Grup Whatsapp Dipantau Polisi, Fahri Samakan dengan Penjajahan
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Koordinator Kesejateraan Rakyat (Korkesra) Fahri Hamzah menyayangkan kebijakan pemerintah yang memantau grup-grup Whatsapp lewat Patroli Siber Polri. Mengganggu privasi warga negara menjadi hal yang lumrah bagi pemerintah. Karena itu, Fahri mengibaratkan itu sebagai tindakan penjajahan.
“Kita semua sekarang sebagai bangsa tidak memahami arti dari privasi dan kerahasiaan pribadi karena kita ini adalah bangsa yang tidak punya kultur privasi, kita kulturnya komunal sehingga, ketika negara mau mengambil semua data-data pribadi kita, kita relatif tidak berani membuat bantahan, tidak berani membuat kritik, itulah yang secara terus-menerus menyebabkan para pejabat negara merasa tidak punya perasaan bersalah sama sekali ketika mengintip percakapan warga negara,” kata Fahri saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Menurut Fahri, jika memang Indonesia menganut sistem demokrasi, maka tentu tidak ada pihak yang berani melakukan itu sebab, itu merupakan bagian dari pelanggaran yang berat. Karena, konstitusi yakni UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) telah melindungi hak setiap warga negara yang juga individu.
“Tapi faktanya, karena kita sendiri tidak merasa dilindungi akhirnya, tindakan itu dilanjutkan,” sesalnya.
Namun, Fahri melihat akan sulit untuk menegakkan hukum dan hak warga negara jika masyarakat sendiri tidak memahami setiap hak-haknya sebagai warga negara. Untuk itu, ia mempersilakan pemerintah untuk berbuat sesukanya karena masyarakat sendiri cenderung menerimanya. Sehingga, ini bagaikan penjajahan yang diterima dengan lapang dada.
“Sejauh kita menerima hak-hak kita dirampas oleh pemerintah maka sejauh itulah orang akan mengambil hak-hak kita. Persis seperti kita mau dijajah 350 tahun, ya selama itulah penjajahan bercokol di bumi kita,” tukasnya.
“Kita semua sekarang sebagai bangsa tidak memahami arti dari privasi dan kerahasiaan pribadi karena kita ini adalah bangsa yang tidak punya kultur privasi, kita kulturnya komunal sehingga, ketika negara mau mengambil semua data-data pribadi kita, kita relatif tidak berani membuat bantahan, tidak berani membuat kritik, itulah yang secara terus-menerus menyebabkan para pejabat negara merasa tidak punya perasaan bersalah sama sekali ketika mengintip percakapan warga negara,” kata Fahri saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Menurut Fahri, jika memang Indonesia menganut sistem demokrasi, maka tentu tidak ada pihak yang berani melakukan itu sebab, itu merupakan bagian dari pelanggaran yang berat. Karena, konstitusi yakni UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) telah melindungi hak setiap warga negara yang juga individu.
“Tapi faktanya, karena kita sendiri tidak merasa dilindungi akhirnya, tindakan itu dilanjutkan,” sesalnya.
Namun, Fahri melihat akan sulit untuk menegakkan hukum dan hak warga negara jika masyarakat sendiri tidak memahami setiap hak-haknya sebagai warga negara. Untuk itu, ia mempersilakan pemerintah untuk berbuat sesukanya karena masyarakat sendiri cenderung menerimanya. Sehingga, ini bagaikan penjajahan yang diterima dengan lapang dada.
“Sejauh kita menerima hak-hak kita dirampas oleh pemerintah maka sejauh itulah orang akan mengambil hak-hak kita. Persis seperti kita mau dijajah 350 tahun, ya selama itulah penjajahan bercokol di bumi kita,” tukasnya.
(pur)