Asumsi Makroekonomi untuk APBN 2020
A
A
A
MENGHADAPI pelambatan perekonomian global yang terimplikasi pada pelemahan pertumbuhan ekspor nasional membuat pemerintah harus tetap dalam kewaspadaan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Muyani Indrawati menegaskan hal itu ketika menyampaikan usulan asumsi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran 2020, dalam rapat paripurna dengan wakil rakyat di Gedung DPR mewakili pemerintah. Pada kuartal pertama 2019, pertumbuhan perekonomian nasional masih bisa menembus level 5,07%, berkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tinggi serta diiringi terjaganya angka inflasi pada level yang rendah.
Tantangan pemerintah adalah bagaimana menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, tang fokus menjalankan pemulihan investasi dan ekspor, serta tetap mendorong semaksimal mungkin pertumbuhan konsumsi melalui perbaikan daya beli, stabilitas harga, dan perkuatan kepercayaan konsumen. Berangkat dari kondisi tersebut, dengan melihat berbagai potensi, kesempatan, dan risiko yang diprediksi bakal berlangsung tahun depan, pemerintah pun mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro sebagai dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2020.
Indikator ekonomi makro tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi dipatok 5,3% hingga 5,6%, laju inflasi berada di level 2% sampai 4%, tingkat bunga surat berharga negara (SBN) untuk tiga bulan pada kisaran 5-5,6%. Selanjutnya, harga minyak mentah Indonesia ditetapkan USD60-70 per barel, adapun lifting minyak bumi sebanyak 695.000 sampai 840.000 barel per hari, lifting gas bumi 1,19 juta hingga 1,3 juta barel setara minyak per hari. Dan, nilai tukar rupiah dipatok Rp14.000-15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, defisit dalam RAPBN 2020 diproyeksikan kisaran 1,75-1,52% terhadap produk domestik bruto (PDB). Lalu, rasio utang dipertahankan tak melewati 30% terhadap PDB. Sri Mulyani menyebut kebijakan makro fiskal pada 2020 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal ekspansif. Sebagai konsekuensi atas kebijakan tersebut, postur APBN diusulkan alami defisit. Karena itu, pembiayaan yang kreatif dalam APBN 2020 akan diwujudkan dengan penuh kehati-hatian.
Terkait dengan penerimaan negara, Sri Mulyani Indrawati yang memiliki pengalaman menjabat menteri keuangan untuk dua pejabat presiden Indonesia yang berbeda, menyatakan kuncinya bagaimana mengoptimalkan baik dari sisi perpajakan maupun dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pemerintah mematok rasio pajak (tax ratio) pada kisaran 11,8-12,4% pada tahun depan. Selain itu, mendorong daya saing investasi dan ekspor lewat insentif fiskal untuk memperbaiki keseimbangan eksternal. Tak kalah penting adalah meningkatkan peran dan kontribusi badan usaha milik negara (BUMN) dengan tetap menjaga kondisi kesehatan finansialnya.
Namun, asumsi makroekonomi yang diusulkan pemerintah, terutama pertumbuhan ekonomi, dikritisi oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah yang menilai terlalu kecil. Pemerintah menyebut pertumbuhan ekonomi berada pada level 5,3-5,6%, angka tersebut memang naik tipis dibandingkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% tahun ini. Padahal, pemerintah memiliki berbagai potensi guna memacu pertumbuhan ekonomi minimal di atas 6%.
Sebelumnya, Bank Dunia telah memprediksi pertumbuhan negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan melambat menjadi 6% pada 2019 dan 2020 dari sebelumnya 6,3% pada 2018. Walau di tengah tekanan ekonomi global, negara yang tergabung dalam ASEAN bersama China, Jepang, dan Korea Selatan tetap optimistis mencatat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Sikap optimistis dan kesamaan pandangan tersebut terungkap dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 di Nadi, Fiji awal bulan ini. Para delegasi sepakat mengadopsi visi "Strategic Directions of ASEAN+3 Finance Process"--berupa inisiatif dan rencana kerja ASEAN+3 dalam jangka menengah dan panjang. Targetnya adalah mengeksplorasi area potensial dalam kerangka memperkuat ketahanan di kawasan.
Terlepas dari masalah perekonomian global, ternyata persoalan domestik masih banyak yang harus dibenahi untuk membuat pertumbuhan ekonomi melaju cepat. Mengutip pernyataan ekonom senior Faisal Basri, bahwa pemerintah harus memberantas kelompok kepentingan yang memperlambat perekonomian Indonesia. Gerak ekonomi lamban karena kelompok kepentingan yang menyelubungi lemak perekonomian harus dilibas.
Tantangan pemerintah adalah bagaimana menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, tang fokus menjalankan pemulihan investasi dan ekspor, serta tetap mendorong semaksimal mungkin pertumbuhan konsumsi melalui perbaikan daya beli, stabilitas harga, dan perkuatan kepercayaan konsumen. Berangkat dari kondisi tersebut, dengan melihat berbagai potensi, kesempatan, dan risiko yang diprediksi bakal berlangsung tahun depan, pemerintah pun mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro sebagai dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2020.
Indikator ekonomi makro tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi dipatok 5,3% hingga 5,6%, laju inflasi berada di level 2% sampai 4%, tingkat bunga surat berharga negara (SBN) untuk tiga bulan pada kisaran 5-5,6%. Selanjutnya, harga minyak mentah Indonesia ditetapkan USD60-70 per barel, adapun lifting minyak bumi sebanyak 695.000 sampai 840.000 barel per hari, lifting gas bumi 1,19 juta hingga 1,3 juta barel setara minyak per hari. Dan, nilai tukar rupiah dipatok Rp14.000-15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, defisit dalam RAPBN 2020 diproyeksikan kisaran 1,75-1,52% terhadap produk domestik bruto (PDB). Lalu, rasio utang dipertahankan tak melewati 30% terhadap PDB. Sri Mulyani menyebut kebijakan makro fiskal pada 2020 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal ekspansif. Sebagai konsekuensi atas kebijakan tersebut, postur APBN diusulkan alami defisit. Karena itu, pembiayaan yang kreatif dalam APBN 2020 akan diwujudkan dengan penuh kehati-hatian.
Terkait dengan penerimaan negara, Sri Mulyani Indrawati yang memiliki pengalaman menjabat menteri keuangan untuk dua pejabat presiden Indonesia yang berbeda, menyatakan kuncinya bagaimana mengoptimalkan baik dari sisi perpajakan maupun dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pemerintah mematok rasio pajak (tax ratio) pada kisaran 11,8-12,4% pada tahun depan. Selain itu, mendorong daya saing investasi dan ekspor lewat insentif fiskal untuk memperbaiki keseimbangan eksternal. Tak kalah penting adalah meningkatkan peran dan kontribusi badan usaha milik negara (BUMN) dengan tetap menjaga kondisi kesehatan finansialnya.
Namun, asumsi makroekonomi yang diusulkan pemerintah, terutama pertumbuhan ekonomi, dikritisi oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah yang menilai terlalu kecil. Pemerintah menyebut pertumbuhan ekonomi berada pada level 5,3-5,6%, angka tersebut memang naik tipis dibandingkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% tahun ini. Padahal, pemerintah memiliki berbagai potensi guna memacu pertumbuhan ekonomi minimal di atas 6%.
Sebelumnya, Bank Dunia telah memprediksi pertumbuhan negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan melambat menjadi 6% pada 2019 dan 2020 dari sebelumnya 6,3% pada 2018. Walau di tengah tekanan ekonomi global, negara yang tergabung dalam ASEAN bersama China, Jepang, dan Korea Selatan tetap optimistis mencatat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Sikap optimistis dan kesamaan pandangan tersebut terungkap dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 di Nadi, Fiji awal bulan ini. Para delegasi sepakat mengadopsi visi "Strategic Directions of ASEAN+3 Finance Process"--berupa inisiatif dan rencana kerja ASEAN+3 dalam jangka menengah dan panjang. Targetnya adalah mengeksplorasi area potensial dalam kerangka memperkuat ketahanan di kawasan.
Terlepas dari masalah perekonomian global, ternyata persoalan domestik masih banyak yang harus dibenahi untuk membuat pertumbuhan ekonomi melaju cepat. Mengutip pernyataan ekonom senior Faisal Basri, bahwa pemerintah harus memberantas kelompok kepentingan yang memperlambat perekonomian Indonesia. Gerak ekonomi lamban karena kelompok kepentingan yang menyelubungi lemak perekonomian harus dilibas.
(kri)