Pandangan Guru Besar Hukum UGM Soal Masalah PT GWP
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Nindyo Pramono menegaskan, perjanjian kredit antara kreditur dan debitur berakhir ketika piutang atau aset kredit telah dijual Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sesuai kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN.
Dia menegaskan kewenangan BPPN berdasar Pasal 12 PP No.17/1999 juncto Pasal 37 a UU Perbankan sangat luas, yaitu mulai mengambil alih kewenangan direksi, komisaris, pemegang saham, sampai menjual, dan menjual di bawah nilai buku (piutang atau aset kredit).
"(Jadi tidak hanya menagihkan, tapi sampai) menjual. Karena kewenangan BPPN yang sangat luas di PP 17," katanya ketika menjadi saksi ahli dalam persidangan gugatan perkara perdata Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019).
Pokok gugatan yang diajukan TW melalui kuasa hukum Desrizal dkk adalah meminta pengadilan memutuskan bahwa PT Geria Wijaya Prestige (GWP) telah melakukan wanprestasi, dan mesti membayar penggugat lebih dari US$31 juta.
Turut tergugat Fireworks Ventures Limited. Bos Artha Graha Group itu diketahui membeli hak tagih piutang PT GWP dari Bank China Construction Bank Indonesia (dulu Bank Multicor) melalui akta bawah tangan 12 Februari 2018.
Pada 1995, Bank Multicor menjadi salah satu anggota sindikasi kreditur yang memberikan pinjaman US$17 juta kepada PT GWP. Namun akibat krisis moneter 1997-1999, beberapa bank anggota sindikasi kolaps dan harus diambilalih BPPN.
Pada 8 November 2000, semua anggota kreditur sindikasi, termasuk Bank Multicor, membuat Kesepakatan Bersama dengan BPPN, yang pada intinya menyerahkan kewenangan pengurusan piutang PT GWP kepada BPPN berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999.
Sejak itu, piutang PT GWP ditangani BPPN, hingga akhirnya BPPN menjual piutang tersebut melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI Tahun 2004 yang dimenangkan PT Millenium Atlantic Securities/MAS.
BPPN lalu mengalihkan piutang (cessie) PT GWP kepada PT MAS, yang kemudian pada 2005 mengalihkan piutang tersebut kepada Fireworks Ventures Limited. Saat ini Fireworks adalah pemegang tunggal eks aset kredit PT GWP tersebut.
Nindyo Pramono menegaskan ketika kreditur melalui Kesepakatan Bersama telah menyerahkan kewenangan kepada BPPN berdasar PP No. 17 Tahun 1999, maka seluruh dokumen kredit dan jaminan harus diserahkan kepada BPPN.
Letika BPPN sudah menjual piutang atau aset kredit, maka dengan sendirinya berakhir sudah hubungan antara kreditur sindikasi dengan debitur. "Kalau semua sudah diserahkan ke BPPN, dan BPPN sudah diberi kewenangan yang luas, proses sudah selesai," kata Nindyo.
Dengan demikian, kalau di kemudian hari ada anggota kreditur sindikasi yang mengklaim masih memiliki piutang dan lalu melakukan penagihan atau menjual objek piutang tersebut, dia menyatakan bahwa kemungkinan ada penyalahgunaan kewenangan.
Setelah diurus dan dituntaskan BPPN, dia menegaskan anggota kreditur tak lagi punya alas hak untuk menjual piutang. "Kalau ada kreditur yang menjual (piutang) kembali, ya batal demi hukum sampai turunan-turunannya," paparnya.
Dia menegaskan kewenangan BPPN berdasar Pasal 12 PP No.17/1999 juncto Pasal 37 a UU Perbankan sangat luas, yaitu mulai mengambil alih kewenangan direksi, komisaris, pemegang saham, sampai menjual, dan menjual di bawah nilai buku (piutang atau aset kredit).
"(Jadi tidak hanya menagihkan, tapi sampai) menjual. Karena kewenangan BPPN yang sangat luas di PP 17," katanya ketika menjadi saksi ahli dalam persidangan gugatan perkara perdata Nomor 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019).
Pokok gugatan yang diajukan TW melalui kuasa hukum Desrizal dkk adalah meminta pengadilan memutuskan bahwa PT Geria Wijaya Prestige (GWP) telah melakukan wanprestasi, dan mesti membayar penggugat lebih dari US$31 juta.
Turut tergugat Fireworks Ventures Limited. Bos Artha Graha Group itu diketahui membeli hak tagih piutang PT GWP dari Bank China Construction Bank Indonesia (dulu Bank Multicor) melalui akta bawah tangan 12 Februari 2018.
Pada 1995, Bank Multicor menjadi salah satu anggota sindikasi kreditur yang memberikan pinjaman US$17 juta kepada PT GWP. Namun akibat krisis moneter 1997-1999, beberapa bank anggota sindikasi kolaps dan harus diambilalih BPPN.
Pada 8 November 2000, semua anggota kreditur sindikasi, termasuk Bank Multicor, membuat Kesepakatan Bersama dengan BPPN, yang pada intinya menyerahkan kewenangan pengurusan piutang PT GWP kepada BPPN berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999.
Sejak itu, piutang PT GWP ditangani BPPN, hingga akhirnya BPPN menjual piutang tersebut melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI Tahun 2004 yang dimenangkan PT Millenium Atlantic Securities/MAS.
BPPN lalu mengalihkan piutang (cessie) PT GWP kepada PT MAS, yang kemudian pada 2005 mengalihkan piutang tersebut kepada Fireworks Ventures Limited. Saat ini Fireworks adalah pemegang tunggal eks aset kredit PT GWP tersebut.
Nindyo Pramono menegaskan ketika kreditur melalui Kesepakatan Bersama telah menyerahkan kewenangan kepada BPPN berdasar PP No. 17 Tahun 1999, maka seluruh dokumen kredit dan jaminan harus diserahkan kepada BPPN.
Letika BPPN sudah menjual piutang atau aset kredit, maka dengan sendirinya berakhir sudah hubungan antara kreditur sindikasi dengan debitur. "Kalau semua sudah diserahkan ke BPPN, dan BPPN sudah diberi kewenangan yang luas, proses sudah selesai," kata Nindyo.
Dengan demikian, kalau di kemudian hari ada anggota kreditur sindikasi yang mengklaim masih memiliki piutang dan lalu melakukan penagihan atau menjual objek piutang tersebut, dia menyatakan bahwa kemungkinan ada penyalahgunaan kewenangan.
Setelah diurus dan dituntaskan BPPN, dia menegaskan anggota kreditur tak lagi punya alas hak untuk menjual piutang. "Kalau ada kreditur yang menjual (piutang) kembali, ya batal demi hukum sampai turunan-turunannya," paparnya.
(maf)