Tindak Kriminalitas Anak Sangat Memprihatinkan
A
A
A
JAKARTA - Tindak kriminalitas yang melibatkan anak-anak tiap tahun mengalami peningkatan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, sejak 2011 hingga akhir 2018, tercatat 11.116 anak di Indonesia tersangkut kasus kriminal.
Tindak kriminal seperti kejahatan jalan, pencurian, begal, geng motor, pembunuhan mendominasi. Komisioner KPAI Putu Elvina mengatakan, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan pada 2011 mencapai 695 orang. Sementara untuk 2018, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan meningkat drastis menjadi 1.434 orang.
“Trennya meningkat. Peningkatan drastis terlihat pada 2013-2014. Kemudian pada 2014-2015, kejahatan anak alami penurunan,” kata Putu saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Meski tidak merinci jenis kejahatan, Putu memaparkan bahwa kasus geng motor, pencurian, dan pembegalan paling banyak terjadi. Bahkan, beberapa aksi yang dilakukan berujung kematian korbannya.
Menurut Putu, banyak kejahatan yang melibatkan anak tidak lepas dari peran keluarga. Beberapa yang terlibat bahkan berasal dari anak-anak broken home. Karena itu, dia mengingatkan bahwa keluarga sangat berperan penting dalam kehidupan anak. “Banyak orang tua yang kurang mengawasi anak-anaknya. Kelemahan ini menjadikan anak mencari perhatian orang lain, salah satunya melalui teman. Sayang, terkadang perhatian ini salah tempat,” paparnya.
Kondisi ini diperburuk dengan maraknya obat-obat daftar G yang diperjualbelikan secara bebas. Konsumsi obat semacam ini oleh anak akan mendorong perbuatan kriminalitas. “Upaya preentive mampu menghindarkan anak menjadi pelaku kejahatan,” tandasnya.
Komisioner KPAI lainnya, Ai Maryati, mengatakan bahwa anak pelaku tindakan pelanggaran hukum disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum. Anak yang bermasalah ini juga akan dituntut untuk bertanggung jawab di hadapan hukum atas perbuatannya. Mereka harus menjalani proses hukum yang kemungkinan akan menimbulkan dampak psikologis.
Namun, dampak ini harus diantisipasi dan dicegah agar tidak menimbulkan kondisi psikologis yang lebih besar. Tindakan kriminal yang dilakukan seorang anak, menurut dia, tidak bisa dipandang hanya dari perspektif pelanggaran hukum semata sebab lingkungan juga memengaruhi tindakan seorang anak.
“Baik atau jahatnya anak akan sangat tergantung suasana dan stimulus lingkungannya. Tidak bisa kita lihat dari perspektif hukum saja, karena lingkungan lah yang menyebabkan anak melakukan hal negatif hingga mengarah kepada pelanggaran hukum, sehingga ketika stimulus negatif itu muncul maka anak akan mengadopsi dan meniru perilaku itu dalam kehidupannya,” ujarnya.
Keluarga terutama orang tua, lanjutnya, memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak. Keluarga merupakan sarana pembelajaran primer bagi anak. Orang tua memiliki peran utama dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Komunikasi dan interaksi orang tua dengan anak menjadi paling krusial.
“Kepada siapa anak belajar jika tidak dari lingkungan terdekat, yakni keluarga terutama orang tua. Dari orang tua lah anak mendapatkan contoh utama dalam berperilaku. Seperti kata peribahasa, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Jika orang tua memberikan contoh berperilaku yang sopan, hangat, dan perilaku baik lainnya, maka kemungkinan besar anak pun akan memiliki perilaku yang sama,” ungkapnya.
Ketika anak sudah masuk ranah hukum, proses menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak juga wajib memperhatikan kebutuhan anak, terutama hak-haknya sebagai seorang anak. Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi anak yang berkasus hukum yang diatur dalam undang-undang. Keputusan pengadilan berupa penjara juga sebaiknya dikesampingkan dan mendahulukan lembaga permasyarakatan untuk merehabilitasi anak. “Lalu, dalam penegakan hak anak harus ada sinergitas pihak terkait, orang tua, pemerintah, kepolisian, lembaga sosial, dan masyarakat,” tandasnya.
Negara, kata Ai, harus hadir dalam memberikan advokasi saat anak dinyatakan bersalah. Negara seolah orang tua yang akan memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak. Selama hukuman, anak harus ada di lingkungan yang kondusif, ramah anak, juga bebas dari akses kekerasan. “Serta harus ada edukasi masyarakat agar tidak mendiskriminasikan yang dengan stigma negatif setelah anak menjalani hukuman,” paparnya.
Di sejumlah negara, ketika anak-anak mengalami kejahatan maka orang tua juga harus dihukum. Di Amerika Serikat, lebih dari 35 negara bagian mewajibkan orang tua bertanggung jawab atas tindakan anak mereka. Di California, orang tua harus membayar denda senilai USD25.000 jika anak-anak mereka merusak properti milik orang lain.
Di Oregon, orang tua akan didenda USD1.000 atau diwajibkan mengikuti kelas parenting jika anaknya melakukan kejahatan. Di AS, batas minimal anak bisa dijadikan terdakwa di pengadilan adalah 11 tahun secara hukum federal. Namun, 33 negara bagian belum menentukan batas usia minimum anak bisa diajukan ke pengadilan.
Untuk Selandia Baru, anak-anak hingga usia 14 tahun tidak bisa diajukan ke pengadilan. Tetapi khusus kasus pembunuhan, anak yang berusia 10 dan 11 tahun bisa diadili di pengadilan. Kemudian di Skotlandia, usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum ditingkatkan menjadi 12 tahun pada 2010.
Khusus di Inggris, batas usia anak yang bisa dijebloskan ke penjara adalah 10 tahun. Dan di Belanda serta Kanada, adalah anak berusia 12 tahun. Traktat Statuta Roma untuk Mahkamah Internasional tidak menuliskan batasan usia minimal anak bisa diajukan ke pengadilan.
Dukungan Orang Tua
Psikolog Universitas Pancasila Aully Grashinta mengatakan, kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja disebut dengan juvenile delinquency. Juvenile delinquency adalah kenakalan yang pada akhirnya merupakan suatu tindakan kriminal atau kejahatan dan dapat dikenai pidana.
“Pada masa anak-anak, terutama menjelang remaja tahapan yang perkembangan mereka ada mencari identitas (identity vs role difusion). Pada saat ini, anak berupaya menemukan identitasnya melalui banyak cara. Salah satunya dengan melakukan tindakan kriminal ini,” katanya.
Pencapaian ini dipengaruhi juga oleh masa perkembangan sebelumnya, yakni industry vs inferiority. Saat anak berhasil atau berprestasi, maka dia akan menemukan jati diri yang positif (industry). Sementara jika gagal, dia akan merasa rendah diri (inferior). “Nah, pencapaian di masa ini memengaruhi perkembangan di masa berikutnya, yakni masa pencarian identitas,” ungkapnya.
Pada masa ini, anak akan melekatkan dirinya pada “label” tertentu. Pada anak yang tidak mendapat dukungan positif dari orang tua dan lingkungan terdekat, tidak jarang anak-anak melekatkan dirinya pada masalah juvenile delinquency tersebut. Misalnya bergabung dengan geng tertentu, mencoba rokok dan narkoba, berbuat asusila. “Pada masa sekarang, teknologi menjadikan semua lebih mudah. Nah, ini juga memberi pengaruh. Dengan mudah, anak bisa mengakses perilaku juvenile delinquency melalui berbagai media yang akhirnya dijadikan acuan perilaku,” paparnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengatakan, pentingnya duduk bersama sejumlah kementerian yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk merumuskan langkah-langkah solutif agar ke depan kekerasan yang melibatkan anak bisa ditekan.
Selain itu, bagi anak yang sudah telanjur terlibat di dalam kasus kekerasan baik sebagai pelaku maupun korban, juga bisa tertangani dengan baik.
Dia mengatakan, pentingnya peningkatan pendidikan karakter pada anak di sekolah. Sayangnya, hingga saat ini Kemendikbud dinilai belum menemukan bentuknya dalam program peningkatan pendidikan karakter.
Diakuinya, peningkatan pendidikan karakter memang sudah menjadi program pemerintah di Kemendikbud, namun diskusi substansial tidak terjadi terutama dengan masyarakat. (Yan Yusuf/Binti Mufarida/R Ratna Purnama/Abdul Rochim)
Tindak kriminal seperti kejahatan jalan, pencurian, begal, geng motor, pembunuhan mendominasi. Komisioner KPAI Putu Elvina mengatakan, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan pada 2011 mencapai 695 orang. Sementara untuk 2018, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan meningkat drastis menjadi 1.434 orang.
“Trennya meningkat. Peningkatan drastis terlihat pada 2013-2014. Kemudian pada 2014-2015, kejahatan anak alami penurunan,” kata Putu saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Meski tidak merinci jenis kejahatan, Putu memaparkan bahwa kasus geng motor, pencurian, dan pembegalan paling banyak terjadi. Bahkan, beberapa aksi yang dilakukan berujung kematian korbannya.
Menurut Putu, banyak kejahatan yang melibatkan anak tidak lepas dari peran keluarga. Beberapa yang terlibat bahkan berasal dari anak-anak broken home. Karena itu, dia mengingatkan bahwa keluarga sangat berperan penting dalam kehidupan anak. “Banyak orang tua yang kurang mengawasi anak-anaknya. Kelemahan ini menjadikan anak mencari perhatian orang lain, salah satunya melalui teman. Sayang, terkadang perhatian ini salah tempat,” paparnya.
Kondisi ini diperburuk dengan maraknya obat-obat daftar G yang diperjualbelikan secara bebas. Konsumsi obat semacam ini oleh anak akan mendorong perbuatan kriminalitas. “Upaya preentive mampu menghindarkan anak menjadi pelaku kejahatan,” tandasnya.
Komisioner KPAI lainnya, Ai Maryati, mengatakan bahwa anak pelaku tindakan pelanggaran hukum disebut sebagai anak berkonflik dengan hukum. Anak yang bermasalah ini juga akan dituntut untuk bertanggung jawab di hadapan hukum atas perbuatannya. Mereka harus menjalani proses hukum yang kemungkinan akan menimbulkan dampak psikologis.
Namun, dampak ini harus diantisipasi dan dicegah agar tidak menimbulkan kondisi psikologis yang lebih besar. Tindakan kriminal yang dilakukan seorang anak, menurut dia, tidak bisa dipandang hanya dari perspektif pelanggaran hukum semata sebab lingkungan juga memengaruhi tindakan seorang anak.
“Baik atau jahatnya anak akan sangat tergantung suasana dan stimulus lingkungannya. Tidak bisa kita lihat dari perspektif hukum saja, karena lingkungan lah yang menyebabkan anak melakukan hal negatif hingga mengarah kepada pelanggaran hukum, sehingga ketika stimulus negatif itu muncul maka anak akan mengadopsi dan meniru perilaku itu dalam kehidupannya,” ujarnya.
Keluarga terutama orang tua, lanjutnya, memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak. Keluarga merupakan sarana pembelajaran primer bagi anak. Orang tua memiliki peran utama dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Komunikasi dan interaksi orang tua dengan anak menjadi paling krusial.
“Kepada siapa anak belajar jika tidak dari lingkungan terdekat, yakni keluarga terutama orang tua. Dari orang tua lah anak mendapatkan contoh utama dalam berperilaku. Seperti kata peribahasa, ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’. Jika orang tua memberikan contoh berperilaku yang sopan, hangat, dan perilaku baik lainnya, maka kemungkinan besar anak pun akan memiliki perilaku yang sama,” ungkapnya.
Ketika anak sudah masuk ranah hukum, proses menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak juga wajib memperhatikan kebutuhan anak, terutama hak-haknya sebagai seorang anak. Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi anak yang berkasus hukum yang diatur dalam undang-undang. Keputusan pengadilan berupa penjara juga sebaiknya dikesampingkan dan mendahulukan lembaga permasyarakatan untuk merehabilitasi anak. “Lalu, dalam penegakan hak anak harus ada sinergitas pihak terkait, orang tua, pemerintah, kepolisian, lembaga sosial, dan masyarakat,” tandasnya.
Negara, kata Ai, harus hadir dalam memberikan advokasi saat anak dinyatakan bersalah. Negara seolah orang tua yang akan memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak. Selama hukuman, anak harus ada di lingkungan yang kondusif, ramah anak, juga bebas dari akses kekerasan. “Serta harus ada edukasi masyarakat agar tidak mendiskriminasikan yang dengan stigma negatif setelah anak menjalani hukuman,” paparnya.
Di sejumlah negara, ketika anak-anak mengalami kejahatan maka orang tua juga harus dihukum. Di Amerika Serikat, lebih dari 35 negara bagian mewajibkan orang tua bertanggung jawab atas tindakan anak mereka. Di California, orang tua harus membayar denda senilai USD25.000 jika anak-anak mereka merusak properti milik orang lain.
Di Oregon, orang tua akan didenda USD1.000 atau diwajibkan mengikuti kelas parenting jika anaknya melakukan kejahatan. Di AS, batas minimal anak bisa dijadikan terdakwa di pengadilan adalah 11 tahun secara hukum federal. Namun, 33 negara bagian belum menentukan batas usia minimum anak bisa diajukan ke pengadilan.
Untuk Selandia Baru, anak-anak hingga usia 14 tahun tidak bisa diajukan ke pengadilan. Tetapi khusus kasus pembunuhan, anak yang berusia 10 dan 11 tahun bisa diadili di pengadilan. Kemudian di Skotlandia, usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum ditingkatkan menjadi 12 tahun pada 2010.
Khusus di Inggris, batas usia anak yang bisa dijebloskan ke penjara adalah 10 tahun. Dan di Belanda serta Kanada, adalah anak berusia 12 tahun. Traktat Statuta Roma untuk Mahkamah Internasional tidak menuliskan batasan usia minimal anak bisa diajukan ke pengadilan.
Dukungan Orang Tua
Psikolog Universitas Pancasila Aully Grashinta mengatakan, kejahatan atau kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja disebut dengan juvenile delinquency. Juvenile delinquency adalah kenakalan yang pada akhirnya merupakan suatu tindakan kriminal atau kejahatan dan dapat dikenai pidana.
“Pada masa anak-anak, terutama menjelang remaja tahapan yang perkembangan mereka ada mencari identitas (identity vs role difusion). Pada saat ini, anak berupaya menemukan identitasnya melalui banyak cara. Salah satunya dengan melakukan tindakan kriminal ini,” katanya.
Pencapaian ini dipengaruhi juga oleh masa perkembangan sebelumnya, yakni industry vs inferiority. Saat anak berhasil atau berprestasi, maka dia akan menemukan jati diri yang positif (industry). Sementara jika gagal, dia akan merasa rendah diri (inferior). “Nah, pencapaian di masa ini memengaruhi perkembangan di masa berikutnya, yakni masa pencarian identitas,” ungkapnya.
Pada masa ini, anak akan melekatkan dirinya pada “label” tertentu. Pada anak yang tidak mendapat dukungan positif dari orang tua dan lingkungan terdekat, tidak jarang anak-anak melekatkan dirinya pada masalah juvenile delinquency tersebut. Misalnya bergabung dengan geng tertentu, mencoba rokok dan narkoba, berbuat asusila. “Pada masa sekarang, teknologi menjadikan semua lebih mudah. Nah, ini juga memberi pengaruh. Dengan mudah, anak bisa mengakses perilaku juvenile delinquency melalui berbagai media yang akhirnya dijadikan acuan perilaku,” paparnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengatakan, pentingnya duduk bersama sejumlah kementerian yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk merumuskan langkah-langkah solutif agar ke depan kekerasan yang melibatkan anak bisa ditekan.
Selain itu, bagi anak yang sudah telanjur terlibat di dalam kasus kekerasan baik sebagai pelaku maupun korban, juga bisa tertangani dengan baik.
Dia mengatakan, pentingnya peningkatan pendidikan karakter pada anak di sekolah. Sayangnya, hingga saat ini Kemendikbud dinilai belum menemukan bentuknya dalam program peningkatan pendidikan karakter.
Diakuinya, peningkatan pendidikan karakter memang sudah menjadi program pemerintah di Kemendikbud, namun diskusi substansial tidak terjadi terutama dengan masyarakat. (Yan Yusuf/Binti Mufarida/R Ratna Purnama/Abdul Rochim)
(nfl)