80% Kasus Korupsi Terjadi di Sektor Pengadaan

Jum'at, 01 Maret 2019 - 14:08 WIB
80% Kasus Korupsi Terjadi di Sektor Pengadaan
80% Kasus Korupsi Terjadi di Sektor Pengadaan
A A A
SURABAYA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah ratusan kali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus korupsi. Namun, hingga kini kejahatan kerah putih ini tak kunjung berkurang.

Dari ratusan OTT yang digelar KPK tersebut, ternyata 80% kasus korupsi didominasi dari sektor pengadaan baik pengadaan barang maupun jasa. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membenarkan hal itu. Menurut dia, meski sebagian besar pemerintahan sudah menggunakan sistem e-procurement, namun kolusi masih bisa terjadi.

Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di banyak daerah, ujarnya, juga belum optimal. Kapasitas maupun jumlah auditor juga tidak seimbang dengan beban tugas. Selain itu, kepala daerah juga sering mengintervensi terhadap APIP dalam melakukan audit.

“Kami ingin perekrutan inspektur harus dilakukan dengan fit and proper test. Sehingga inspektorat menjadi lembaga yang independen mengawal kepala daerah hingga akhir jabatan. Bila APIP dimaksimalkan, maka potensi terjadinya korupsi bisa dikurangi secara maksimal,” tandas Alexander di sela-sela acara Penandatanganan Komitmen Bersama Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Jawa Timur di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, kemarin.

Menurut dia, dalam membangun sistem pengawasan, yang harus diperkuat adalah komitmen pimpinan. Bila ini dilakukan, maka pelaksanaan berjenjang hingga ke bawah lebih mudah.

“Kita ingin kepala daerah memiliki komitmen yang sama dengan kami, KPK. Kami ingin menjadi sahabat, bukan lembaga yang ditakuti. Karena beda, bila kita mengikuti aturan karena takut, bukan karena ingin ini bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya.

Kepala Korwil 6 (Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK) Asep Rahmat Suwanda mengatakan, berdasarkan penilaian Monitoring Center for Prevention (MCP) di Jatim, hasilnya 10 teratas diraih Pemkab Lamongan, Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim, Pemkab Situbondo, dan Pemkot Batu. Kemudian, Pemkab Banyuwangi, Pemkab Malang, Pemkab Kediri, Pemkab Sampang dan Pemkab Blitar.

Sementara itu berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2018/2019 di Jatim, pada tahun 2018 yang sudah melaporkan sebanyak 88,30%. Sedangkan untuk pelaporan 2019 hingga saat ini baru 6,33%. “Untuk itu, kami mendorong agar penyelenggara negara segera melaporkan LHKPN,” katanya.

Menanggapi ini, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu meminta KPK untuk fokus pada ranah pengadaan barang dan jasa yang sumber nya adalah APBN dan APBD. “Ini untuk meminimalisasi penyelewengan anggaran negara di sektor tersebut. KPK harus lakukan peng awasan yang ketat dalam sektor pengadaan barang dan jasa,” tandasnya.

Menurut dia, sektor pengadaan barang dan jasa merupakan sektor terluas karena berada di institusi mulai dari pusat hingga daerah dan berkaitan dengan kepentingan publik. Selain OTT, sambungnya, KPK juga perlu memberi rekomendasi kepada institusi yang rawan melakukan tindak pidana korupsi.

“Dari setiap persoalan harus ada rekomendasi seperti perbaikan sistem supaya lebih transparan dan dapat dimonitor oleh publik,” ujarnya.

Dia juga menyarankan KPK untuk masuk dan memberikan perhatian khusus kepada institusi BPJS yang saat ini banyak terkendala masalah. Apalagi BPJS menangani masyarakat tingkat bawah. “Dia juga mengelola keuangan masyarakat dalam jumlah yang besar dari segi aspek kesehatan dengan skala besar. KPK perlu awasi mereka,” tandasnya.

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi secara terintegrasi. Menurut dia, Pemprov Jatim pun sudah menyiapkan sejumlah instrumen pencegahan korupsi, yakni melalui pelaporan aksi program pemberantasan korupsi terintegrasi.

Aksi ini dilakukan melalui sistem pelaporan aplikasi Monitoring Center for Prevention (MCP) Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) yang terdiri dari delapan sektor. Yakni, perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), manajemen ASN, dana desa, optimalisasi pendapatan daerah, serta manajemen aset daerah.

“Aksi ini memberi standar pada pemerintah daerah dalam membangun kerangka kerja untuk memahami risiko korupsi berdasarkan sektor, wilayah, atau instansi yang rentan korupsi,” ungkapnya.

Dari pelaporan aksi program pemberantasan korupsi terintegrasi tahun 2018 di Jatim, dari satu pemerintah provinsi dan 38 pemerintah kabupaten/kota, rata-rata mendapat nilai 66% atau 8% lebih tinggi dari nilai rata-rata nasional yaitu sebesar 58%. Nilai tertinggi pemerintah daerah di Jatim sebesar 93% dan nilai terendah 39%.

Rincian pencapaian setiap sektor secara rata-rata tersebut terdiri dari pencapaian program perencanaan dan penganggaran APBD sebesar 71%, barang dan jasa 61%, PTSP 77%, dan kapabilitas APIP 64%. Juga manajemen ASN 65%, dana desa 71%, serta manajemen aset 80%.

“Sementara itu optimalisasi pendapatan daerah masih berada di angka terendah yakni 47%. Jadi, kami harapkan ada perhatian lebih detail dari tim korsupgah. Sehingga dari sisi pendapatan bisa lebih dioptimalkan ke depannya,” kata Khofifah.

Ketua Umum Muslimat NU ini mengaku ada sejumlah kendala yang dihadapi dalam program pemberantasan korupsi. Di antaranya di sektor perencanaan dan penganggaran APBD. Aplikasi perencanaan dan penganggaran sudah ada, namun kedua aplikasi masih belum terintegrasi. Kemudian di sektor PTSP, masih adanya permintaan rekomendasi teknis yang belum dapat dilaksanakan dalam PTSP.

“Di sektor dana desa, kendalanya adalah masih kurang optimalnya pengawasan terhadap dana desa. Ini karena terbatasnya anggaran pemerintah kabupaten. Sedangkan bantuan anggaran pengawasan dari pemerintah pusat untuk mengawasi pengelolaan dana desa masih nihil,” ungkapnya.

Terkait kendala ini, Khofifah pun sudah meminta bimbingan KPK agar rencana aksi yang akan dilanjutkan pada tahun ini dapat terlaksana dengan optimal. “Kami sepakat akan melakukan audit CETTAR (Cepat, Efektif, Efisien, Tanggap, Transparan, Akuntabel, dan Responsif) di setiap OPD (organisasi perangkat daerah). Sehingga, tidak saja cepatnya pelayanan yang dilakukan tapi juga harus CETTAR dan respons yang dilakukan bisa maksimal,” katanya. (Lukman Hakim/Mula Akmal)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5118 seconds (0.1#10.140)