Bangun Karakter Generasi Milenial lewat Penguatan Budaya
A
A
A
JAKARTA - Pendidikan karakter dinilai menjadi keniscayaan sebagai benteng menyaring nilai, pandangan dan sikap intoleransi dan radikalisme yang dapat mengarah kepada kekerasan dan terorisme.
Dalam konteks itu, pendidikan karakter saat ini dinilai menjadi bagian paling penting dalam setiap pelajaran di sekolah untuk menjadikan masyarakat bermoral, beradab dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar dan bangsa.
Minimnya tokoh-tokoh yang bisa menjadi panutan masyarakat membuat para generasi milenial ini seolah-olah tidak memiliki panutan.
Menurut pengamat pendidikan, Darmaningtyas, keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia menuntut adanya pendidikan karakter pada era sekarang ini. Mau tidak mau pendidikan karakter harus berlandaskan kepada kebudayaan yang ada di daerah setempat.
“Ini agar para anak-anak generasi milenial bisa mengerti mengenai apa yang menjadi budaya yang ada di daerahnya masing-masing, apalagi budaya bangsa ini sangat melimpah. Pendidikan karakter itu nantinya akan kembali tumbuh pada jiwa para generasi milenial itu,” tutur Darmaningtyas di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Sayangnya, kata dia, anak muda sekarang ini sudah kurang begitu berminat terhadap nilai-nilai yang bersifat normatif. Karena pendidikan karakter itu mau tidak mau bersifat normatif.
Sementara para generasi milenial ini menolak hal-hal yang sifatnya normatif, apalagi eksistensi para generasi milenial ini berasal dari dunia global.
Dia memberikan contoh, di era generasi dirinya atau generasi X dulu masih ada pertunjukan kebudayaan seperti wayang. Yang menjadi referensi saat itu adalah para tokoh atau figur dalam pewayangan yang menggambarkan kebaikan dan keburukan.
“Beda dengan generasi sekarang yang referensinya sudah tidak itu lagi. Tantangan lain sekarang ini adanya serbuan media global. Selain itu, penanaman nilai-nilai yang berlandaskan pada kebudayaan juga cenderung minim,” tuturnya.
Menurut dia, persoalan bangsa sekarang ini jika membicarakan tentang pendidikan karakter selalu diidentikkan dengan pendidikan Agama. Penyelesaiannya pun lebih kepada menambahkan mata pelajaran Agama.
“Padahal seharusnya tidak demikian. Karena seperti kesenian, sastra, olahraga, pramuka itu mestinya bisa menjadi media untuk dijadikan sebagai wahana pendidikan karakter. Ini yang saya kira banyak tantangan dan kendalanya,” tuturnya.
Menurut dia, pendidikan karakter sebetulnya lebih kepada menciptakan panutan. Nah, peran pemerintah menciptakakan panutan-panutan yang bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya.
“Tidak usah jauh-jauh, ketika orang melihat Menteri Kelautan (Susi Pudjiastuti). Mereka melihat sosok orang yang memiliki karakter yang sangat kuat, meskipun secara formal tingkat pendidikannya bu Susi tidak terlalu tinggi. Nah yang seperti itu memberikan contoh pada para generasi milenial karena secara tidak langsung karakter itu akan terbentuk pada diri seseorang,” tuturnya.
Dalam konteks itu, pendidikan karakter saat ini dinilai menjadi bagian paling penting dalam setiap pelajaran di sekolah untuk menjadikan masyarakat bermoral, beradab dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar dan bangsa.
Minimnya tokoh-tokoh yang bisa menjadi panutan masyarakat membuat para generasi milenial ini seolah-olah tidak memiliki panutan.
Menurut pengamat pendidikan, Darmaningtyas, keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia menuntut adanya pendidikan karakter pada era sekarang ini. Mau tidak mau pendidikan karakter harus berlandaskan kepada kebudayaan yang ada di daerah setempat.
“Ini agar para anak-anak generasi milenial bisa mengerti mengenai apa yang menjadi budaya yang ada di daerahnya masing-masing, apalagi budaya bangsa ini sangat melimpah. Pendidikan karakter itu nantinya akan kembali tumbuh pada jiwa para generasi milenial itu,” tutur Darmaningtyas di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Sayangnya, kata dia, anak muda sekarang ini sudah kurang begitu berminat terhadap nilai-nilai yang bersifat normatif. Karena pendidikan karakter itu mau tidak mau bersifat normatif.
Sementara para generasi milenial ini menolak hal-hal yang sifatnya normatif, apalagi eksistensi para generasi milenial ini berasal dari dunia global.
Dia memberikan contoh, di era generasi dirinya atau generasi X dulu masih ada pertunjukan kebudayaan seperti wayang. Yang menjadi referensi saat itu adalah para tokoh atau figur dalam pewayangan yang menggambarkan kebaikan dan keburukan.
“Beda dengan generasi sekarang yang referensinya sudah tidak itu lagi. Tantangan lain sekarang ini adanya serbuan media global. Selain itu, penanaman nilai-nilai yang berlandaskan pada kebudayaan juga cenderung minim,” tuturnya.
Menurut dia, persoalan bangsa sekarang ini jika membicarakan tentang pendidikan karakter selalu diidentikkan dengan pendidikan Agama. Penyelesaiannya pun lebih kepada menambahkan mata pelajaran Agama.
“Padahal seharusnya tidak demikian. Karena seperti kesenian, sastra, olahraga, pramuka itu mestinya bisa menjadi media untuk dijadikan sebagai wahana pendidikan karakter. Ini yang saya kira banyak tantangan dan kendalanya,” tuturnya.
Menurut dia, pendidikan karakter sebetulnya lebih kepada menciptakan panutan. Nah, peran pemerintah menciptakakan panutan-panutan yang bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya.
“Tidak usah jauh-jauh, ketika orang melihat Menteri Kelautan (Susi Pudjiastuti). Mereka melihat sosok orang yang memiliki karakter yang sangat kuat, meskipun secara formal tingkat pendidikannya bu Susi tidak terlalu tinggi. Nah yang seperti itu memberikan contoh pada para generasi milenial karena secara tidak langsung karakter itu akan terbentuk pada diri seseorang,” tuturnya.
(dam)