Kemenag Sebut Hoaks Bertebaran karena Peminat Filsafat Minim
A
A
A
JAKARTA - Fenomena berita hoaks atau bohong dewasa ini, menjadi konsumsi sehari-hari bangsa Indonesia. Bahkan masyarakat sangat mudah terpengaruh oleh kabar yang belum tentu kebenarannya.
Demikian disampaikan oleh Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Prof Arskal Salim.
Arskal menyebut, salah satu alasan masyarakat kurang berpikir kritis karena minimnya pengetahuan filsafat. Menurutnya, dengan pengetahuan filsafat, otak akan terbiasa menanyakan dan memverifikasi sesuatu, sebelum mengonsumsinya secara instan.
"Inilah pentingnya filsafat bagi proses-proses sosial politik yang sebenarnya hari ini," kata Arskal saat menjadi pembicara dalam acara International Conference of Islamic Philosophy (ICIPH) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (AAFI) dan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra di komplek DPR/MPR RI, Jakarta.
"Banyak sekali terjadi hoaks-hoaks karena mereka tidak memiliki tradisi berpikir kritis. Filsafat itu kan cara untuk berpikir kritis. Berfilsafat itu adalah modalnya bertanya," tambahnya.
Arskal menuturkan, ketika seseorang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir, maka dirinya tidak akan memiliki karakter untuk terus bertanya, dan menggali suatu informasi, sehingga sulit membedakan antara berita hoaks dan fakta.
"Orang-orang yang tidak mengandalkan akalnya untuk bertanya akan sangat mudah mendapat pengaruh dari hoaks seperti itu dan menerima serta meneruskannya. Itu yang kita sayangkan," lanjut Arskal.
Alumnus Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, untuk meningkatkan berpikir kritis masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa, Kemenag mengimbau kepada seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta agar mempertahankan kajian filsafat.
Selain itu, lanjut Arskal, perguruan tinggi yang sudah naik menjadi universitas, harus memiliki program studi agam yang lebih banyak dari program studi umum.
"Filsafat itu kan sebagai pusat tradisi studi Islam yang sudah sangat tua ini tetap harus diperjuangkan agar tetap bisa punya masa depan. Karena itu, kita akan mempertahankan kajian-kajian filsafat di beberapa perguruan tinggi Islam baik negeri ataupun swasta," tuturnya.
"Ini adalah salah satu cara dari Kementerian Agama untuk memelihara keberlangsungan program studi agama, yang memang penting untuk dilestarikan dan dipelihara agar orang-orang atau bangsa Indonesia belajar filsafat dan mengerti filsafat Islam," imbuh Arskal.
Arskal menyebut bahwa Kemenag juga telah sudah menyiapkan sejumlah beasiswa bagi para pelajar yang tertarik belajar filsafat. Pasalnya, hingga saat ini prodi filsafat masih kalah bersaing dengan prodi-prodi lainnya.
"Kita akan menyiapkan untuk prodi-prodi keislaman, yang kita sebut beasiswa afirmasi. Ini untuk mendorong pelajar kita yang mau belajar filsafat dengan adanya penawaran beasiswa bagi mereka," pungkasnya.
Sementara Ketua STFI Sadra Dr Kholid Al-Walid mengatakan, selain mampu menangkal berita hoaks, berpikir kritis juga merupakan salah satu jalan bagi masyarakat untuk mencegah terpengaruh akan paham-paham radikal dan ektrimis.
Bahkan menurut Kholid, seharusnya cara berpikir kritis sudah diajarkan sejak di level pendidikan dasar dan menengah.
"Masyarakat sejak remaja harusnya sudah terbiasa untuk berpikir kritis, mendalam, rasional dan substansial dalam menghadapi berbagai persoalan, sehingga tidak terjebak pada problem radikalisme dan ekstrimisme," terang Kholid.
Demikian disampaikan oleh Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Prof Arskal Salim.
Arskal menyebut, salah satu alasan masyarakat kurang berpikir kritis karena minimnya pengetahuan filsafat. Menurutnya, dengan pengetahuan filsafat, otak akan terbiasa menanyakan dan memverifikasi sesuatu, sebelum mengonsumsinya secara instan.
"Inilah pentingnya filsafat bagi proses-proses sosial politik yang sebenarnya hari ini," kata Arskal saat menjadi pembicara dalam acara International Conference of Islamic Philosophy (ICIPH) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (AAFI) dan Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra di komplek DPR/MPR RI, Jakarta.
"Banyak sekali terjadi hoaks-hoaks karena mereka tidak memiliki tradisi berpikir kritis. Filsafat itu kan cara untuk berpikir kritis. Berfilsafat itu adalah modalnya bertanya," tambahnya.
Arskal menuturkan, ketika seseorang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir, maka dirinya tidak akan memiliki karakter untuk terus bertanya, dan menggali suatu informasi, sehingga sulit membedakan antara berita hoaks dan fakta.
"Orang-orang yang tidak mengandalkan akalnya untuk bertanya akan sangat mudah mendapat pengaruh dari hoaks seperti itu dan menerima serta meneruskannya. Itu yang kita sayangkan," lanjut Arskal.
Alumnus Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, untuk meningkatkan berpikir kritis masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa, Kemenag mengimbau kepada seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta agar mempertahankan kajian filsafat.
Selain itu, lanjut Arskal, perguruan tinggi yang sudah naik menjadi universitas, harus memiliki program studi agam yang lebih banyak dari program studi umum.
"Filsafat itu kan sebagai pusat tradisi studi Islam yang sudah sangat tua ini tetap harus diperjuangkan agar tetap bisa punya masa depan. Karena itu, kita akan mempertahankan kajian-kajian filsafat di beberapa perguruan tinggi Islam baik negeri ataupun swasta," tuturnya.
"Ini adalah salah satu cara dari Kementerian Agama untuk memelihara keberlangsungan program studi agama, yang memang penting untuk dilestarikan dan dipelihara agar orang-orang atau bangsa Indonesia belajar filsafat dan mengerti filsafat Islam," imbuh Arskal.
Arskal menyebut bahwa Kemenag juga telah sudah menyiapkan sejumlah beasiswa bagi para pelajar yang tertarik belajar filsafat. Pasalnya, hingga saat ini prodi filsafat masih kalah bersaing dengan prodi-prodi lainnya.
"Kita akan menyiapkan untuk prodi-prodi keislaman, yang kita sebut beasiswa afirmasi. Ini untuk mendorong pelajar kita yang mau belajar filsafat dengan adanya penawaran beasiswa bagi mereka," pungkasnya.
Sementara Ketua STFI Sadra Dr Kholid Al-Walid mengatakan, selain mampu menangkal berita hoaks, berpikir kritis juga merupakan salah satu jalan bagi masyarakat untuk mencegah terpengaruh akan paham-paham radikal dan ektrimis.
Bahkan menurut Kholid, seharusnya cara berpikir kritis sudah diajarkan sejak di level pendidikan dasar dan menengah.
"Masyarakat sejak remaja harusnya sudah terbiasa untuk berpikir kritis, mendalam, rasional dan substansial dalam menghadapi berbagai persoalan, sehingga tidak terjebak pada problem radikalisme dan ekstrimisme," terang Kholid.
(maf)