Kampanye Hitam Berbahaya dan Bodohi Publik
A
A
A
JAKARTA - Kampanye hitam yang di antaranya menyebarkan hoaks atau berita bohong dinilai berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu diungkapkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris dalam diskusi publik bertajuk Hak Konstitusional Pemilih dalam Negara Demokratis yang digelar Jenggala Center, di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
"Tidak hanya tidak mendidik, tidak mencerdaskan, tapi juga membodohi publik," kata Syamsuddin.
Menurut dia, maraknya kampanye hoaks merupakan akumulasi dari gagalnya pendidikan politik, baik dari parpol, negara dan elemen civil society.
Dia mencontohnya kampanye hitam tiga ibu-ibu di Karawang yang melakukan kampanye anti-Jokowi. "Pendidikan politik untuk 2019 ini sudah tidak memungkinkan. Yang bisa kita lakukan membatasi hoaks," katanya
Syamsuddin dalam pemaparannya manyeoroti berbagai masalah pemilu serentak yang bakal berlangsung pada 17 April 2019 nanti antara lain caleg eks koruptor, hoaks, kampanye hitam, kegagalan partai politik dan negara dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi)Lucius Karus menyoroti soal warga negara asing yang masuk daftar pemilih tetap (DPT), anak-anak muda yang pada 17 April genap berusia 17 tahun yang tidak masuk DPT, jejak rekam anggota DPR yang kembali menjadi caleg.Menurut dia, semua kesalahan itu berada pada DPR. Dia mengatakan DPR tidak pernah berpikir tentang kualitas Pemilu yang berintegritas. Menurut dia, pemilu serentak kali ini berpotensi kacau.
"UU Pemilu dibahas menjelang pemilu. Ada Pasal 378 yang mengatakan jika ada satu orang saksi yang melakukan protes setelah penghitungan suara di TPS, maka surat suara yang sudah dihitung itu dihitung lagi," kata Lucius.
Diskusi ini dimoderati oleh Direktur Eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab.
Hal itu diungkapkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris dalam diskusi publik bertajuk Hak Konstitusional Pemilih dalam Negara Demokratis yang digelar Jenggala Center, di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
"Tidak hanya tidak mendidik, tidak mencerdaskan, tapi juga membodohi publik," kata Syamsuddin.
Menurut dia, maraknya kampanye hoaks merupakan akumulasi dari gagalnya pendidikan politik, baik dari parpol, negara dan elemen civil society.
Dia mencontohnya kampanye hitam tiga ibu-ibu di Karawang yang melakukan kampanye anti-Jokowi. "Pendidikan politik untuk 2019 ini sudah tidak memungkinkan. Yang bisa kita lakukan membatasi hoaks," katanya
Syamsuddin dalam pemaparannya manyeoroti berbagai masalah pemilu serentak yang bakal berlangsung pada 17 April 2019 nanti antara lain caleg eks koruptor, hoaks, kampanye hitam, kegagalan partai politik dan negara dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi)Lucius Karus menyoroti soal warga negara asing yang masuk daftar pemilih tetap (DPT), anak-anak muda yang pada 17 April genap berusia 17 tahun yang tidak masuk DPT, jejak rekam anggota DPR yang kembali menjadi caleg.Menurut dia, semua kesalahan itu berada pada DPR. Dia mengatakan DPR tidak pernah berpikir tentang kualitas Pemilu yang berintegritas. Menurut dia, pemilu serentak kali ini berpotensi kacau.
"UU Pemilu dibahas menjelang pemilu. Ada Pasal 378 yang mengatakan jika ada satu orang saksi yang melakukan protes setelah penghitungan suara di TPS, maka surat suara yang sudah dihitung itu dihitung lagi," kata Lucius.
Diskusi ini dimoderati oleh Direktur Eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab.
(dam)