Meneladani Budi Pekerti Kartini
A
A
A
TANGGAL 21 April kemarin, Bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Momen ini bertepatan ketika situasi politik Tanah Air sedang menghangat pascapelaksanaan pemilu pada 17 April lalu. Meskipun pemilu sudah lima hari berlalu, namun suhu masih tetap tinggi. Situasi ini tak lepas dari aksi saling klaim menang oleh dua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang berdasarkan hasil hitung cepat (quick count ) sejumlah lembaga survei. Sedangkan pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengklaim menang mengacu data real count internal mereka. Pendukung dua kubu juga sama-sama meyakini kemenangan calon mereka, terutama melalui pernyataan di media sosial.Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan mengumumkan hasil resmi pemenang pilpres pada 22 Mei mendatang. Masih tersisa waktu sebulan untuk mengikuti tahapan rekapitulasi perolehan suara yang dilakukan berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga KPU Pusat.
Di tengah situasi seperti ini penting untuk sama-sama menjaga situasi kondusif dengan menghindari hal-hal bersifat kontraporduktif. Salah satunya tidak menggelar deklarasi kemenangan. Patut dipuji langkah Prabowo yang meminta pendukungnya tetap tenang dan menghindari tindakan anarkis, meski memerintahkan agar mengawasi ketat proses rekapitulasi suara. Demikian pula Jokowi yang meminta pendukungnya agar tidak merayakan kemenangan sebelum ada pengumuman resmi dari KPU.
Namun, perang pernyataan antarpendukung tetap saja ramai di media sosial (medsos). Tak jarang ada yang menyebarkan fitnah atau hoaks, seolah tak peduli itu rawan memantik suasana keruh. Tak sedikit pula membuat kalimat ejekan yang ditujukan kepada kubu lawan. Kita seolah lupa bahwa dalam pemilu sejatinya hanya mekanisme untuk mencari pemimpin. Siapa yang paling banyak didukung rakyat, maka dialah akan dilantik untuk memimpin. Hal itu sudah terjadi dalam beberapa kali pilpres yang digelar langsung. Jika pun ada pihak menilai pemilu tidak berlangsung dengan jujur dan adil, diwarnai kecurangan dan pelanggaran, maka tersedia mekanisme untuk menyelesaikannya. Jika itu pelanggaran pemilu bisa dilaporkan ke Bawaslu untuk diproses melalui pengadilan. Jika itu sengketa hasil, gugatan bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya adalah diperlukan kedewasaan untuk saling menahan diri dan menghindari hal-hal yang bisa merugikan semua pihak. Pilihan politik boleh berbeda, calon yang dijagokan bisa saja menang atau kalah, namun satu terpenting: persatuan harus terus dijaga karena itu sangat mahal harganya.
Selayaknya kita mengambil teladan dari Kartini, seorang pejuang perempuan yang berkontribusi besar bagi bangsa ini. Kartini semasa hidupnya menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti antara lain bagaimana jujur dalam bertindak, berkepribadian, dan amanah dalam menerima tanggung jawab. Tokoh emansipasi mengajarkan pentingnya saling menghormati antara satu sama lain, bertoleransi, rendah hati dalam pergaulan, dan mampu menerima setiap situasi atau kondisi. Semangat dan nilai yang diajarkan Kartini seyogianya diteladani bersama, tidak hanya masyarakat umum, termasuk juga elite kita. Pada akhirnya nanti, siapa pun yang dinyatakan sebagai pemenang, itu adalah pilihan Indonesia dan akan menjadi pemimpin untuk semua.
Dalam situasi seperti ini penting merenungkan kembali tujuan bangsa ini dalam berdemokrasi. Muara dari demokrasi adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan dan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Namun, jika prosedur demokrasi berupa pemilu justru menciptakan ketegangan, bahkan mengarah ke perpecahan anak bangsa, maka komitmen bersama kita patut dipertanyakan. Secara prosedur kita siap berdemokrasi, namun ternyata abai pada substansinya, yakni berlaku jujur, adil, serta siap menang dan siap kalah.
Penting pula mengingatkan KPU, Bawaslu, TNI-Polri, dan pemerintah, untuk memperkuat demi terciptanya situasi kondusif di masa-masa akhir tahapan pemilu ini. Seluruh instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu juga seyogianya responsif terhadap setiap laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran dan kecurangan. Asas keadilan dalam menangani laporan masyarakat harus dikedepankan agar tidak tercipta kesan tebang pilih.
Di tengah situasi seperti ini penting untuk sama-sama menjaga situasi kondusif dengan menghindari hal-hal bersifat kontraporduktif. Salah satunya tidak menggelar deklarasi kemenangan. Patut dipuji langkah Prabowo yang meminta pendukungnya tetap tenang dan menghindari tindakan anarkis, meski memerintahkan agar mengawasi ketat proses rekapitulasi suara. Demikian pula Jokowi yang meminta pendukungnya agar tidak merayakan kemenangan sebelum ada pengumuman resmi dari KPU.
Namun, perang pernyataan antarpendukung tetap saja ramai di media sosial (medsos). Tak jarang ada yang menyebarkan fitnah atau hoaks, seolah tak peduli itu rawan memantik suasana keruh. Tak sedikit pula membuat kalimat ejekan yang ditujukan kepada kubu lawan. Kita seolah lupa bahwa dalam pemilu sejatinya hanya mekanisme untuk mencari pemimpin. Siapa yang paling banyak didukung rakyat, maka dialah akan dilantik untuk memimpin. Hal itu sudah terjadi dalam beberapa kali pilpres yang digelar langsung. Jika pun ada pihak menilai pemilu tidak berlangsung dengan jujur dan adil, diwarnai kecurangan dan pelanggaran, maka tersedia mekanisme untuk menyelesaikannya. Jika itu pelanggaran pemilu bisa dilaporkan ke Bawaslu untuk diproses melalui pengadilan. Jika itu sengketa hasil, gugatan bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya adalah diperlukan kedewasaan untuk saling menahan diri dan menghindari hal-hal yang bisa merugikan semua pihak. Pilihan politik boleh berbeda, calon yang dijagokan bisa saja menang atau kalah, namun satu terpenting: persatuan harus terus dijaga karena itu sangat mahal harganya.
Selayaknya kita mengambil teladan dari Kartini, seorang pejuang perempuan yang berkontribusi besar bagi bangsa ini. Kartini semasa hidupnya menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti antara lain bagaimana jujur dalam bertindak, berkepribadian, dan amanah dalam menerima tanggung jawab. Tokoh emansipasi mengajarkan pentingnya saling menghormati antara satu sama lain, bertoleransi, rendah hati dalam pergaulan, dan mampu menerima setiap situasi atau kondisi. Semangat dan nilai yang diajarkan Kartini seyogianya diteladani bersama, tidak hanya masyarakat umum, termasuk juga elite kita. Pada akhirnya nanti, siapa pun yang dinyatakan sebagai pemenang, itu adalah pilihan Indonesia dan akan menjadi pemimpin untuk semua.
Dalam situasi seperti ini penting merenungkan kembali tujuan bangsa ini dalam berdemokrasi. Muara dari demokrasi adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan dan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Namun, jika prosedur demokrasi berupa pemilu justru menciptakan ketegangan, bahkan mengarah ke perpecahan anak bangsa, maka komitmen bersama kita patut dipertanyakan. Secara prosedur kita siap berdemokrasi, namun ternyata abai pada substansinya, yakni berlaku jujur, adil, serta siap menang dan siap kalah.
Penting pula mengingatkan KPU, Bawaslu, TNI-Polri, dan pemerintah, untuk memperkuat demi terciptanya situasi kondusif di masa-masa akhir tahapan pemilu ini. Seluruh instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu juga seyogianya responsif terhadap setiap laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran dan kecurangan. Asas keadilan dalam menangani laporan masyarakat harus dikedepankan agar tidak tercipta kesan tebang pilih.
(mhd)