Mengawal Pemilu dengan Mulus
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
IBARAT pesawat hendak mendarat mengakhiri penerbangan, proses pemilihan umum (pemilu) yang panjang dan mahal itu mari kita kawal bersama agar mendarat dan berakhir dengan mulus (soft landing). Telah banyak ongkos harta dan nyawa dalam pelaksanaan proses pemilu ini.
Tidak kurang negara mesti mengeluarkan anggaran Rp25 triliun, belum termasuk dana yang dikeluarkan para peserta pemilu. Bisa jadi jumlahnya mencapai angka yang sama. Di luar ongkos materi, petugas lapangan yang meninggal sedikitnya 500 orang.
Lalu, ongkos sosial di mana masyarakat terbelah dan di antara mereka saling mencaci pihak yang berbeda pilihan. Fenomena terakhir ini adalah muncul demo di depan Kantor Bawaslu Jakarta yang diwarnai tindakan kekerasan.
Dalam demo terakhir ini bercampur antara pendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 02 dan penumpang gelap ingin membuat kekacauan sehingga demo kemarin tidak jelas target dan sasaran apa yang diraihnya. Beruntung, Prabowo segera menyadari dan membuat pernyataan bahwa pendemo yang buat kekerasan bukan dari pendukung paslon 02 sehingga bisa dibedakan antara demo politik dan gerombolan preman.
Selanjutnya giliran penegak hukum yang mesti menindak dan mengadili para perusuh dengan tegas. Mereka telah merusak ritual demokrasi dan sebagian bahkan memanipulasi demo yang rusuh itu atas nama jihad.
Kita tunggu hasil final dari Mahkamah Konstitusi (MK) siapa yang dinyatakan pemenang, karena paslon 02 sudah mengajukan gugatan. Siapa pun nanti yang dinyatakan pemenang, secara moral dan politis sesungguhnya, baik Prabowo maupun Joko Widodo (Jokowi), keduanya sebagai pejuang dan pemenang demokrasi.
Bahkan, Partai Gerindra meraih kenaikan angka pemilih sangat menonjol. Artinya, rakyat menaruh kepercayaan tinggi pada partainya dan juga pada posisinya sebagai paslon 02. Dengan perolehan ini, baik Jokowi maupun Prabowo, keduanya adalah putra dan pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan dan peluang bersama-sama membangun bangsa dan negara.
Pemilu ini berarti menandai 20 tahun reformasi, 1998–2019, sebuah rentang waktu satu generasi. Sebuah pemilu yang berpeluang menandai berakhirnya generasi pemain era orde baru, lalu beralih pada generasi pascaorde baru.
Tetapi, pada akhirnya kita tunggu dan lihat saja nanti, apakah para kabinet yang akan ditampilkan masih generasi lama atau representasi generasi muda, generasi milenial. Apakah presiden nanti akan membentuk kabinet profesional ataukah masih didikte oleh para parpol pendukungnya, kita belum tahu. Tentu saja tak ada salahnya parpol pendukung menyodorkan kader-kadernya masuk kabinet asalkan tidak merusak prinsip meritoktasi dan profesionalisme.
Siapa pun presiden terpilih nanti, sesungguhnya merupakan langkah awal untuk memenuhi janji-janjinya selama kampanye. Oleh karena itu, siapa pun presidennya nanti mesti kita dukung demi kerukunan dan kemajuan bangsa. Energi kita sudah banyak terkuras untuk berkompetisi dan berkonflik dengan ongkos material serta sosial yang mahal.
Menjadi presiden dalam negara demokrasi tidak bisa semena-mena. Di sana terdapat lembaga legislatif, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pers, dan masyarakat, yang setiap saat mengawasi. Di era keterbukaan ini seorang pejabat tinggi negara hampir-hampir tak lagi memiliki privasi.
Dengan demikian, tak ada yang lebih penting dilakukan kecuali siapa pun yang mengemban jabatan publik mesti bekerja dengan baik, profesional. Sementara itu, rakyat harus ikut menjaga kerukunan dan kedamaian dengan tetap bersikap kritis.
Catatan kecil yang menarik, sementara ini berbagai kepala negara dunia telah menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan paslon nomor 01 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Tentu saja mereka punya pertimbangan matang, tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan resmi sebagai kepala negara, sebab jika salah akan mencoreng harga diri mereka.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
IBARAT pesawat hendak mendarat mengakhiri penerbangan, proses pemilihan umum (pemilu) yang panjang dan mahal itu mari kita kawal bersama agar mendarat dan berakhir dengan mulus (soft landing). Telah banyak ongkos harta dan nyawa dalam pelaksanaan proses pemilu ini.
Tidak kurang negara mesti mengeluarkan anggaran Rp25 triliun, belum termasuk dana yang dikeluarkan para peserta pemilu. Bisa jadi jumlahnya mencapai angka yang sama. Di luar ongkos materi, petugas lapangan yang meninggal sedikitnya 500 orang.
Lalu, ongkos sosial di mana masyarakat terbelah dan di antara mereka saling mencaci pihak yang berbeda pilihan. Fenomena terakhir ini adalah muncul demo di depan Kantor Bawaslu Jakarta yang diwarnai tindakan kekerasan.
Dalam demo terakhir ini bercampur antara pendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 02 dan penumpang gelap ingin membuat kekacauan sehingga demo kemarin tidak jelas target dan sasaran apa yang diraihnya. Beruntung, Prabowo segera menyadari dan membuat pernyataan bahwa pendemo yang buat kekerasan bukan dari pendukung paslon 02 sehingga bisa dibedakan antara demo politik dan gerombolan preman.
Selanjutnya giliran penegak hukum yang mesti menindak dan mengadili para perusuh dengan tegas. Mereka telah merusak ritual demokrasi dan sebagian bahkan memanipulasi demo yang rusuh itu atas nama jihad.
Kita tunggu hasil final dari Mahkamah Konstitusi (MK) siapa yang dinyatakan pemenang, karena paslon 02 sudah mengajukan gugatan. Siapa pun nanti yang dinyatakan pemenang, secara moral dan politis sesungguhnya, baik Prabowo maupun Joko Widodo (Jokowi), keduanya sebagai pejuang dan pemenang demokrasi.
Bahkan, Partai Gerindra meraih kenaikan angka pemilih sangat menonjol. Artinya, rakyat menaruh kepercayaan tinggi pada partainya dan juga pada posisinya sebagai paslon 02. Dengan perolehan ini, baik Jokowi maupun Prabowo, keduanya adalah putra dan pemimpin bangsa yang diberi kepercayaan dan peluang bersama-sama membangun bangsa dan negara.
Pemilu ini berarti menandai 20 tahun reformasi, 1998–2019, sebuah rentang waktu satu generasi. Sebuah pemilu yang berpeluang menandai berakhirnya generasi pemain era orde baru, lalu beralih pada generasi pascaorde baru.
Tetapi, pada akhirnya kita tunggu dan lihat saja nanti, apakah para kabinet yang akan ditampilkan masih generasi lama atau representasi generasi muda, generasi milenial. Apakah presiden nanti akan membentuk kabinet profesional ataukah masih didikte oleh para parpol pendukungnya, kita belum tahu. Tentu saja tak ada salahnya parpol pendukung menyodorkan kader-kadernya masuk kabinet asalkan tidak merusak prinsip meritoktasi dan profesionalisme.
Siapa pun presiden terpilih nanti, sesungguhnya merupakan langkah awal untuk memenuhi janji-janjinya selama kampanye. Oleh karena itu, siapa pun presidennya nanti mesti kita dukung demi kerukunan dan kemajuan bangsa. Energi kita sudah banyak terkuras untuk berkompetisi dan berkonflik dengan ongkos material serta sosial yang mahal.
Menjadi presiden dalam negara demokrasi tidak bisa semena-mena. Di sana terdapat lembaga legislatif, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pers, dan masyarakat, yang setiap saat mengawasi. Di era keterbukaan ini seorang pejabat tinggi negara hampir-hampir tak lagi memiliki privasi.
Dengan demikian, tak ada yang lebih penting dilakukan kecuali siapa pun yang mengemban jabatan publik mesti bekerja dengan baik, profesional. Sementara itu, rakyat harus ikut menjaga kerukunan dan kedamaian dengan tetap bersikap kritis.
Catatan kecil yang menarik, sementara ini berbagai kepala negara dunia telah menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan paslon nomor 01 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin. Tentu saja mereka punya pertimbangan matang, tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan resmi sebagai kepala negara, sebab jika salah akan mencoreng harga diri mereka.
(poe)