Memicu Ketimpangan, Tunjangan PNS Akan Ditertibkan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyebut perlu ada penertiban tunjangan pegawai negeri sipil (PNS). Pasalnya hal ini memicu ketimpangan pendapatan PNS satu dengan yang lainnya.
Tjahjo mencontohkan pendapatan eselon I di kementerian/lembaga lebih kecil dibandingkan eselon II di pemerintah daerah (pemda). Misalnya uang harian perjalanan dinas. “Eselon I Kemendagri mengeluh ke saya, kalau kami tugas ke Papua atau Aceh yang jauh-jauh uang hariannya hanya Rp375.000 per hari. Tapi ada satu kabupaten/kota mayoritas di Jawa uang hariannya Rp1,2 juta,” ungkap Tjahjo saat pembukaan Sosialisasi Permendagri tentang Penyusunan APBD 2020 di di Jakarta kemarin.
Politisi PDIP ini mengatakan hal tersebut perlu ditertibkan dan diatur dengan baik. Namun tentunya perlu diatur secara bersama-sama. “Ini coba akan kita tertibkan dan kita atur dalam kerangka persiapan kenaikan tunjangan yang mungkin akan dipersiapkan dengan baik. Tunjangan kinerja akan ditata dengan baik. Ini perlu kesepahaman dan kesepakatan kita bersama-sama,” pungkasnya.
Tjahjo juga menyebut ada delapan masalah dalam belanja daerah. Mulai dari masalah penganggaran sampai kelebihan pembayaran. “Delapan poin ini menjadi masalah yang harus menjadi perhatian saya dan bapak/ibu sekalian. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” ungkapnya.
Masalah belanja daerah yang pertama adalah penganggaran tidak sesuai dengan subtansi. Kedua realisasi belanja tidak sesuai dengan alokasi anggarannya. Ketiga kelebihan pembayaran honorarium. Kemudian kelebihan pembayaran pada belanja barang dan jasa, termasuk jasa konsultasi. Kelima adalah adanya kelebihan pembayaran belanja modal. “Keenam adalah penyaluran belanja program yang belum dapat dimanfaatkan. Ketujuh penyaluran belanja barang ke masyarakat yang tidak memadai. Terakhir adalah pertanggungjawaban belanja yang kurang tertib,” tuturnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri Syarifuddin mengatakan terjadinya ketimpangan tunjangan kinerja ataupun dana perjalanan dinas disebabkan standar satuan harga yang ditetapkan masing-masing daerah.“Memang beberapa daerah yang menetapkan ketentuan itu sudah di luar kepatutan dan kewajaran. Misalnya soal uang harian perjalanan dinas. Lalu tunjangan kinerja,” tuturnya.
Syarifuddin menyebut terdapat daerah yang dana perjalanan dinas relatif kecil. Sementara di beberapa daerah lainnya cukup tinggi, bahkan ada yang mencapai Rp3 juta per hari.“Sementara kami yang bersumber dari APBN, uang harian perjalanan dinas tergantung tujuannya kemana. Tapi kalau dirata-rata kurang lebih Rp400.000. Artinya memang ada kesenjangan antara standar harga satuan di APBD dan APBN. Itu yang akan dikoreksi,” ungkapnya.
Dia mengatakan memang dalam era desentralisasi ada kewenagan daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri. Namun standar satuan harga seolah-olah tidak ada batasnya. Pihaknya bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mempersiapkan aturan terkait dengan penetapan standar harga satuan.
“Saat ini sedang berkorodinasi untuk perlu dikeluarkan kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan presiden (perpres) terkait satuaan harga. Pembuatan aturan ini merupakan amanah dari PP No. 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” ungkap Syarifuddin.
Dia mengatakan dalam hal perpres belum ditetapkan, daerah diminta untuk berkonsultasi kepada Kemendagri untuk menetapkan standar harga satuan. Sehingga tidak bisa lagi seenaknya menetapkan standar satuan harga. “Saat ini kan kita lihat tunjangan kinerja untuk eselon yang sama bisa berbeda di satu daerah dengan pegawai pusat,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanana Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai standar satuan harga sangat bervariasi. Hal ini kata dia bisa memicu kecemburuan antara satu daerah dengan daerah lainnya. “Selain memicu kecemburuan, ini juga tidak efisien. Karena ad akecenderungan daerah melebih-lebihkan nilai belanja terutama berkaitan dengan biaya operasional, birokrasi dans ebagainya,” ungkapnya.
Endi sepakat jika ada penertiban terkahadap standar satuan harga di daerah sehingga harus ada acuan standar nasional yang bisa jadi rujukan daerah dalam menetapkan harga. “Jadi daerah tidak terlalu leluasa. Tidak semaunya kepala daerah menetapkan standar satuan harga,” katanya.
Meski begitu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar satuan harga. Diantaranya harus mencerminkan kondisi ril. Lalu pembaharuan standar satauan harga sesuai dengan kondisi. “Harus selalu di-update standar satuan harga. Harus melihat perkembangan kondisi. Jangan lima tahun acuannya sama terus. Memang agak merepotkan agar daerah tidak dirugikan. Lalu perlu adanya transparansi kepada publik terkait standar yang ditetapkan,” pungkasnya. (Dita Angga)
Tjahjo mencontohkan pendapatan eselon I di kementerian/lembaga lebih kecil dibandingkan eselon II di pemerintah daerah (pemda). Misalnya uang harian perjalanan dinas. “Eselon I Kemendagri mengeluh ke saya, kalau kami tugas ke Papua atau Aceh yang jauh-jauh uang hariannya hanya Rp375.000 per hari. Tapi ada satu kabupaten/kota mayoritas di Jawa uang hariannya Rp1,2 juta,” ungkap Tjahjo saat pembukaan Sosialisasi Permendagri tentang Penyusunan APBD 2020 di di Jakarta kemarin.
Politisi PDIP ini mengatakan hal tersebut perlu ditertibkan dan diatur dengan baik. Namun tentunya perlu diatur secara bersama-sama. “Ini coba akan kita tertibkan dan kita atur dalam kerangka persiapan kenaikan tunjangan yang mungkin akan dipersiapkan dengan baik. Tunjangan kinerja akan ditata dengan baik. Ini perlu kesepahaman dan kesepakatan kita bersama-sama,” pungkasnya.
Tjahjo juga menyebut ada delapan masalah dalam belanja daerah. Mulai dari masalah penganggaran sampai kelebihan pembayaran. “Delapan poin ini menjadi masalah yang harus menjadi perhatian saya dan bapak/ibu sekalian. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” ungkapnya.
Masalah belanja daerah yang pertama adalah penganggaran tidak sesuai dengan subtansi. Kedua realisasi belanja tidak sesuai dengan alokasi anggarannya. Ketiga kelebihan pembayaran honorarium. Kemudian kelebihan pembayaran pada belanja barang dan jasa, termasuk jasa konsultasi. Kelima adalah adanya kelebihan pembayaran belanja modal. “Keenam adalah penyaluran belanja program yang belum dapat dimanfaatkan. Ketujuh penyaluran belanja barang ke masyarakat yang tidak memadai. Terakhir adalah pertanggungjawaban belanja yang kurang tertib,” tuturnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri Syarifuddin mengatakan terjadinya ketimpangan tunjangan kinerja ataupun dana perjalanan dinas disebabkan standar satuan harga yang ditetapkan masing-masing daerah.“Memang beberapa daerah yang menetapkan ketentuan itu sudah di luar kepatutan dan kewajaran. Misalnya soal uang harian perjalanan dinas. Lalu tunjangan kinerja,” tuturnya.
Syarifuddin menyebut terdapat daerah yang dana perjalanan dinas relatif kecil. Sementara di beberapa daerah lainnya cukup tinggi, bahkan ada yang mencapai Rp3 juta per hari.“Sementara kami yang bersumber dari APBN, uang harian perjalanan dinas tergantung tujuannya kemana. Tapi kalau dirata-rata kurang lebih Rp400.000. Artinya memang ada kesenjangan antara standar harga satuan di APBD dan APBN. Itu yang akan dikoreksi,” ungkapnya.
Dia mengatakan memang dalam era desentralisasi ada kewenagan daerah untuk mengelola keuangannya secara mandiri. Namun standar satuan harga seolah-olah tidak ada batasnya. Pihaknya bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mempersiapkan aturan terkait dengan penetapan standar harga satuan.
“Saat ini sedang berkorodinasi untuk perlu dikeluarkan kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan presiden (perpres) terkait satuaan harga. Pembuatan aturan ini merupakan amanah dari PP No. 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” ungkap Syarifuddin.
Dia mengatakan dalam hal perpres belum ditetapkan, daerah diminta untuk berkonsultasi kepada Kemendagri untuk menetapkan standar harga satuan. Sehingga tidak bisa lagi seenaknya menetapkan standar satuan harga. “Saat ini kan kita lihat tunjangan kinerja untuk eselon yang sama bisa berbeda di satu daerah dengan pegawai pusat,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanana Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai standar satuan harga sangat bervariasi. Hal ini kata dia bisa memicu kecemburuan antara satu daerah dengan daerah lainnya. “Selain memicu kecemburuan, ini juga tidak efisien. Karena ad akecenderungan daerah melebih-lebihkan nilai belanja terutama berkaitan dengan biaya operasional, birokrasi dans ebagainya,” ungkapnya.
Endi sepakat jika ada penertiban terkahadap standar satuan harga di daerah sehingga harus ada acuan standar nasional yang bisa jadi rujukan daerah dalam menetapkan harga. “Jadi daerah tidak terlalu leluasa. Tidak semaunya kepala daerah menetapkan standar satuan harga,” katanya.
Meski begitu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar satuan harga. Diantaranya harus mencerminkan kondisi ril. Lalu pembaharuan standar satauan harga sesuai dengan kondisi. “Harus selalu di-update standar satuan harga. Harus melihat perkembangan kondisi. Jangan lima tahun acuannya sama terus. Memang agak merepotkan agar daerah tidak dirugikan. Lalu perlu adanya transparansi kepada publik terkait standar yang ditetapkan,” pungkasnya. (Dita Angga)
(nfl)