Kekayaan Rempah di Tanah Air Bentuk Kearifan Lokal

Senin, 25 Maret 2019 - 06:59 WIB
Kekayaan Rempah di Tanah Air Bentuk Kearifan Lokal
Kekayaan Rempah di Tanah Air Bentuk Kearifan Lokal
A A A
JAKARTA - Rempah punya peran penting terhadap kehidupan masyarakat lokal, bahkan menjadi komoditas bangsa Eropa. Pengaruh tersebut membentuk kearifan lokal yang bisa diwariskan secara turun-temurun. Di antaranya melalui beragam kuliner, obat, hingga, upacara adat. Peneliti Balai Tanaman Rempah dan Obat Pasril Wahid mengungkapkan bahwa rempah Indonesia sangat beragam.

Rempah Indonesia bahkan menjadi komoditas unggulan yang banyak dicari orang Eropa karena memiliki berbagai fungsi. ”Contohnya cengkeh yang karena baunya dimanfaatkan sebagai pemberi aroma harum pada mulut dan digunakan sebagai atraktan yang dilakukan dalam bidang pertanian untuk menghasilkan produk organik,” ungkap Pasril dalam International Forum on Spice Route (IFSR) di Museum Nasional, Jakarta, kemarin.

Pasril menceritakan bahwa beberapa orang Eropa mulai mencari rempah langsung ke sumbernya. Dalam perjalanannya, ada beberapa kegagalan yang terjadi seperti Columbus yang justru menjadi ke India, dan Ferdinand Magellans yang ke Tanjung Harapan, lalu Australia. “Tetapi dari sinilah, muncul keinginan untuk kian lanjut dalam mencari sumber rempah sehingga pada akhirnya terobatilah rasa lelah begitu menemukan Pulau Banda,” ucapnya.

Dilatarbelakangi keserakahan bangsa Eropa, kata Pasril, bibit-bibit rempah di Banda mulai dicoba untuk diselundupkan hingga ke luar negeri. “Hasilnya, kini cengkeh dan pala yang menjadi endemik Maluku ditanam juga di tempat lain seperti Grenada yang mulai memasuki pasar internasional pada 1843,” ungkapnya. Arkeolog sekaligus dosen Arkeologi dari Universitas Indonesia, Junus Satrio Atmodjo mengungkapkan, rempah yang memiliki aroma wewangian khas menjadi penting dalam upacara adat.

“Wewangian memiliki peran amat penting. Ada potongan relief candi di mana tampak wanita yang sedang memuliakan Buddha Gautama dengan membakar wewangian saat melakukan pengajaran. Wewangian surgawi dibagi berdasarkan aroma dan warna. Wewangian ini penting dalam pemujaan arwah, menghubungkan orang hidup dengan arwah orang mati,” ungkapnya.

Rempah yang memiliki aroma wewangian merupakan simbolisasi terhadap harapan yang dititipkan agar dapat dipastikan. “Ini pentingnya rempah sebagai penyambung jiwa dan ruang, ada juga kotak peripih. Di dalam kotak berharga ini ditempatkan sembilan jenis permata, sembilan biji-bijian, dan lima jenis logam, juga bertujuan untuk menghubungkan arwah hidup dengan yang mati,” ucapnya.

Di bagian atap candi Hindu, kata Junus, terdapat ruangan tempat dewa “menunggu” sementara sebelum turun dan menyatu ke badan arca di ruang utama di bawahnya. “Air yang digunakan untuk membasuh arca akan turun melalui pipa dan membasahi kotak peripih sehingga terjadi penyatuan antara dewa yang dipuja dengan arwah nenek moyang yang dilambangkan menggunakan peripih. Barang ini selalu ditemukan di bawah tanah di candi Hindu, bawah sumuran,” ungkapnya.

Mohammad Fathi Royyani, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi-LIPI, menceritakan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui orang asing, mulai dari bangsa India, China, hingga Arab. “Sejatinya, Islam bukan dimasukkan ke Nusantara, tetapi diambil oleh orang Nusantara. Hal ini memiliki pengertian bahwa orang Nusantara yang pergi ke wilayah tersebut menyerap dan mengambil nilai-nilai agama Islam walau pada perkembangan berikutnya banyak juru dakwah yang datang ke Nusantara,” katanya.

Fathi mengatakan, ihwal yang diserap pada waktu itu meliputi pembentukan karakter islami serta mengajarkan tradisi dan pengetahuan mengenai wewangian. Di sinilah peran rempah menjadi amat penting seperti kemenyan. “Pada saat berakulturasi, maka harus dicari kesamaan tradisinya. Kemenyan adalah media paling memungkinkan karena dalam setiap agama selalu digunakan sebagai pelengkap,” tegasnya.

Dia juga kembali mengajak masyarakat untuk membuka memori bersama terhadap penggunaan kemenyan di masa lalu. Ada common sense (membakar kemenyan) yang dimulai pada masa Kain-Habel. Tuhan menerima kurban Habel karena rasa ikhlas, serta mempersembahkan yang terbaik, yaitu daging kambing yang dibakar bersama wewangian, kemenyan.

“Tradisi ini juga berlanjut hingga sekarang menjadi bagian dari peribadatan dan pengharum tempat ibadah agar lebih fokus dalam beribadah,” katanya. Rempah juga memengaruhi keberagaman kuliner di Indonesia. Seto Nurseto, pria lulusan Antropologi Universitas Padjajaran ini, menceritakan pengalamannya saat menyusuri berbagai kuliner Nusantara (Indonesia dalam konteks sejarah) bersama dengan pakar kuliner Nusantara, Bondan Winarno. Salah satunya ketika ia menikmati tumpang.

“Untuk memasaknya, dibutuhkan tempe semangit (tempe busuk), dibungkus dengan daun pisang tiga lapis, dibiarkan 3-7 hari. Ada bakteri yang akan mencerna protein yang berujung pada kemunculan bau amoniak. Tempe ini lalu dimasak dengan tulang sapi dan bawang putih yang berfungsi sebagai disinfektan, disusun dari bahan terkeras hingga terlunak,” ungkapnya.

Hasil kolonialisasi bangsa Eropa sebagai akibat dari keinginan menguasai rempah Nusantara juga membawa pengaruh terhadap kuliner. Beberapa kuliner yang dia coba rasakan merupakan adaptasi dari budaya Eropa. Seto menceritakan saat perjalanannya di Solo, dia mencoba gempol pleret yang namanya sesuai dengan teknik pembuatannya.

“Ada juga bistik lidah gerobakan yang rasa dagingnya merupakan hasil adaptasi dari steak peninggalan Belanda. Ada juga nasi jemblung, yaitu makanan keraton berupa nasi semur lidah sapi. Dia juga mencoba tengkleng goreng yang gurih, serta memiliki kaldu yang intensif. Ada juga sate kere yang dibuat dari tempe gembus, menggunakan gula jawa cair sehingga membentuk molasses dengan rasa menyerupai BBQ khas Amerika,” tambahnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4391 seconds (0.1#10.140)