KPK Ungkap Modus Baru Negosiasi Uang dalam Kasus Suap Imigrasi NTB
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK) mengungkap ada modus baru dalam negosiasi uang suap pada opersi tangkap tangan (OTT) terkait penyidikan penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2019.
Sebelumnya, KPK menetapkan Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Kurniadie (KUR), Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI), dan Pengelola Wyndham Sundancer Lombok Direkur PT Wisata Bahagia (WB) Liliana Hidayat (LIL) sebagai tersangka suap terkait penyidikan penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi NTB tahun 2019.
Awal mulanya, Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal. Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa, tapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS Imigrasi setempat menduga 2 WNA ini melanggar Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Merespons penangkapan tersebut, LIL perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor Imigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.
LIL awalnya menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tersebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR.
Komisoner KPK Alexander Marwata menjelaskan dalam negosiasi itu muncul modus baru yang ditemukan tanpa berbicara. "Menuliskan tawaran LIL di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian YRI melaporkan pada KUR untuk mendapat arahan atau persetujuan," ujar Alexander dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Akhirnya, kata Alexander, disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara 2 WNA (Singapura dan Australia) tersebut adalah Rp1,2 miliar. Alexander juga mengungkapkan metode penyerahan uang yang digunakan juga tidak biasa, yaitu LIL memasukkan uang sebesar Rp1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukkan kresek hitam pada sebuah tas.
Sesampai di depan ruangan YRI, tas kresek hitam berisi uang Rp1,2 miliar tersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan YRI. "YRI kemudian memerintahkan BWI mengambil uang tersebut dan membagi Rp800 juta untuk KUR. Penyerahan uang pada KUR adalah dengan cara meletakkan di ember merah," jelasnya.
Lalu, KUR kemudian meminta pihak lain untuk menyetorkan Rp340 juta ke rekeningnya di sebuah bank. Sedangkan sisanya Rp500 juta, akan diperuntukkan pada pihak lain.
"Teridentifikasi salah satu komunikasi dalam perkara ini, setelah penerimaan uang oleh pejabat Imigrasi terjadi, yaitu: 'makasi buat pulkam'," ungkap Alexander.
Atas ulahnya, sebagai pemberi LIL disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan YRI dan KUR sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, KPK menetapkan Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Kurniadie (KUR), Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI), dan Pengelola Wyndham Sundancer Lombok Direkur PT Wisata Bahagia (WB) Liliana Hidayat (LIL) sebagai tersangka suap terkait penyidikan penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi NTB tahun 2019.
Awal mulanya, Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal. Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa, tapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS Imigrasi setempat menduga 2 WNA ini melanggar Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Merespons penangkapan tersebut, LIL perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor Imigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.
LIL awalnya menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tersebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR.
Komisoner KPK Alexander Marwata menjelaskan dalam negosiasi itu muncul modus baru yang ditemukan tanpa berbicara. "Menuliskan tawaran LIL di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara. Kemudian YRI melaporkan pada KUR untuk mendapat arahan atau persetujuan," ujar Alexander dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Akhirnya, kata Alexander, disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara 2 WNA (Singapura dan Australia) tersebut adalah Rp1,2 miliar. Alexander juga mengungkapkan metode penyerahan uang yang digunakan juga tidak biasa, yaitu LIL memasukkan uang sebesar Rp1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukkan kresek hitam pada sebuah tas.
Sesampai di depan ruangan YRI, tas kresek hitam berisi uang Rp1,2 miliar tersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan YRI. "YRI kemudian memerintahkan BWI mengambil uang tersebut dan membagi Rp800 juta untuk KUR. Penyerahan uang pada KUR adalah dengan cara meletakkan di ember merah," jelasnya.
Lalu, KUR kemudian meminta pihak lain untuk menyetorkan Rp340 juta ke rekeningnya di sebuah bank. Sedangkan sisanya Rp500 juta, akan diperuntukkan pada pihak lain.
"Teridentifikasi salah satu komunikasi dalam perkara ini, setelah penerimaan uang oleh pejabat Imigrasi terjadi, yaitu: 'makasi buat pulkam'," ungkap Alexander.
Atas ulahnya, sebagai pemberi LIL disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan YRI dan KUR sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
(kri)