Ramadhan, Sarana Kembalikan Fitrah Manusia dan Kebangsaan

Rabu, 29 Mei 2019 - 11:35 WIB
Ramadhan, Sarana Kembalikan Fitrah Manusia dan Kebangsaan
Ramadhan, Sarana Kembalikan Fitrah Manusia dan Kebangsaan
A A A
JAKARTA - Ramadhan dinilai sebagai bulan menahan nafsu kebinatangan dan kesetanan seperti syirik, sombong, dengki, brutal, kekerasan, dan vandalisme yang seringkali merusak fitrah kemanusiaan.

Seseorang yang kembali kepada fitrahnya dimaknai berada dalam kesucian dan keyakinan sebagaimana baru dilahirkan.

Guru Besar bidang Psikologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Achmad Mubarok mengatakan, fitrah manusia tercermin dalam tindakan berpuasa seperti menahan diri, bekerja sama, saling berbagi, menyebarkan kebaikan.

Semangat Ramadhan dikatakannya harus menjadikan manusia Indonesia kembali ke fitrah kemanusiaan dan fitrah kebangsaan sebagai warga negara yang mencintai perdamaian, bergotong royong, dan mengukuhkan persatuan.

“Secara sosial, kita semangatnya memberi. Karena psikologi Rahmat itu pertama, penuh perhatian kepada orang, kedua, semangat ingin memberi, ketiga, memaklumi kekurangan orang, keempat, memaafkan kesalahan orang. Itu secara sosial. Jika orang seperti itu maka dia akan mengarah kepada Fitrah,” ujar Mubarok di Jakarta, Selasa 28 Mei 2019.

Menurut dia, ketertiban mesti dijaga, termasuk rasa keadilan. Jika itu tercabut akan memancing orang untuk berbuat anarki atau munafik.

“Yang namanya cinta Tanah Air itu bagian dari iman itu adalah khas Indonesia. Kemudian patuh kepada pimpinan. Tetapi pimpinan itu akan dipatuhi jika dia kontribusinya jelas dan amanah. Maka itu akan ada rasa saling mengisi dan memiliki fungsi. Karena pemimpin yang dipatuhi secara alamiah yaitu 'matahari', untuk itulah dibutuhkan ‘matahari’ bangsa,” tutur pria kelahiran Purwokerto, 15 Desember 1945 ini.

Mubarok mengatakan, mengapa matahari’ itu harus "dipatuhi", hal tersebut dikarenakan dari sifat matahari ketika terbit orang akan bangun. Lalu ketika matahari naik, maka orang akan kerja.

Demikian pula ketika matahari mulai turun, orang akan istirahat. Ketika matahari tenggelam, orang akan tidur. Tatkala matahari terbit, bintang tidak akan tampak.

“Mengapa orang patuh kepada ‘matahari’? Karena matahari itu konsisten di dalam memberi kontribusi, kehangatan, keterangan dan sebagainya. Tapi kalau bangsa ini tidak punya pemimpin matahari maka akan banyak bintang-bintang politik. Akibatnya persatuan ini agak susah diatur,” ujar Ketua Harian Yayasan Amanah Kita ini.

Untuk itu, kata dia, masyarakat harus dapat memakna fitra dan implementasi untuk keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

Masyarakat Indonesia, lanjut dia, punya budaya yang mana budaya Indonesia bersumber atau mengacu pada alam yang contohnya seperti matahari tadi yang suka "memberi". Contoh lain yakni pohon yang kalau di gunting-gunting akan tumbuh daun-daun baru.

“Kalau kita memberi, jutru ini akan bertambah yang segar. Sumber-sumber budaya itu juga merupakan ajaran agama. Oleh karena itu, budaya Indonesia itu sesungguhnya sarat dengan ajaran-ajaran agama,” ucap Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) ini.

Dalam hal tersebut Mubarok mencontohkan dengan dasar negara, Pancasila. Menurut dia, Pancasila ini bandingannya hanya dengan Piagam Madinah dari Rasul Muhammad SAW.

Piagam Madinah, kata dia, sangat luar biasa sekali dalam upaya mempersatukan antar umat yang berbeda-beda. “Problem di Indonesia ini adalah bagaimana membumikan Pancasila itu sendiri. Jadi bukan sibuk ‘saya Pancasila’. Bukan seperti itu. Tetapi bagaimana membumikan Pancasila dalam kehidupan berpolitik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial. Jika hal tersebut bisa diterapkan, maka otomatis rasa persatuan antar sesama warga itu akan dating meski kita berbeda-beda,” tutur mantan anggota MPR ini.

Dalam hal tersebut, dia mencontohkan negara Selandia Baru,negara dengan standar kebahagiaan yang tinggi dan bisa menjadikan masyarakatnya merasa nyaman. Hal tersebut karena keadilan benar-benar ditegakkan dan bahkan pemimpinnya sangat ketat di dalam menjaga norma-norma.

“Di Selandia Baru karyawan itu gajinya cukup untuk hidup dengan standar. Tidak ada di bawah garis kemiskinan. Sementara di Indonesia tantangannya sangat besar karena penduduknya sangat banyak, tingkat pendidikannya juga tidak merata maka diperlukan pemimpin yang betul-betul kuat, dan konsisten. Ini yang menjadi tantangan di Indonesia hingga sekarang,” katanya.

Mubarok mengatakan, seseorang yang kembali kepada fitrahnya mempunyai makna berada dalam kesucian dan keyakinan asal sebagaimana saat dilahirkan. Masyarakat harus menyadari bahwa melakukan tindakan kekerasan, menyebarkan kebencian, mengadu domba, serta tindakan terorisme itu bukanlah bentuk fitrah manusia. Untuk itulah manusia diminta untuk bisa menjaga kesuciannya.

“Suci itu unsurnya ada tiga, yaitu baik, benar dan indah. Kalau tidak baik, pasti tidak Indah. Kalau tidak benar, pasti juga tidak indah. Jadi kalau kita menjaga kesucian pergaulan, kesucian cita-cita, kesucian perjuangan tentunya harus dilakukan dengan benar, pendekatan yang baik. Karena dari situ kemudian timbul keindahan,” tutur mantan Wakil Ketua Komisi Kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Untuk itu, menurut dia, dalam membangun fitrah sosial di kehidupan bangsa ini harus selalu dengan mensosialisasikan tentang kebenaran dan kebaikan. Sehingga dapat diperoleh hasil yang harmoni antara yang satu dengan yang lainnya.

Dia juga meminta masyarkat untuk dapat menjaga kemajemukan yang dimiliki bangsa ini agar masyarakat bangsa ini tetap rukun dan bersatu. Karena majemuk itu memiliki arti bermacam-macam, ada yang besar dan kecil. Butuh pertukaran peran. Sesungguhnya yang besar membutuhkan yang kecil. Begitu juga sebaliknya.

“Contoh, orang kaya butuh ada kuli, butuh pembantu. Sementara pembantu butuh ada orang yang bisa membayar. Nah kalau orang kaya menghargai orang kecil maka orang kecil juga akan menghargai orang kaya. Tetapi kalau orang kaya mengeksploitasi orang kecil maka tidak terjadi harmoni. Di situlah agama mengatur. Seperti zakat adalah hak orang miskin yang ada pada orang kaya. Kalau ada orang kaya bayar zakat itu bukan kebaikan, tapi itu menunaikan kewajiban. Kalau mau kebaikan, tentunya dia memberi lebih dari apa yang diwajibkan,” tuturnya.

Mubarok juga menghimgbau masyarkat untuk selalu menjaga persatuan di tengah perbedaan yang ada pasca Pilpres 2019. Perbedaan itu sesungguhnya Sunatullah.

Dia meminta masyarakat untuk menyadari bahwa berpolitik itu ibarat seperti musik, ada nada, ada irama, dan harmoni. “Kapan nada itu dibunyikan, tentunya sesuai ritme yang kemudian akan menjadi Harmoni sehingga perbedaan itu menjadi musik yang indah. Tapi kalau nada itu sendiri tidak mengikuti ritme, maka akan terjadi chaos. Nah budaya politik inilah yang harus dimiliki oleh kita semua," tuturnya.

Sejatinya, menurut dia, politik adalah game atau permainan. Tetapi yang terjadi sekarang ini politik itu justru bukan permainan, tetapi menjadi mempermainkan.

“Saya melihatnya politik sekarang ini bukan permainan. Karena kalau permainan itu sebenarnya indah, tapi kalau mempermainkan tentunya kita akan kesal, menjadi korban. Nah tentunya kita harus dapat menahan diri agar tidak kesal dengan apa yang terjadi,” ujarnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6450 seconds (0.1#10.140)