Indonesia Jadi Percontohan Dunia Sistem Peringatan Dini Multi-Bencana

Jum'at, 17 Mei 2019 - 12:59 WIB
Indonesia Jadi Percontohan...
Indonesia Jadi Percontohan Dunia Sistem Peringatan Dini Multi-Bencana
A A A
SWISS - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mendapatkan kehormatan menjadi pembicara utama dalam forum internasional PBB, Second Multi-Hazard Early Warning Conference (MHEWC-II) di Jenewa Swiss.

Dwikorita mengajak pemerintah di seluruh dunia untuk memperkuat sistem peringatan dini multi-bencana yang dimiliki di setiap masing-masing negara, melalui penerapan sistem yg terintegrasi antar lembaga ataupun antar pihak-pihak terkait, dengan dukungan inovasi teknologi yang tanpa mengabaikan kekuatan dan kearifan lokal.

Untuk menguatkan dan menjaga efektivitas peringatan dini multi-bencana ini perlu adanya peraturan/regulasi yang mengatur koordinasi, harmonisasi dan sinergi peran, serta data integrasi antar lembaga ataupun antar para pihak terkait dalam sistem integrasi peringatan dini tersebut.

“Indonesia belajar dari kejadian gempabumi dan tsunami di Palu dan Selat Sunda, kejadian ini menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki karakteristik kegempaan baru yang jarang terjadi,” imbuh Dwikorita dalam keterangan rilisnya di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Tidak hanya itu, kata Dwikorita, Indonesia pun memiliki karakteristik cuaca dan iklim yang unik. Tentunya, lanjut dia, ini menjadi sebuah tantangan khususnya bagi Pemerintah Indonesia, mengingat Indonesia berada di dalam lingkaran Cincin Api Pasifik yang terbentuk oleh gerak lempeng tektonik aktif.

“Cincin Api Pasifik adalah zona berbentuk tapal kuda dan menjadi sabuk gempa paling aktif di Dunia. Bukan hanya Indonesia, negara lain, seperti Jepang, Taiwan, dan Selandia Baru pun masuk dalam cincin api pasfik tersebut,” terangnya.

Menurutnya, ledakan populasi yang semakin meningkat mengakibatkan tingginya kerentanan terhadap bencana hidrometeorologi, iklim ekstrim, bahkan gempa bumi dan tsunami.

“Untuk pengurangan dampak risiko bencana, kearifan lokal dan aspek sosial sangat dibutuhkan dalam menjaga efektivitas dan keberhasilan sistem peringatan multi-bencana, tersebut," sambung Dwikorita.

Dia berpandangan pada saat ini belum terbukti adanya teknologi yang mampu memberikan peringatan dini dalam waktu kurang dari 3 menit setelah gempa terjadi, seperti yang dibutuhkan untuk kejadian tsunami di Palu. Waktu datangnya Tsunami Palu kurang lebih 2 menit setelah terjadi gempa, sebelum peringatan dini diberikan pada menit ke 5.

Berdasarkan evaluasi dari berbagai kejadian tsunami, terbukti belum ada sistem atau teknologi yang sempurna dalam memberikan peringatan dini karena hampir selalu ada hal-hal yg terjadi di luar perkiraan pada saat kejadian bencana di berbagai negara. Dengan berbagai keterbatasan yg masih ada, maka Dwikorita menegaskan bahwa kearifan lokal dan teknologi sederhana yang lebih mudah dipahami dan dioperasikan oleh masyarakat lokal tetap harus diterapkan/diintegrasikan dalam sistem peringatan dini berbasis teknologi maju.

"Melalui pertemuan ini sebagai tindak lanjut Sendai Framework, dapat dijadikan langkah bagi negara-negara internasional untuk melakukan pengurangan dampak resiko bencana alam melalui pengembangan sistem peringatan Dini Multi-Bencana," ungkapnya.

Konferensi yang berlangsung selama dua hari dari 13-14 Mei 2019 di Jenewa, Swiss yang diselenggarakan secara berurutan dengan Global Platform for Disaster Risk Reduction 2019 ini bertujuan untuk mengkoordinasikan dan mendorong peningkatan kapasitas negara-negara di seluruh dunia dalam mengimplementasikan dan mengembangkan Sistem Peringatan Dini Multi-Bencana dalam pengurangan resiko becana yang lebih baik dan lebih terkoordinasi di negara masing-masing.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1149 seconds (0.1#10.140)