People Power Jangan Tabrak Konstitusi
A
A
A
JAKARTA - Wacana people power dalam menyikapi hasil Pemilu 2019 yang digaungkan sejumlah pihak mendapat tanggapan dari aparat penegak hukum. Aksi massa tersebut harus dilakukan dalam koridor ketentuan hukum dan tidak menabrak konstitusi.
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat rapat evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019 bersama jajaran DPD RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.“Kalau ada klaim kecurangan (pemilu), lalu melakukan aksi massa, tetap ada limitasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” ujarnya.
Tito menjelaskan, aksi massa memang legal dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat. Kendati demikian, kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut tidak absolut. “Kita tahu UU 9/98 ini mengadopsi aturan kebebasan berekspresi, mengadopsi ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), di situ tetap ada limitasinya,” ulangnya.
Ada empat limitasi dalam menyampaikan pendapat. Pertama, tidak mengganggu ketertiban publik; tidak mengganggu hak asasi; tidak melanggar etika dan moral; dan tidak boleh mengancam keamanan nasional. Dalam UU Nomor 9/1998 itu dituangkan dalam Pasal 6, apabila melanggar limitasi tersebut maka aksi itu dapat dibubarkan.“Itu diatur dalam Pasal 15. Pelanggaran dalam Pasal 6 pelanggar hukum dapat dibubarkan. Kalau dibubarkan, kemudian melakukan perlawanan, ada KUHP, melawan petugas yang sah. Kalau petugas dengan jumlah dan korban petugas berbeda. Kalau diperintah bubar, enggak bubar juga, bisa dikenakan pidana,” papar Tito.
Selain itu, aksi unjuk rasa juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) yang merupakan turunan dari UU Nomor 7/ 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Di situ di atur batasan-batasan yang tidak diperbolehkan. Di antaranya mengganggu ketenangan umum, mengganggu pemerintah, dikoordinasikan dengan kepolisian terkait waktu unjuk rasa dan harus ada surat resmi dari Polri.“Kalau itu tidak diindahkan, kita kasih peringatan sesuai SOP, dari soft sampai hard. Sesuai keperluannya. Kalau seandainya ada ajakan pakai people power, itu mobilisasi umum untuk melakukan penyampaian pendapat, harus melalui mekanisme ini. Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu Pasal 107 KUHP, jelas. Ini adalah undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Itu bahasanya jelas. Yaitu perbuatan untuk menggulingkan pemerintah yang sah, maka ada ancaman pidananya,” ancam Tito.
Jika hal itu terjadi, Kapolri kembali menegaskan, penegak hukum, dengan bantuan unsur lain seperti TNI, akan melakukan penegakan hukum. Jika ternyata ada unsur provokasi atau menghasut massa untuk melakukan upaya pidana, maka akan ada jeratan pasal lain. Misalnya aksi makar, itu pidana yang diatur dalam UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 dan 15 atau menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran.“Misal, bilang kecurangan, tapi buktinya tidak jelas, lalu terjadi keonaran, maka masyarakat terprovokasi. Maka, (terhadap) yang melakukan (provokasi) bisa digunakan pasal itu, ini seperti kasus yang sedang berlangsung, mohon maaf, tanpa mengurangi praduga tak bersalah, kasus Ratna Sarumpaet. Itu melakukan menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran,” ujarnya.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto memaparkan tentara menangkap adanya indikasi tidak menerima hasil penghitungan suara ke KPU, provokasi, serta upaya membuat stigma dan opini di media sosial (medsos) yang sangat gencar. Termasuk soal kecurangan dalam penghitungan dan pencatatan suara.Muncul keberatan terhadap hasil penetapan oleh KPU, hal ini terlihat dari indikasi perkembangan ketidakpuasan atas proses yang sedang berjalan. Beberapa pihak juga mengutarakan terjadinya kecurangan walaupun pihak penyelenggara pemilu mengatakan tidak terjadi. “Akibat dari keberatan tersebut dapat terjadi aksi untuk melaksanakan unjuk rasa atau penyerangan terhadap kantor penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu dan sebagainya yang sudah kami prediksi dan siagakan dengan Bapak Kapolri,” ujarnya.
Hadi menegaskan bahwa sejak awal tentara selalu menjaga netralitas. TNI juga terus memperhatikan perkembangan pascapemilu. Berjaga-jaga apabila ada eskalasi yang tidak dapat dikendalikan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan karena yang berkompetisi tidak bisa menahan diri ataupun ada aktor di baliknya, sementara masyarakat masih memiliki sifat yang mudah terprovokasi dan ini bisa dimanfaatkan oleh aktor tersebut.“Massa dalam jumlah yang besar yang tertib dapat berubah seketika apabila dalam cuaca panas lelah dan lapar dan akan muncul provokasi yang timbul di tengah-tengah masyarakat tersebut dan adanya tindakan brutal,” ungkapnya. (Kiswondari)
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat rapat evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019 bersama jajaran DPD RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.“Kalau ada klaim kecurangan (pemilu), lalu melakukan aksi massa, tetap ada limitasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” ujarnya.
Tito menjelaskan, aksi massa memang legal dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat. Kendati demikian, kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut tidak absolut. “Kita tahu UU 9/98 ini mengadopsi aturan kebebasan berekspresi, mengadopsi ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), di situ tetap ada limitasinya,” ulangnya.
Ada empat limitasi dalam menyampaikan pendapat. Pertama, tidak mengganggu ketertiban publik; tidak mengganggu hak asasi; tidak melanggar etika dan moral; dan tidak boleh mengancam keamanan nasional. Dalam UU Nomor 9/1998 itu dituangkan dalam Pasal 6, apabila melanggar limitasi tersebut maka aksi itu dapat dibubarkan.“Itu diatur dalam Pasal 15. Pelanggaran dalam Pasal 6 pelanggar hukum dapat dibubarkan. Kalau dibubarkan, kemudian melakukan perlawanan, ada KUHP, melawan petugas yang sah. Kalau petugas dengan jumlah dan korban petugas berbeda. Kalau diperintah bubar, enggak bubar juga, bisa dikenakan pidana,” papar Tito.
Selain itu, aksi unjuk rasa juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) yang merupakan turunan dari UU Nomor 7/ 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Di situ di atur batasan-batasan yang tidak diperbolehkan. Di antaranya mengganggu ketenangan umum, mengganggu pemerintah, dikoordinasikan dengan kepolisian terkait waktu unjuk rasa dan harus ada surat resmi dari Polri.“Kalau itu tidak diindahkan, kita kasih peringatan sesuai SOP, dari soft sampai hard. Sesuai keperluannya. Kalau seandainya ada ajakan pakai people power, itu mobilisasi umum untuk melakukan penyampaian pendapat, harus melalui mekanisme ini. Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu Pasal 107 KUHP, jelas. Ini adalah undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Itu bahasanya jelas. Yaitu perbuatan untuk menggulingkan pemerintah yang sah, maka ada ancaman pidananya,” ancam Tito.
Jika hal itu terjadi, Kapolri kembali menegaskan, penegak hukum, dengan bantuan unsur lain seperti TNI, akan melakukan penegakan hukum. Jika ternyata ada unsur provokasi atau menghasut massa untuk melakukan upaya pidana, maka akan ada jeratan pasal lain. Misalnya aksi makar, itu pidana yang diatur dalam UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 dan 15 atau menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran.“Misal, bilang kecurangan, tapi buktinya tidak jelas, lalu terjadi keonaran, maka masyarakat terprovokasi. Maka, (terhadap) yang melakukan (provokasi) bisa digunakan pasal itu, ini seperti kasus yang sedang berlangsung, mohon maaf, tanpa mengurangi praduga tak bersalah, kasus Ratna Sarumpaet. Itu melakukan menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran,” ujarnya.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto memaparkan tentara menangkap adanya indikasi tidak menerima hasil penghitungan suara ke KPU, provokasi, serta upaya membuat stigma dan opini di media sosial (medsos) yang sangat gencar. Termasuk soal kecurangan dalam penghitungan dan pencatatan suara.Muncul keberatan terhadap hasil penetapan oleh KPU, hal ini terlihat dari indikasi perkembangan ketidakpuasan atas proses yang sedang berjalan. Beberapa pihak juga mengutarakan terjadinya kecurangan walaupun pihak penyelenggara pemilu mengatakan tidak terjadi. “Akibat dari keberatan tersebut dapat terjadi aksi untuk melaksanakan unjuk rasa atau penyerangan terhadap kantor penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu dan sebagainya yang sudah kami prediksi dan siagakan dengan Bapak Kapolri,” ujarnya.
Hadi menegaskan bahwa sejak awal tentara selalu menjaga netralitas. TNI juga terus memperhatikan perkembangan pascapemilu. Berjaga-jaga apabila ada eskalasi yang tidak dapat dikendalikan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan karena yang berkompetisi tidak bisa menahan diri ataupun ada aktor di baliknya, sementara masyarakat masih memiliki sifat yang mudah terprovokasi dan ini bisa dimanfaatkan oleh aktor tersebut.“Massa dalam jumlah yang besar yang tertib dapat berubah seketika apabila dalam cuaca panas lelah dan lapar dan akan muncul provokasi yang timbul di tengah-tengah masyarakat tersebut dan adanya tindakan brutal,” ungkapnya. (Kiswondari)
(nfl)