Pakar Hukum Pertanyakan Aspek Keadilan Putusan Kasus Irman Gusman
A
A
A
YOGYAKARTA - Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mengelar bedah buku berjudul Menyibak Kebenaran Eksaminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman di Aula Badan Wakaf UII Yogyakarta, Jalan Cik Ditiro Yogyakarta, Selasa (22/1/2019).
Selain membahas soal eksaminasi putusan perkara mantan Ketua DPD Irman Gusman, acara yang dibuka Dekan FH UII Abdul Jamil itu juga untuk memberikan pemahaman tentang eksaminasi kepada para mahasiswa fakultas hukum dan penegak keadilan.
Bedah buku itu menampilkan empat pembicara, yaitu Guru Besar Sosiolog Hukum Universitas Diponegoro Esmi Warasih, Guru Besar Fakultas Hukum UGM Eddy OS Hairej M serta Dosen FH UII Mudzakir dan M Arif Setiawan.
Dekan FH UII Abdul Jamil mengatakan, bedah buku ini bukan hanya sekadar acara ilmiah akademik, namun yang lebih penting lagi, para ahli dan peneggak hukum harus memahami perkara dari segala aspek. (Baca juga: Irman Gusman Yakin MA Kabulkan PK Kasusnya )
Karena itu, kata dia, masalah eksaminasi ini memang perlu dipahami mereka, apalagi dalam buku ini banyak tulusan ahli, profesor, jaksa, hakim dan advokat. "Karena itu buku ini bagus diketahui akademisi dan penegggak hukum dari berbagai persepsi," kata Jamil.
Guru Besar Sosiolog Universitas Diponegoro (Undip) Esmi Warassih dalam pembahasannya mengatakan, putusan hakim dalam kasus Irman Gusman tidak adil, sebab mengenyampingkan aspek tindakan dari Irman dalam mengupayakan aspirasi masyarakat Sumatera Barat dalam hal ini berkaitan dengan ketersediaan pasokan gula.
Hal tersebut, kata dia, seharusnya juga harus dilihat sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memperingan hukuman bagi Irman Gusman.
"Bila melihat tindakan Irman Gusman yang kemudian menjadi dasar pihak Bulog melakukan pemerataan penyediaan gula di daerah Sumatera Barat, maka tidak lah sepenuhnya benar bila dikatakan tindakan Irman Gusman telah secara menyeluruh merugikan negara. Sebab tindakan Irman Gusman telah mencegah terjadinya ketidakmerataan pasokan gula di Sumatera Barat ini," tutur Esmi dalam diskusi dan bedah buku berjudul Menyibak Kebenaran Eksiminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman, di Auditorium Badan Wakaf UII Yogyakarta, Selasa (22/1'2019).
Esmi menjelaskan salah satu hal yang harus dicermati hakim adalah tindakan Irman Gusman secara filsafat keadilan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi dalam arti utuh sebab tindakan Irman justru menjadi landasan bagi Bulog untuk lebih mengetahui keadaan pasokan gula dan melakukan pemenuhan kebutuhan akan gula di Sumatera Barat.
Selain itu, kata dia, Irman juga tidak secara nyata merugikan keuangan negara. "Maka sedikit sumir bila seorang pejabat negara dalam menjalankan apa yang menjadi tugasnya kemudian dijerat oleh hukum dengan alasan tekstual belaka atau dengan kata lain tindakan KPK dan hakim secara tidak langsung mendukung ketidakmerataan pasokan kebutuhan gula di Tanah Air," paparnya.
Menurut dia, dalam hal ini, hukum tidak melihat ke segala arah, hanya terfokus pada bunyi teks belaka. Keadaan ini nampaknya tidak arif bagi dunia hukum di Indonesia sebab hukum di Indonesia adalah hukum yang berhadapan dengan masyarakat yang dinamis dengan berbagai persoalan kehidupan yang begitu kompleks. Sehingga pantas bila dikatakan putusan Hakim dalam kasus Irman Gusman tidak sejalan dengan konsep keadilan dari berbagai pemikiran keadilan
"Kalau kita melihat suatu peristiwa kasus hukum, seperti kasus Pak Irman, mari kita lihat peristiwa sebelumnya itu apa? Tidak hanya on the spot kasus saat itu saja," katanya.
Sedangkan, pakar hukum dan Dosen Fakultas Hukum UII, Mudzakkir mengatakan kalau hukum dalam kekuasaan politik, jangan berbicara keadilan. "Gratifikasi perbuatan yang boleh dilakukan, boleh dilakukan oleh KHUP. Yang dilarang ditujukan kepada PNS dan aparat negara yang berkaitan dengan kewenangan," katanya.
Mudzakir menegaskan persoalan gratifikasi akan selesai ketika gratifikasi itu dilaporkan ke KPK. Kalau 30 hari lapor KPK, tidak bisa dihukum, tidak bisa berkembang menjadi kasus pidana Sebaliknya jika tidak lapor hukumannya, bisa dihukum seumur hidup sebesar atau sekecil apapun gratifikasi itu.
"Pertama, penerapan hukum itu hanya berasal dari teks hukum, yaitu pasal-pasal hukum. Kalau konstruksinya sudah rusak, berikutnya akan rusak," tandasnya
Dia selalu menyarankan evaluasi pasal-pasal tindak pidana korupsi agar sesuai nilai hukumnya dan norma hukum.
Sementara itu, dalam buku Menyibak Kebenaran Eksiminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jur Andi Hamzah yang juga ikut membidani lahirnya KPK menulis satu hal menarik bahwa Irman tak sepantasnya dituntut dengan tuduhan menerima suap karena ada unsur ketidakpedulian dan ketidaktahuan Irman terhadap isi bingkisan yang diberikan kepadanya.
Dia juga menilai tuduhan Irman memperdagangkan pengaruh atau mempengaruhi kepala Bulog untuk menyalurkan gula impor ke Sumatera Barat itu tidak tepat. Sebab Ketua DPD tidak memiliki kewenangan dalam jabatannya untuk mengatur impor gula.
Selain membahas soal eksaminasi putusan perkara mantan Ketua DPD Irman Gusman, acara yang dibuka Dekan FH UII Abdul Jamil itu juga untuk memberikan pemahaman tentang eksaminasi kepada para mahasiswa fakultas hukum dan penegak keadilan.
Bedah buku itu menampilkan empat pembicara, yaitu Guru Besar Sosiolog Hukum Universitas Diponegoro Esmi Warasih, Guru Besar Fakultas Hukum UGM Eddy OS Hairej M serta Dosen FH UII Mudzakir dan M Arif Setiawan.
Dekan FH UII Abdul Jamil mengatakan, bedah buku ini bukan hanya sekadar acara ilmiah akademik, namun yang lebih penting lagi, para ahli dan peneggak hukum harus memahami perkara dari segala aspek. (Baca juga: Irman Gusman Yakin MA Kabulkan PK Kasusnya )
Karena itu, kata dia, masalah eksaminasi ini memang perlu dipahami mereka, apalagi dalam buku ini banyak tulusan ahli, profesor, jaksa, hakim dan advokat. "Karena itu buku ini bagus diketahui akademisi dan penegggak hukum dari berbagai persepsi," kata Jamil.
Guru Besar Sosiolog Universitas Diponegoro (Undip) Esmi Warassih dalam pembahasannya mengatakan, putusan hakim dalam kasus Irman Gusman tidak adil, sebab mengenyampingkan aspek tindakan dari Irman dalam mengupayakan aspirasi masyarakat Sumatera Barat dalam hal ini berkaitan dengan ketersediaan pasokan gula.
Hal tersebut, kata dia, seharusnya juga harus dilihat sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memperingan hukuman bagi Irman Gusman.
"Bila melihat tindakan Irman Gusman yang kemudian menjadi dasar pihak Bulog melakukan pemerataan penyediaan gula di daerah Sumatera Barat, maka tidak lah sepenuhnya benar bila dikatakan tindakan Irman Gusman telah secara menyeluruh merugikan negara. Sebab tindakan Irman Gusman telah mencegah terjadinya ketidakmerataan pasokan gula di Sumatera Barat ini," tutur Esmi dalam diskusi dan bedah buku berjudul Menyibak Kebenaran Eksiminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman, di Auditorium Badan Wakaf UII Yogyakarta, Selasa (22/1'2019).
Esmi menjelaskan salah satu hal yang harus dicermati hakim adalah tindakan Irman Gusman secara filsafat keadilan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi dalam arti utuh sebab tindakan Irman justru menjadi landasan bagi Bulog untuk lebih mengetahui keadaan pasokan gula dan melakukan pemenuhan kebutuhan akan gula di Sumatera Barat.
Selain itu, kata dia, Irman juga tidak secara nyata merugikan keuangan negara. "Maka sedikit sumir bila seorang pejabat negara dalam menjalankan apa yang menjadi tugasnya kemudian dijerat oleh hukum dengan alasan tekstual belaka atau dengan kata lain tindakan KPK dan hakim secara tidak langsung mendukung ketidakmerataan pasokan kebutuhan gula di Tanah Air," paparnya.
Menurut dia, dalam hal ini, hukum tidak melihat ke segala arah, hanya terfokus pada bunyi teks belaka. Keadaan ini nampaknya tidak arif bagi dunia hukum di Indonesia sebab hukum di Indonesia adalah hukum yang berhadapan dengan masyarakat yang dinamis dengan berbagai persoalan kehidupan yang begitu kompleks. Sehingga pantas bila dikatakan putusan Hakim dalam kasus Irman Gusman tidak sejalan dengan konsep keadilan dari berbagai pemikiran keadilan
"Kalau kita melihat suatu peristiwa kasus hukum, seperti kasus Pak Irman, mari kita lihat peristiwa sebelumnya itu apa? Tidak hanya on the spot kasus saat itu saja," katanya.
Sedangkan, pakar hukum dan Dosen Fakultas Hukum UII, Mudzakkir mengatakan kalau hukum dalam kekuasaan politik, jangan berbicara keadilan. "Gratifikasi perbuatan yang boleh dilakukan, boleh dilakukan oleh KHUP. Yang dilarang ditujukan kepada PNS dan aparat negara yang berkaitan dengan kewenangan," katanya.
Mudzakir menegaskan persoalan gratifikasi akan selesai ketika gratifikasi itu dilaporkan ke KPK. Kalau 30 hari lapor KPK, tidak bisa dihukum, tidak bisa berkembang menjadi kasus pidana Sebaliknya jika tidak lapor hukumannya, bisa dihukum seumur hidup sebesar atau sekecil apapun gratifikasi itu.
"Pertama, penerapan hukum itu hanya berasal dari teks hukum, yaitu pasal-pasal hukum. Kalau konstruksinya sudah rusak, berikutnya akan rusak," tandasnya
Dia selalu menyarankan evaluasi pasal-pasal tindak pidana korupsi agar sesuai nilai hukumnya dan norma hukum.
Sementara itu, dalam buku Menyibak Kebenaran Eksiminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jur Andi Hamzah yang juga ikut membidani lahirnya KPK menulis satu hal menarik bahwa Irman tak sepantasnya dituntut dengan tuduhan menerima suap karena ada unsur ketidakpedulian dan ketidaktahuan Irman terhadap isi bingkisan yang diberikan kepadanya.
Dia juga menilai tuduhan Irman memperdagangkan pengaruh atau mempengaruhi kepala Bulog untuk menyalurkan gula impor ke Sumatera Barat itu tidak tepat. Sebab Ketua DPD tidak memiliki kewenangan dalam jabatannya untuk mengatur impor gula.
(dam)