Menghindarkan Anak dari Tindak Kekerasan

Kamis, 11 April 2019 - 08:00 WIB
Menghindarkan Anak dari...
Menghindarkan Anak dari Tindak Kekerasan
A A A
KASUS penganiayaan pelajar di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, dengan korban anak di bawah umur, AU, menyentak kita semua. Kejadian tersebut dalam beberapa hari ini memantik kemarahan di mana-mana. Sebagian mengutuk perilaku sejumlah siswi SMA yang mengeroyok korban hingga menderita luka sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit.

Kemarahan banyak pihak ini dipicu oleh kekerasan pelaku yang dinilai di luar batas. Korban yang merupakan gadis berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SMP dinilai tidak pantas menerima kekerasan seperti itu. Kemarahan banyak pihak ini juga dipicu sikap pelaku saat di kantor polisi yang terlihat asyik membuat instastory dan mempostingnya dengan gaya seolah menantang.

Karena kasus ini viral dan menjadi perbincangan nasional, para pelaku yang juga masih di bawah umur akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban. Namun di depan polisi pelaku mengaku tidak mengeroyok dan tidak melukai area sensitif korban seperti banyak dibicarakan netizen di media sosial. Mereka mengaku hanya berkelahi satu lawan satu dengan korban.

Namun kecaman kepada pelaku tidak surut. Sehari sebelumnya simpati publik kepada korban tecermin melalui tagar #justiceforaudrey. Tagar ini sempat bertengger sebagai trending topic dunia. Tak berhenti di situ, kemarin tanda tangan petisi dukungan untuk AU sudah mencapai 3 juta orang.

Penganiayaan terhadap AU terjadi pada Jumat (29/3). Saat itu dia didatangi pelaku beserta teman-temannya dan diajak ke luar rumah. Sebenarnya target penganiayaan itu bukan AU, melainkan kakak sepupunya, PO. Motifnya adalah masalah asmara yang melibatkan PO. Awalnya ada 12 orang yang diduga menganiaya korban. Namun hanya tiga orang yang dinyatakan sebagai pelaku. Tadi malam Polresta Pontianak menetapkan ketiganya sebagai tersangka, masing-masing berinisial FA atau Ll, TP atau Ar, dan NN atau Ec.

Kapolresta Pontianak Kombes Muhammad Anwar Nasi mengatakan, ketiga tersangka dikenai Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam tiga tahun enam bulan penjara. Pelaku dinilai melakukan penganiayaan kategori ringan sesuai dengan hasil visum oleh pihak rumah sakit.

Namun karena pelaku di bawah umur, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dilakukan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Kejadian ini sepatutnya memberikan banyak pelajaran, baik kepada pelajar, guru maupun orang tua. Ini penting menjadi perhatian semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari. Orang tua perlu diberi pembinaan agar anak mereka bisa terhindar dari kasus kekerasan dalam bentuk apa pun.

Pengawasan orang tua kepada anak remaja perlu ditingkatkan agar mereka tidak terjerumus ke hal-hal yang sifatnya destruktif. Orang tua perlu lebih intens mengawasi perilaku anaknya, termasuk di media sosial. Sebab, bisa jadi sikap agresif, perilaku permisif, dan ketidakpedulian anak pada norma-norma atau hukum diperoleh melalui interaksi dengan berbagai jenis bacaan atau tontonan di media sosial. Minimnya interaksi antara orang tua dan anak patut diduga menjadi penyebab anak berperilaku agresif sehingga mudah melakukan tindak kekerasan.

Kasus yang menimpa AU ini harus diserahkan ke kepolisian untuk diusut tuntas. Terhadap korban, selain perlu segera menyembuhkan luka fisiknya, juga perlu pendampingan intensif untuk memulihkan trauma psikologisnya. Selain itu harus ada jaminan keamanan terhadapnya di kemudian hari.Adapun terhadap para pelaku, hak-haknya sebagai anak juga harus tetap dihormati. Perlakuan banyak pihak yang mem-bully pelaku di media sosial juga bukan langkah bijak. Apalagi menambahkan “bumbu” berupa informasi yang menyesatkan, misalnya pelaku telah merusak area sensitif korban, padahal pada kenyataannya ternyata tidak demikian.

Jikapun pelaku tidak bisa diproses hukum karena masih di bawah umur, minimal harus ada pelajaran yang dipetik untuk perbaikan regulasi kita ke depan. Seharusnya undang-undang memuat aturan yang memungkinkan orang tua ikut bertanggung jawab secara hukum jika anaknya yang masih di bawah umur terlibat dalam tindakan kriminal. Ini penting agar orang tua lebih merasa bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pendidikan anak mereka.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0814 seconds (0.1#10.140)