Kementerian LHK Jaga Kualitas Udara Melalui 14 Stasiun Pemantau

Selasa, 12 Maret 2019 - 20:02 WIB
Kementerian LHK Jaga...
Kementerian LHK Jaga Kualitas Udara Melalui 14 Stasiun Pemantau
A A A
JAKARTA - Dalam mengendalikan kondisi udara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengungkapkan, sudah memiliki 14 Stasiun Pemantau Udara yang ditempatkan di sejumlah provinsi di Indonesia.

14 stasiun itu yakni Banda Aceh, Pekanbaru, Batam, Padang, Jambi, Palembang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Kalimantan Utara, Jakarta Pusat, Makassar, Manado, dan Mataram.

Hal ini dikatakan oleh Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK, MS Karliansyah, dalam keterangan pers di Kantor Kementerian LHK, Jalan DI Panjaitan Kav 24, Kebon Nanas, Jakarta Timur, Selasa (12/3/2019).

"Tahun 2019 ini kami akan memasang 13 alat pemantau udara lagi yang akan kami sebar di sejumlah kota," kata Karliansyah.

Didampingi Direktur Pengendalian Pencemaran Air, Luckmi Purwandari dan Sekretaris Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro, Dirjen Karliansyah menunjukkan sejumlah data untuk meng-counter laporan Greenpeace.

"Kami punya alat pemantau kualitas udara dan hasil pemantauan alat kami memperlihatkan kualitas udara Jakarta cukup baik. Karena itu laporan Greenpeace yang menyebut kualitas udara Jakarta terburuk se-Asia Tenggara, tidak tepat," tegas Karliansyah.

Belum lama ini, Greenpeace berdasarkan laporan dari World Air Quality Report merilis data kualitas udara Jakarta yang disebutnya terburuk se-Asia Tenggara. Disebutkan, konsentrasi PM 2,5 tahun 2018 tingkat polusinya mencapai 45,3 g/m3.

Artinya konsentrasi PM 2,5 di Jakarta sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO yakni 10 g/m3. Untuk meluruskan laporan Greenpeace tersebut, Dirjen PPKL Karliansyah menegaskan, kualias udara Jakarta masih cukup baik, tidak seperti diungkap Greenpeace.

"Memang kami merekam pada 2018, ada hari yang tidak baik. Dari 365 hari, ada 196 hari kualitas udara buruk dan 34 hari kualitas udara baik. Sisanya kualitas udara sedang," tuturnya.

"Ada tapi kalau dikatakan terburuk, terjelek di Asia Tenggara tidak. Begitu juga kualitas udara rata-rata harian di Jakarta masih baik, tidak seperti yang dipaparkan Greenpeace," tambahnya.

Karliansyah menjelaskan, dari data harian Jakarta itu 57, kalau WHO itu 25 mikogram. Standart nasional kita masih baik mutu. Karena itu Karliansyah mempertanyakan alat ukur yang dipakai oleh Greenpeace. Pasalnya, berdasarkan alat yang dipakai untuk pemantauan kondisi udara dengan PM 2,5 tidak seburuk itu.

"Saya dan teman-teman di sini bertanya Greenpeace pakai data apa, metode dan instrumen apa, karena Kami yakin beliau-beliau pernah ke sini dan kami ajak ke lantai tiga di AQMS Center atau jaringan pemantau kualitas udara," ungkapnya.

Namun ketika didesak wartawan apa dan mengapa Greenpeace merilis data yang demikian itu, Karliansyah hanya tersenyum. "Kalau soal itu, saya enggak tahu. Yang jelas, kami punya alat pemantau udara," ungkapnya.

Diakui Karliansyah, sumber utama polusi udara adalah dari kendaraan bermotor yang pembakaranya kurang baik. Tetapi, jika sumber polusi dari pembangkit listrik tidak ada karena, PLTU di Muara Tawar dan Muara Karang sudah menggunakan gas sehingga tidak menimbulkan polusi.

"Dalam kaitan initudingan bahwa Jakarta dikepung polusi dampak pembangkit juga tidak benar, karena arah anginnya buka ke Jakarta," ujarnya.

Namun demikian, Karliansyah mengungkapkan, upaya untuk meningkatkan kualitas udara terus dilakukan, misalnya dengan pemberlakuan bahan bakar setara EURO4, lalu uji emisi kendaraan bermotor regular.

"Yang perlu disebutkan juga kebijakan penerapan Car Free Day atau Hari Tanpa Kendaraan Bermotor yang setiap pekan dilakukan di sejumlah kota, ikut mendukung kualitas udara yang bersih," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0030 seconds (0.1#10.140)