Ahli Hukum: Wadah Tunggal Profesi Advokat adalah Peradi
A
A
A
JAKARTA - Wadah tunggal Organisasi Advokat di Indonesia seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan karena sesuai historis pembentukan Undang-Undang Advokat untuk membentuk wadah tunggal sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 Butir 4, Pasal 32 Ayat (3) dan (4) serta Pasal 33.
Demikian pandangan Dr Zainal Arifin Mochtar sebagai ahli yang disampaikan dalam sidang perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945 mengenai frasa kata "organisasi advokat" di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (23/1/2018).
Merujuk pada historis tersebut, sesuai UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 maka wadah tunggal dimaksud adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sehingga tidak perlu lagi diperdebatkan.
"Tinggal merujuk ke organisasi mana yang telah terbentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan pembentukan sebagimana yang diatur di dalam UU Advokat tersebut. Sederhananya, lembaga mana yang terbentuk dan merupakan pengejawantahan dari mekanisme yang diatur di dalam UU Advokat, itulah yang merupakan lembaga sebagaimana dimaksud 'Organisasi Advokat'," ujarnya.
Menurut Zainal, pemerintah seharusnya menjustifikasi organisasi atau wadah tunggal yang dibentuk berdasarkan UU dan tidak boleh membiarkan bermunculannya apalagi mengakui wadah advokat baru.
"Nyatanya malah membiarkan. Begitu juga yang terjadi oleh Mahkamah Agung (MA). MA sudah pernah menegakkan hukum berdasarkan UU Advokat, namun belakangan berubah mengadopsi berbagai lembaga atau organisasi sejenis yang ada," katanya.
Perlu sikap tegas karena ini juga akan merugikan masyarakat luas pencari keadilan. Pasalnya dilayani oleh advokat yang tidak berinduk wadah tunggal sehingga ketika advokat melakukan pelanggaran etik, proses penegakan etiknya tidak jelas.
Karena itu, Zainal dalam kesimpulan pandangannya menyampaikan empat poin. Pertama, wadah tunggal merupakan politik hukum pembentuk UU yang seharusnya ditegakkan setelah sekian lama dilakukan pelanggaran atas hal tersebut.
Kedua, kejadian berulang-ulang ini telah menimbulkan pengujian berulang-ulang atas UU Advokat yang menunjukkan ada problem yang seharusnya dijawab agar potensi pelanggaran atas konsep wadah tunggal sebagaimana dimaksud dalam UU tidak terjadi lagi.
Ketiga, meskipun sangat mungkin ini hanya merupakan aturan pelaksana, tapi bukan berarti tidak menimbulkan efek konstitusionalitas karena adanya penafsiran yang berbeda oleh lembaga-lembaga lain.
"Keempat, MK saatnya menjadi penyelamat atas berlarut-larutnya problem serupa. Mengambil posisi sebagai penyelamat atas tegaknya hukum dan tentu saja masa depan penegakan hukum itu sendiri," jelasnya.
Senada dengan Zainal Arifin Mochtar, Prof Dr Aminuddin Imar, dosen dari Fakultas Hukum Unhas yang juga diajukan sebagai ahli dari pihak pemohon, menyampaikan, wadah tunggal profesi advokat adalah Peradi sebagimana Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat.
"Keharusan adanya wadah tunggal bagi organisasi profesi advokat akan memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi profesi advokat semata, tapi juga bagi masyarakat pencari keadilan. Sebab akan terlindungi dari perbuatan dan atau tindakan malpraktik hukum yang dapat dilakukan seorang advokat," katanya.
Adapun mantan Ketua Komisi II DPR, Agustin Teras Narang yang diajukan sebagai saksi oleh pemohon, menyampaikan, setelah disahkannya UU Advokat, maka telah dideklarasikan oleh 8 organisasi avokat yang sepakat membentuk Peradi.
"Dengan adanya deklarasi ini, ini adalah merupakan pewujudan dari Pasal 32 Ayat (3) dan (4) itu, bahwa telah terjadi organisasi advokat yang tunggal, yang disepakati 8 organisasi. Jadi dengan demikian, kami sebagai legislatif merasa berbahagia sekali, tugas kami sudah selesai. Apa-apa yang telah dibuat dengan pemerintah ternyata sudah direalisasikan," katanya.
Demikian pandangan Dr Zainal Arifin Mochtar sebagai ahli yang disampaikan dalam sidang perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945 mengenai frasa kata "organisasi advokat" di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (23/1/2018).
Merujuk pada historis tersebut, sesuai UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 maka wadah tunggal dimaksud adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sehingga tidak perlu lagi diperdebatkan.
"Tinggal merujuk ke organisasi mana yang telah terbentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan pembentukan sebagimana yang diatur di dalam UU Advokat tersebut. Sederhananya, lembaga mana yang terbentuk dan merupakan pengejawantahan dari mekanisme yang diatur di dalam UU Advokat, itulah yang merupakan lembaga sebagaimana dimaksud 'Organisasi Advokat'," ujarnya.
Menurut Zainal, pemerintah seharusnya menjustifikasi organisasi atau wadah tunggal yang dibentuk berdasarkan UU dan tidak boleh membiarkan bermunculannya apalagi mengakui wadah advokat baru.
"Nyatanya malah membiarkan. Begitu juga yang terjadi oleh Mahkamah Agung (MA). MA sudah pernah menegakkan hukum berdasarkan UU Advokat, namun belakangan berubah mengadopsi berbagai lembaga atau organisasi sejenis yang ada," katanya.
Perlu sikap tegas karena ini juga akan merugikan masyarakat luas pencari keadilan. Pasalnya dilayani oleh advokat yang tidak berinduk wadah tunggal sehingga ketika advokat melakukan pelanggaran etik, proses penegakan etiknya tidak jelas.
Karena itu, Zainal dalam kesimpulan pandangannya menyampaikan empat poin. Pertama, wadah tunggal merupakan politik hukum pembentuk UU yang seharusnya ditegakkan setelah sekian lama dilakukan pelanggaran atas hal tersebut.
Kedua, kejadian berulang-ulang ini telah menimbulkan pengujian berulang-ulang atas UU Advokat yang menunjukkan ada problem yang seharusnya dijawab agar potensi pelanggaran atas konsep wadah tunggal sebagaimana dimaksud dalam UU tidak terjadi lagi.
Ketiga, meskipun sangat mungkin ini hanya merupakan aturan pelaksana, tapi bukan berarti tidak menimbulkan efek konstitusionalitas karena adanya penafsiran yang berbeda oleh lembaga-lembaga lain.
"Keempat, MK saatnya menjadi penyelamat atas berlarut-larutnya problem serupa. Mengambil posisi sebagai penyelamat atas tegaknya hukum dan tentu saja masa depan penegakan hukum itu sendiri," jelasnya.
Senada dengan Zainal Arifin Mochtar, Prof Dr Aminuddin Imar, dosen dari Fakultas Hukum Unhas yang juga diajukan sebagai ahli dari pihak pemohon, menyampaikan, wadah tunggal profesi advokat adalah Peradi sebagimana Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat.
"Keharusan adanya wadah tunggal bagi organisasi profesi advokat akan memberikan kepastian hukum tidak hanya bagi profesi advokat semata, tapi juga bagi masyarakat pencari keadilan. Sebab akan terlindungi dari perbuatan dan atau tindakan malpraktik hukum yang dapat dilakukan seorang advokat," katanya.
Adapun mantan Ketua Komisi II DPR, Agustin Teras Narang yang diajukan sebagai saksi oleh pemohon, menyampaikan, setelah disahkannya UU Advokat, maka telah dideklarasikan oleh 8 organisasi avokat yang sepakat membentuk Peradi.
"Dengan adanya deklarasi ini, ini adalah merupakan pewujudan dari Pasal 32 Ayat (3) dan (4) itu, bahwa telah terjadi organisasi advokat yang tunggal, yang disepakati 8 organisasi. Jadi dengan demikian, kami sebagai legislatif merasa berbahagia sekali, tugas kami sudah selesai. Apa-apa yang telah dibuat dengan pemerintah ternyata sudah direalisasikan," katanya.
(kri)