seorang panglima yang berani dan bersikap tegas. Termasuk berani mempertaruhkan tongkat komandonya demi menegakkan kehormatan bangsa dan negara Indonesia.
(cip)