Hambatan Inovasi
A
A
A
PEMERINTAH melalui badan usaha milik negara (BUMN) akan meluncurkan alat pembayaran digital dengan nama LinkAja. Beberapa BUMN perbankan yang sudah memiliki alat pembayaran digital akan digabung menjadi satu. Begitu juga dengan BUMN seperti Telkomsel yang sudah memiliki T-Cash. Komposisi pemegang saham LinkAja terdiri atas Telkomsel 25%, Bank Mandiri 20%, Bank Negara Indonesia (BNI) 20%, Bank Rakyat Indonesia (BRI) 20%, Bank Tabungan Negara (BTN) 7%, Pertamina 7%, dan Jiwasraya 1%.
Tidak dimungkiri hadirnya LinkAja akan menjadi pesaing Gopay, OVO, atau Dana yang sudah dikenal masyarakat, terutama Jakarta. Beberapa usaha kecil di Jakarta dan sekitarnya serta kota-kota besar di Indonesia bahkan sudah menerima alat pembayaran digital yang menggunakan QR ini. Tampaknya pemerintah alat pembayaran digital akan menjadi model yang menjanjikan dalam bertransaksi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ingin menggandeng Gopay dan OVO dalam meningkatkan peluang dalam sistem pembayaran. Pasalnya, perusahaan startup berbasis digital ini memiliki peranan yang penting. Pernyataan ini jelas menandakan bahwa pemerintah melihat ada peluang besar dengan usaha alat pembayaran digital ini. Namun, pemerintah juga diingatkan beberapa pihak untuk membuat regulasi yang tidak memperberat mereka.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi harus pintar memainkan perannya agar ekosistem alat pembayaran digital bisa tumbuh dengan baik. Hadirnya LinkAja yang bisa dikatakan alat pembayaran pelat merah ini, juga menunjukkan keseriusan pemerintah melihat hal ini. Tentu langkah para BUMN patut kita apresiasi. Akan menjadi hal yang baik lagi jika nantinya pemerintah bisa mengatur tanpa mengekang perusahaan startup berbasis digital ini.
Namun, tampaknya pemerintah selalu terlambat dalam menghadapi era digital ini. Perusahaan-perusahaan swasta selalu terdepan dalam menyesuaikan perkembangan teknologi. Akibatnya, pemerintah terkesan tidak siap menghadapi perkembangan teknologi. Alat pembayaran digital adalah salah satunya. Sebelumnya kehadiran transportasi berbasis daring seperti Gojek, Grab, dan Uber, pemerintah terlambat dalam mengeluarkan regulasi. Begitu juga dengan kehadiran e-commerce . Akibatnya, banyak benturan di masyarakat ataupun dengan usaha transportasi yang lama. Pemerintah sejauh ini menjadi pemadam kebakaran dalam konflik ini. Padahal jika pemerintah telah menyiapkan regulasi dan ekosistem digital, benturan sosial bisa diredam.
Kecepatan inovasi memang menjadi kunci dalam mengikuti perkembangan teknologi digital. Perusahaan-perusahaan digital dipastikan mempunyai divisi pengembangan dan riset yang sangat kuat. Budaya perusahaan-perusahaan ini juga lebih egaliter. Perusahaan-perusahaan berbasis digital tidak hanya melakukan open space di ruangan mereka, tapi juga di ide-ide dan cara komunikasi mereka. Akibatnya, ide-ide baru untuk pengembangan produk atau jasa mereka berkembang sangat baik. Tertinggal selangkah dalam inovasi bisa dikatakan bencana bagi sebuah perusahaan berbasis digital. Banyak contoh perusahaan berbasis digital yang tenggelam karena terlambat berinovasi. Yahoo, Nokia, BlackBerry, dan beberapa lainnya merasakan kerasnya persaingan inovasi.
Di sisi lain, pemerintah dan BUMN belum atau mungkin baru memulai perubahan budaya kerja. Birokrasi dan masih adanya gaya feodal masih melekat di budaya mereka. Padahal, birokrasi yang panjang berbelit dan feodalisme adalah penyakit utama inovasi. Era digital yang terbuka dan transparan tidak menginginkan birokrasi berbelit dan gaya feodalisme. Cepat dan egaliter yang dibutuhkan, sehingga keran inovasi akan terbuka. Harus diakui pemerintah terlambat dalam menghadapi ini. Istilah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali tampaknya kurang tepat diterapkan dalam digitalisasi teknologi saat ini.
Mau tidak mau, pemerintah harus mengubah budaya kerja jika ingin fit dengan era digital saat ini. Jika tidak, pemerintah akan selalu dikatakan terlambat beberapa langkah oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kasus Gojek, Grab, Uber, e-commerce serta alat pembayaran digital, semestinya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Bahwa inovasi adalah darah bagi sebuah organisasi. Inovasi di pemerintah dan BUMN bisa terus muncul jika budaya kerja mereka diubah.
Tidak dimungkiri hadirnya LinkAja akan menjadi pesaing Gopay, OVO, atau Dana yang sudah dikenal masyarakat, terutama Jakarta. Beberapa usaha kecil di Jakarta dan sekitarnya serta kota-kota besar di Indonesia bahkan sudah menerima alat pembayaran digital yang menggunakan QR ini. Tampaknya pemerintah alat pembayaran digital akan menjadi model yang menjanjikan dalam bertransaksi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ingin menggandeng Gopay dan OVO dalam meningkatkan peluang dalam sistem pembayaran. Pasalnya, perusahaan startup berbasis digital ini memiliki peranan yang penting. Pernyataan ini jelas menandakan bahwa pemerintah melihat ada peluang besar dengan usaha alat pembayaran digital ini. Namun, pemerintah juga diingatkan beberapa pihak untuk membuat regulasi yang tidak memperberat mereka.
Pemerintah sebagai pemegang regulasi harus pintar memainkan perannya agar ekosistem alat pembayaran digital bisa tumbuh dengan baik. Hadirnya LinkAja yang bisa dikatakan alat pembayaran pelat merah ini, juga menunjukkan keseriusan pemerintah melihat hal ini. Tentu langkah para BUMN patut kita apresiasi. Akan menjadi hal yang baik lagi jika nantinya pemerintah bisa mengatur tanpa mengekang perusahaan startup berbasis digital ini.
Namun, tampaknya pemerintah selalu terlambat dalam menghadapi era digital ini. Perusahaan-perusahaan swasta selalu terdepan dalam menyesuaikan perkembangan teknologi. Akibatnya, pemerintah terkesan tidak siap menghadapi perkembangan teknologi. Alat pembayaran digital adalah salah satunya. Sebelumnya kehadiran transportasi berbasis daring seperti Gojek, Grab, dan Uber, pemerintah terlambat dalam mengeluarkan regulasi. Begitu juga dengan kehadiran e-commerce . Akibatnya, banyak benturan di masyarakat ataupun dengan usaha transportasi yang lama. Pemerintah sejauh ini menjadi pemadam kebakaran dalam konflik ini. Padahal jika pemerintah telah menyiapkan regulasi dan ekosistem digital, benturan sosial bisa diredam.
Kecepatan inovasi memang menjadi kunci dalam mengikuti perkembangan teknologi digital. Perusahaan-perusahaan digital dipastikan mempunyai divisi pengembangan dan riset yang sangat kuat. Budaya perusahaan-perusahaan ini juga lebih egaliter. Perusahaan-perusahaan berbasis digital tidak hanya melakukan open space di ruangan mereka, tapi juga di ide-ide dan cara komunikasi mereka. Akibatnya, ide-ide baru untuk pengembangan produk atau jasa mereka berkembang sangat baik. Tertinggal selangkah dalam inovasi bisa dikatakan bencana bagi sebuah perusahaan berbasis digital. Banyak contoh perusahaan berbasis digital yang tenggelam karena terlambat berinovasi. Yahoo, Nokia, BlackBerry, dan beberapa lainnya merasakan kerasnya persaingan inovasi.
Di sisi lain, pemerintah dan BUMN belum atau mungkin baru memulai perubahan budaya kerja. Birokrasi dan masih adanya gaya feodal masih melekat di budaya mereka. Padahal, birokrasi yang panjang berbelit dan feodalisme adalah penyakit utama inovasi. Era digital yang terbuka dan transparan tidak menginginkan birokrasi berbelit dan gaya feodalisme. Cepat dan egaliter yang dibutuhkan, sehingga keran inovasi akan terbuka. Harus diakui pemerintah terlambat dalam menghadapi ini. Istilah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali tampaknya kurang tepat diterapkan dalam digitalisasi teknologi saat ini.
Mau tidak mau, pemerintah harus mengubah budaya kerja jika ingin fit dengan era digital saat ini. Jika tidak, pemerintah akan selalu dikatakan terlambat beberapa langkah oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kasus Gojek, Grab, Uber, e-commerce serta alat pembayaran digital, semestinya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Bahwa inovasi adalah darah bagi sebuah organisasi. Inovasi di pemerintah dan BUMN bisa terus muncul jika budaya kerja mereka diubah.
(kri)