Meredam Situasi Panas

Kamis, 04 April 2019 - 05:16 WIB
Meredam Situasi Panas
Meredam Situasi Panas
A A A
Pelaksanaan pemilu serentak tersisa kurang dua pekan. Pada 17 April nanti bangsa Indonesia akan mencatatkan sejarah siapa yang akhirnya diberi mandat oleh rakyat memimpin bangsa ini hingga lima tahun ke depan. Ada harapan besar bahwa pemimpin yang akan terpilih nanti mampu membawa bangsa ini lebih maju dan bisa mengatasi setiap permasalahannya. Besarnya harapan rakyat itu pula yang menjadikan kompetisi pemilihan presiden (pilpres) kali ini terasa lebih keras. Sejak pasangan capres dan cawapres ditetapkan ruang publik begitu gaduh. Di media massa dan terutama di media sosial suasana begitu gegap gempita dengan berbagai isu dan propaganda.

Dua kubu capres dan cawapres sama-sama tak ingin kalah dalam berebut pengaruh. Sayangnya, upaya merebut dukungan pemilih kerap diwarnai praktik kotor dan jauh dari nilai demokrasi antara lain menyebarkan hoaks dan fitnah terhadap kubu lawan. Pilpres juga diwarnai isu ketidaknetralan oknum aparat, termasuk dari Polri yang dituding mendukung pasangan calon tertentu.

Tak ayal, pilpres kali ini bisa disebut sebagai ajang pemilihan yang paling keras, bahkan menjurus kasar, sejak Indonesia memasuki era Reformasi. Banyak cara-cara ilegal yang dilakukan pendukung pasangan calon demi mendongkrak elektabilitas capres dan cawapresnya. Barangkali ini pemilu yang akan tercatat dalam sejarah sebagai ajang pemilihan yang paling menguras energi dan emosi karena rakyat seolah dipaksa berada pada situasi di mana mereka harus berhadap-hadapan satu sama lain.

Kurang dua pekan menjelang pencoblosan, situasi makin terasa panas. Semakin banyak bermunculan informasi yang isinya ingin menyudutkan kubu lawan. Kemarin misalnya di media sosial beredar video yang menampilkan cawapres KH Ma’ruf Amin yang mengomentari mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok dan menyebutnya sebagai sumber konflik. Selain itu, beredar pula pernyataan melalui chat WhatsApp Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang meragukan keislaman capres Prabowo Subianto. Viral pula video yang menampilkan Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan yang sedang memberi amplop ke salah satu ulama pesantren. Termasuk juga peredaran foto vulgar orang yang diduga Juru Bicara Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin.

Entah apalagi yang akan muncul setelah itu. Satu yang pasti, peredaran konten-konten seperti itu di media sosial dengan sendirinya memancing kegaduhan baru yang pada akhirnya akan semakin memanaskan situasi dan kian memperuncing persaingan pada detik-detik akhir menjelang hari pencoblosan. Akhirnya, apa yang menjadi visi-misi dan program pasangan capres dan cawapres tenggelam oleh isu-isu yang sesungguhnya kontraproduktif. Padahal, yang seharusnya diuji dari pasangan calon sebelum diputuskan untuk dipilih adalah programnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kita bersama mafhum bahwa pilpres yang digelar serentak dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ini adalah pertaruhan bagi bangsa Indonesia. Jika mampu dilewati dengan baik, maka itu akan makin menunjukkan kematangan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Pada titik ini seluruh elemen bangsa harus bersatu padu menjamin pemilu akan berlangsung dengan tertib, lancar, dan aman dengan menjunjung tinggi asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber).

Sebaliknya, jika pemilu sampai diwarnai dengan insiden yang merusak nilai-nilai demokrasi, maka itu sangat patut disayangkan. Karena itu, menjadi kewajiban pasangan capres dan cawapres serta elite partai politik untuk menciptakan situasi yang teduh pada hari-hari akhir menjelang pemungutan suara. Siapa pun pihak seyogianya bisa menghindarkan diri membuat pernyataan-pernyataan kontraproduktif yang bisa memanaskan situasi.

Aparat negara terutama Polri, TNI, juga aparatur sipil negara di semua tingkatan seyogianya menjaga netralitasnya sebagaimana amanah undang-undang sekaligus yang menjadi sumpah jabatannya. Penting menyadari bahwa TNI dan Polri itu harus berdiri di atas kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasaan atau kelompok tertentu. Sebab, jika TNI dan Polri tidak mampu menjaga netralitasnya, maka sejarah akan mencatatnya.

Di sisi lain, seluruh lapisan masyarakat juga harus mendukung agar pemilu yang menjadi hajatan demokrasi terbesar di Tanah Air ini berjalan aman dan damai dengan cara menghindari diri menyebar hoaks dan fitnah.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5817 seconds (0.1#10.140)