Debat Capres Keempat, Gagasan Hankam Prabowo Dinilai Lemah
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Pertahanan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Muradi mengaku kecewa dengan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto karena tidak menampilkan gagasannya terkait pertahanan dan keamanan. Meskipun Prabowo sangat menekankan pada anggaran pertahanan yang tidak dipenuhi Jokowi selama ini namun, Prabowo juga tidak menyampaikan gagasannya terkait variabel pertahanan dan kemanan lainnya.
“Prabowo lebih kepada conventional approach warfare jadi, masih mengedepankan pola-pola lama sementara dalam konteks penguatan pertahanan ada banyak yang harus dihighligt, yakni kebijakan, SDM terkait personnel warfare, alutsista (alat utama sistem persenjataan dan anggaran. Ada empat hal,” ujar Muradi kepada SINDO di Jakarta, Sabtu (30/3/2019).
(Baca juga: Dianggap Bohong Tak Ada Perang, Prabowo Kritisi Pimpinan TNI)
Sementara Jokowi, lanjut Muradi, dia memang tidak bicara secara eksplisit mengenai kebijakan politik pertahanan tetapi, Jokowi menyinggung kebijakan politik pertahanan yang selama ini ia lakukan di mana Jokowi memaparkan kinerjanya selama ini. Di antaranya, membangun detasemen baru, batalion, radar darat dan udara.
“Kalau dari Jokowi sudah kelihatan, program pengembangan di Natuna. Lalu sejumlah detasemen dan batalion di beberapa tempat, Sorong, Gowa, dan daerah lain. Itu kelihatan,” ucapnya.
Muradi mengaku, selama ini ia menunggu gagasan baru dari Prabowo terkait dengan hankam karena ini tema yang cukup dikuasai oleh Prabowo. Tapi sayangnya, Prabowo lebih banyak membicarakan soal apa yang selama ini ia alami sebagai tentara dan bukan apa yang akan ia lakukan jika menjadi presiden.
Sementara soal proxy war di mana itu ancaman yang lebih besar, tidak ada gagasan soal itu yang disampaikan oleh Prabowo. “Saya menunggu apa yang akan dilakukan pak Prabowo. Tapi Pak Prabowo terjebak pada romantisme,” imbuhnya.
Menurut Muradi, memang anggaran pertahanan itu mengunci semuanya. Tapi, kalau dari empat variabel pertahanan itu jika salah satunya tidak ada maka tidak bisa maksimal.
Lnjut dia, Jokowi juga membahas apa yang menjadi tantangan bangsa ini berikut apa yang sudah ia lakukan sebagai bagian dari respons atas ancaman itu. Sementara Prabowo tidak memberikan alternatif kebijakan politik pertahanan yang seharusnya menjadi hal yang baru atau suatu alternatif yang dilakukan oleh calon oposisi.
“Karena, tata kelola pertahanan dan keamanan itu harus linier dengan kebijakan politik pertahanan,” tegasnya.
Terkait ideologi, kata Muradi, meskipun keduanya melakukan indoktrinasi, tapi kedua capres punya metodologi dan pendekatan yang berbeda.
“Prabowo lebih kepada model indoktrinasi yang pernah dilakukan era Orba. Sedangkan Jokowi ingin model kekinian dengan back bone-nya ada pada BPIP,” paparnya.
“Prabowo lebih kepada conventional approach warfare jadi, masih mengedepankan pola-pola lama sementara dalam konteks penguatan pertahanan ada banyak yang harus dihighligt, yakni kebijakan, SDM terkait personnel warfare, alutsista (alat utama sistem persenjataan dan anggaran. Ada empat hal,” ujar Muradi kepada SINDO di Jakarta, Sabtu (30/3/2019).
(Baca juga: Dianggap Bohong Tak Ada Perang, Prabowo Kritisi Pimpinan TNI)
Sementara Jokowi, lanjut Muradi, dia memang tidak bicara secara eksplisit mengenai kebijakan politik pertahanan tetapi, Jokowi menyinggung kebijakan politik pertahanan yang selama ini ia lakukan di mana Jokowi memaparkan kinerjanya selama ini. Di antaranya, membangun detasemen baru, batalion, radar darat dan udara.
“Kalau dari Jokowi sudah kelihatan, program pengembangan di Natuna. Lalu sejumlah detasemen dan batalion di beberapa tempat, Sorong, Gowa, dan daerah lain. Itu kelihatan,” ucapnya.
Muradi mengaku, selama ini ia menunggu gagasan baru dari Prabowo terkait dengan hankam karena ini tema yang cukup dikuasai oleh Prabowo. Tapi sayangnya, Prabowo lebih banyak membicarakan soal apa yang selama ini ia alami sebagai tentara dan bukan apa yang akan ia lakukan jika menjadi presiden.
Sementara soal proxy war di mana itu ancaman yang lebih besar, tidak ada gagasan soal itu yang disampaikan oleh Prabowo. “Saya menunggu apa yang akan dilakukan pak Prabowo. Tapi Pak Prabowo terjebak pada romantisme,” imbuhnya.
Menurut Muradi, memang anggaran pertahanan itu mengunci semuanya. Tapi, kalau dari empat variabel pertahanan itu jika salah satunya tidak ada maka tidak bisa maksimal.
Lnjut dia, Jokowi juga membahas apa yang menjadi tantangan bangsa ini berikut apa yang sudah ia lakukan sebagai bagian dari respons atas ancaman itu. Sementara Prabowo tidak memberikan alternatif kebijakan politik pertahanan yang seharusnya menjadi hal yang baru atau suatu alternatif yang dilakukan oleh calon oposisi.
“Karena, tata kelola pertahanan dan keamanan itu harus linier dengan kebijakan politik pertahanan,” tegasnya.
Terkait ideologi, kata Muradi, meskipun keduanya melakukan indoktrinasi, tapi kedua capres punya metodologi dan pendekatan yang berbeda.
“Prabowo lebih kepada model indoktrinasi yang pernah dilakukan era Orba. Sedangkan Jokowi ingin model kekinian dengan back bone-nya ada pada BPIP,” paparnya.
(kri)