TNI di Jabatan Sipil, Ombudsman: Perlu Kajian Mendalam
A
A
A
JAKARTA - Wacana penempatan personel TNI aktif di jabatan-jabatan sipil menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ombudsman pun mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru memutuskannya. Ombudsman kemarin mengunjungi kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.
Ombudsman memberi peringatan dini soal rencana penempatan TNI di jabatan sipil. “Peringatan dini yang disampaikan oleh Ombudsman tentang rencana penempatan TNI aktif di kementerian-lembaga. Tadi saya sampaikan bahwa itu konteks pencegahan yang dilakukannya oleh Ombudsman. Dan Pak Wiranto selaku Menko Polhukam menyambut baik,” tandas anggota Ombudsman Ninik Rahayu di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.
Menurut Ninik, wacana ini masih perlu dilakukan kajian mendalam. Dia pun melihat ada potensi maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur berdasarkan yang diatur dalam Pasal 47 UU 34/2004 tentang TNI. Menurut dia, berdasarkan aturan yang ada, TNI aktif hanya dibolehkan mengisi 10 institusi dan berdasarkan permintaan kementerian/lembaga.
“Sedangkan di ayat 1, kalau misalnya TNI aktif ada di kementerian atau lembaga sipil, maka harus mundur. Selain itu juga di Undang-Undang ASN, UU No 5 tahun 2014 dan PP 11 tahun 2017 dalam Pasal 155 sampai 158 sudah sangat jelas diatur bahwa peluang TNI masuk ke wilayah sipil sangat tertutup. Kecuali mereka mau mengundurkan diri. Dan ketika mundur, maka mau mengikuti seleksi di institusi sipil sebagaimana prosedur dan mekanisme yang ada,” ungkapnya.
Ninik mengatakan, jika ada rencana melakukan perubahan soal 10 institusi kementerian/lembaga yang bisa diisi TNI aktif, maka perlu ada perbaikan kebijakan dan keputusan politik negara. Harus ada pembahasan terlebih dahulu antara pemerintah dan DPR.
Meski demikian, Ninik belum mau menyimpulkan harus ada revisi UU TNI maupun UU ASN.
Ombudsman masih akan berdiskusi dengan pihak lain. Dia mengatakan, Menko Polhukam Wiranto pun menyambut positif masukan Ombudsman tersebut. Sebab, UU TNI dibuat dalam upaya reformasi TNI. “Bahkan, Pak Wiranto juga mengisyaratkan sejarah dulu kenapa UU TNI ini dibuat terkait reformasi di tubuh TNI itu sendiri,” paparnya.
Anggota Ombudsman lainnya, Adrianus Meliala mengatakan, tidak ingin terburu-buru melihat rencana penempatan TNI di jabatan sipil ini sebagai kebangkitan dwifungsi ABRI. Menurut dia, wacana ini muncul karena ada kebutuhan TNI untuk mengisi beberapa posisi dan faktor berlebihnya perwira menengah dan tinggi. Menurut dia, Menko Polhukam Wiranto pastinya tidak mungkin membangkitkan dwifungsi ABRI kembali, karena dia yang menghapuskannya.
“Jangan hanya istilah. Karena kalau dibilang dwifungsi, dia sendiri orang yang tadi dikatakan oleh Pak Wiranto, dia sendiri orang yang menutup, menghentikan, menghapus dwifungsi. Jadi tidak mungkin dia juga yang akan mendukung kegiatan ini. Kemudian, ini kondisi baru yang kemudian apakah cocok masih menggunakan payung, konsep dwifungsi,” ujarnya.
Sementara itu, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) menilai, akan lebih baik jika pegawai negeri sipil (PNS) dimaksimalkan untuk mengisi jabatan-jabatan sipil yang ada. “Kalau memang jabatan sipil murni gunakan saja yang sipil murni banyak kok yang PNS,” tandas Ketua Umum Korpri Zudan Arif Fakrulloh di Istana Negara, kemarin.
Menurut Zudan, pada prinsipnya jabatan-jabatan yang selama ini diisi oleh PNS jangan berubah. Apalagi, hal ini berkaitan dengan kepastian karier bagi PNS. “Kepastian karier di PNS itu kan sampai eselon I. Kalau saat eselon II, esselon III tiba-tiba datang dari orang luar, ini tidak menjamin kepastian karier,” ujarnya. Dia pun mengatakan, selama ini sebenarnya sudah ada jabatan-jabatan yang diisi oleh perwira aktif TNI.
Namun, jabatan tersebut memang membutuhkan kompetensi seorang perwira TNI. “Pertanyaannya adalah apakah memang betul dalam jabatan sipil itu masih membutuhkan itu? Tapi kalau untuk misalnya deputi di Kemenko Polhukam yang menangani terorisme, kalau memang ahlinya dari militer, maka tidak ada masalah. Kan memang sudah ada ruang di 10 kementerian/lembaga yang dipakai untuk itu,” paparnya.
Dia pun berharap diajak bicara jika wacana tersebut benar-benar akan direalisasikan. Jika memang ada pos-pos jabatan baru di kementerian/lembaga, maka PNS juga siap bersaing. “Kalau pos jabatannya mau ditambah yah silakan. Tapi, pos yang sudah ada ya dipakai PNS,” tandasnya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mengatakan, tidak semua jabatan sipil dapat diisi TNI aktif. Menurut dia, jika TNI ingin mengisi jabatan sipil, maka harus berhenti. “Jangan bisa masuk lalu bisa keluar seenaknya. Kalau saya, ini bukan soal ancam mengancam karier PNS. Karena kan PNS sendiri harus meningkatkan kapasitasnya,” ujarnya.
Lina menilai, untuk menyelesaikan persoalan banyaknya perwira-perwira nonjob, maka TNI harus melakukan penghitungan kebutuhan jabatan. TNI, menurut dia, jangan hanya terfokus pada jabatan-jabatan struktural saja. “Tapi juga funsional. Jabatan fungsional seperti analisis kebijakan di TNI juga penting,” katanya.
Jika suatu jabatan fungsional penting, lanjutnya, maka harus diperhatikan sebagaimana jabatan struktural. Dengan begitu, maka jabatan fungsional tidak dipandang sebelah mata. Sebab, menurut dia, selama ini jabatan fungsional di TNI seringkali hanya menjadi perantara sebelum menduduki jabatan yang lebih tinggi.
“Jangan-jangan gaji di jabatan struktural lebih besar dari fungsional. Kalau jabatan fungsional itu perlu, maka harus diperhatikan tidak dibedakan dengan struktural,” ujarnya.
Ombudsman memberi peringatan dini soal rencana penempatan TNI di jabatan sipil. “Peringatan dini yang disampaikan oleh Ombudsman tentang rencana penempatan TNI aktif di kementerian-lembaga. Tadi saya sampaikan bahwa itu konteks pencegahan yang dilakukannya oleh Ombudsman. Dan Pak Wiranto selaku Menko Polhukam menyambut baik,” tandas anggota Ombudsman Ninik Rahayu di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.
Menurut Ninik, wacana ini masih perlu dilakukan kajian mendalam. Dia pun melihat ada potensi maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur berdasarkan yang diatur dalam Pasal 47 UU 34/2004 tentang TNI. Menurut dia, berdasarkan aturan yang ada, TNI aktif hanya dibolehkan mengisi 10 institusi dan berdasarkan permintaan kementerian/lembaga.
“Sedangkan di ayat 1, kalau misalnya TNI aktif ada di kementerian atau lembaga sipil, maka harus mundur. Selain itu juga di Undang-Undang ASN, UU No 5 tahun 2014 dan PP 11 tahun 2017 dalam Pasal 155 sampai 158 sudah sangat jelas diatur bahwa peluang TNI masuk ke wilayah sipil sangat tertutup. Kecuali mereka mau mengundurkan diri. Dan ketika mundur, maka mau mengikuti seleksi di institusi sipil sebagaimana prosedur dan mekanisme yang ada,” ungkapnya.
Ninik mengatakan, jika ada rencana melakukan perubahan soal 10 institusi kementerian/lembaga yang bisa diisi TNI aktif, maka perlu ada perbaikan kebijakan dan keputusan politik negara. Harus ada pembahasan terlebih dahulu antara pemerintah dan DPR.
Meski demikian, Ninik belum mau menyimpulkan harus ada revisi UU TNI maupun UU ASN.
Ombudsman masih akan berdiskusi dengan pihak lain. Dia mengatakan, Menko Polhukam Wiranto pun menyambut positif masukan Ombudsman tersebut. Sebab, UU TNI dibuat dalam upaya reformasi TNI. “Bahkan, Pak Wiranto juga mengisyaratkan sejarah dulu kenapa UU TNI ini dibuat terkait reformasi di tubuh TNI itu sendiri,” paparnya.
Anggota Ombudsman lainnya, Adrianus Meliala mengatakan, tidak ingin terburu-buru melihat rencana penempatan TNI di jabatan sipil ini sebagai kebangkitan dwifungsi ABRI. Menurut dia, wacana ini muncul karena ada kebutuhan TNI untuk mengisi beberapa posisi dan faktor berlebihnya perwira menengah dan tinggi. Menurut dia, Menko Polhukam Wiranto pastinya tidak mungkin membangkitkan dwifungsi ABRI kembali, karena dia yang menghapuskannya.
“Jangan hanya istilah. Karena kalau dibilang dwifungsi, dia sendiri orang yang tadi dikatakan oleh Pak Wiranto, dia sendiri orang yang menutup, menghentikan, menghapus dwifungsi. Jadi tidak mungkin dia juga yang akan mendukung kegiatan ini. Kemudian, ini kondisi baru yang kemudian apakah cocok masih menggunakan payung, konsep dwifungsi,” ujarnya.
Sementara itu, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) menilai, akan lebih baik jika pegawai negeri sipil (PNS) dimaksimalkan untuk mengisi jabatan-jabatan sipil yang ada. “Kalau memang jabatan sipil murni gunakan saja yang sipil murni banyak kok yang PNS,” tandas Ketua Umum Korpri Zudan Arif Fakrulloh di Istana Negara, kemarin.
Menurut Zudan, pada prinsipnya jabatan-jabatan yang selama ini diisi oleh PNS jangan berubah. Apalagi, hal ini berkaitan dengan kepastian karier bagi PNS. “Kepastian karier di PNS itu kan sampai eselon I. Kalau saat eselon II, esselon III tiba-tiba datang dari orang luar, ini tidak menjamin kepastian karier,” ujarnya. Dia pun mengatakan, selama ini sebenarnya sudah ada jabatan-jabatan yang diisi oleh perwira aktif TNI.
Namun, jabatan tersebut memang membutuhkan kompetensi seorang perwira TNI. “Pertanyaannya adalah apakah memang betul dalam jabatan sipil itu masih membutuhkan itu? Tapi kalau untuk misalnya deputi di Kemenko Polhukam yang menangani terorisme, kalau memang ahlinya dari militer, maka tidak ada masalah. Kan memang sudah ada ruang di 10 kementerian/lembaga yang dipakai untuk itu,” paparnya.
Dia pun berharap diajak bicara jika wacana tersebut benar-benar akan direalisasikan. Jika memang ada pos-pos jabatan baru di kementerian/lembaga, maka PNS juga siap bersaing. “Kalau pos jabatannya mau ditambah yah silakan. Tapi, pos yang sudah ada ya dipakai PNS,” tandasnya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mengatakan, tidak semua jabatan sipil dapat diisi TNI aktif. Menurut dia, jika TNI ingin mengisi jabatan sipil, maka harus berhenti. “Jangan bisa masuk lalu bisa keluar seenaknya. Kalau saya, ini bukan soal ancam mengancam karier PNS. Karena kan PNS sendiri harus meningkatkan kapasitasnya,” ujarnya.
Lina menilai, untuk menyelesaikan persoalan banyaknya perwira-perwira nonjob, maka TNI harus melakukan penghitungan kebutuhan jabatan. TNI, menurut dia, jangan hanya terfokus pada jabatan-jabatan struktural saja. “Tapi juga funsional. Jabatan fungsional seperti analisis kebijakan di TNI juga penting,” katanya.
Jika suatu jabatan fungsional penting, lanjutnya, maka harus diperhatikan sebagaimana jabatan struktural. Dengan begitu, maka jabatan fungsional tidak dipandang sebelah mata. Sebab, menurut dia, selama ini jabatan fungsional di TNI seringkali hanya menjadi perantara sebelum menduduki jabatan yang lebih tinggi.
“Jangan-jangan gaji di jabatan struktural lebih besar dari fungsional. Kalau jabatan fungsional itu perlu, maka harus diperhatikan tidak dibedakan dengan struktural,” ujarnya.
(don)