Kendaraan DP 0% Undang Perdebatan
A
A
A
MIMPI memiliki kendaraan bermotor dengan kredit tanpa uang muka (down payment/DP) kini bisa diwujudkan. Kebijakan ini telah direstui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyusul penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 35/ POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan pada akhir tahun lalu. POJK tersebut mengatur seputar pemberian uang muka 0% untuk pembelian kendaraan bermotor melalui kredit.
Namun, kehadiran POJK itu kontan mendapat respons beragam. Ada yang setuju, tetapi tak sedikit pula yang tidak setuju. Pihak yang menolak antara lain Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Menteri Perhubungan yang khawatir hal itu akan mendongkrak rasio kredit macet (non-performing finance/NPF). Sebaliknya pihak Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) justru menilai regulasi tersebut positif untuk memutar roda perekonomian agar lebih kencang yang saat ini cenderung stagnan.
Meski mendapat penentangan pemberlakuan regulasi pembelian kendaraan bermotor dengan DP 0%, pihak OJK tak begitu reaktif dalam menanggapi. Mengapa? Rupanya pihak OJK belum puas dengan kinerja pertumbuhan kredit. Simak saja penuturan Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Bambang W Budiman yang membeberkan bahwa pertumbuhan kredit pada industri keuangan didominasi pendanaan proyek infrastruktur oleh bank pelat merah.
Sementara itu kontribusi volume pembiayaan dari perusahaan pembiayaan (multifinance) terhadap total pertumbuhan kredit tak lebih dari 4,5%. Berdasarkan data OJK, perusahaan multifinance lebih banyak menerima dana ketimbang menyalurkan kredit sepanjang tahun lalu.
Alasan yang dikemukakan pihak OJK sulit diterima pihak YLKI. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, kebijakan itu rentan menimbulkan kemiskinan baru di tengah masyarakat. Kok, bisa? Masyarakat akan tergoda memiliki kendaraan bermotor, padahal pendapatannya tidak mendukung hanya karena ada fasilitas tanpa DP. Kekhawatiran lain, kebijakan itu justru berpotensi mendongkrak kredit macet.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi (BKS) menilai kebijakan tersebut bisa merepotkan perusahaan pembiayaan atas risiko gagal bayar. Karena itu pihak YLKI tak segan-segan meminta OJK membatalkan regulasi DP 0% yang sama sekali tidak memiliki unsur edukasi kepada masyarakat.
Ketua Himbara Maryono mengaku kebijakan itu justru memudahkan masyarakat membeli kendaraan sehingga dapat melakukan aktivitas ekonomi lebih efisien. Selain itu dia meyakini aturan yang diterbitkan OJK itu sudah pasti diperhitungkan segala aspek risikonya, terutama atas NPF.
Meski mendapat respons penolakan, pihak OJK sepertinya tidak terpengaruh. Sebab kebijakan tersebut memiliki persyaratan yang ketat. Artinya tidak semua perusahaan pembiayaan bisa memberikan DP 0% dan tidak semua pengajuan kredit tanpa uang muka langsung disetujui.
Perusahaan multifinance yang akan memberlakukan DP 0% harus dalam kondisi keuangan minimum sehat dengan rasio NPF neto rendah atau sama dengan 1%. Begitu pula calon debitor harus memiliki profil risiko yang aman. Selain itu perusahaan multifinance yang memiliki rasio NPF lebih tinggi dari 1% atau sama dengan 3% wajib menerapkan DP 10%.Selanjutnya semakin tinggi rasio NPF, DP pun diterapkan semakin besar.
Aturan di atas kertas sudah jelas, tetapi sering kali penerapan di lapangan jauh berbeda dari apa yang diharapkan. Karena itu pengawasan dari otoritas harus menjadi prioritas utama. Apalagi dana yang ada di perusahaan multifinance cukup melimpah untuk disalurkan dan sudah menjadi rahasia umum aturan menjadi nasabah perusahaan pembiayaan sangat longgar bila dibandingkan dengan aturan perbankan.
Namun, kehadiran POJK itu kontan mendapat respons beragam. Ada yang setuju, tetapi tak sedikit pula yang tidak setuju. Pihak yang menolak antara lain Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Menteri Perhubungan yang khawatir hal itu akan mendongkrak rasio kredit macet (non-performing finance/NPF). Sebaliknya pihak Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) justru menilai regulasi tersebut positif untuk memutar roda perekonomian agar lebih kencang yang saat ini cenderung stagnan.
Meski mendapat penentangan pemberlakuan regulasi pembelian kendaraan bermotor dengan DP 0%, pihak OJK tak begitu reaktif dalam menanggapi. Mengapa? Rupanya pihak OJK belum puas dengan kinerja pertumbuhan kredit. Simak saja penuturan Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Bambang W Budiman yang membeberkan bahwa pertumbuhan kredit pada industri keuangan didominasi pendanaan proyek infrastruktur oleh bank pelat merah.
Sementara itu kontribusi volume pembiayaan dari perusahaan pembiayaan (multifinance) terhadap total pertumbuhan kredit tak lebih dari 4,5%. Berdasarkan data OJK, perusahaan multifinance lebih banyak menerima dana ketimbang menyalurkan kredit sepanjang tahun lalu.
Alasan yang dikemukakan pihak OJK sulit diterima pihak YLKI. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, kebijakan itu rentan menimbulkan kemiskinan baru di tengah masyarakat. Kok, bisa? Masyarakat akan tergoda memiliki kendaraan bermotor, padahal pendapatannya tidak mendukung hanya karena ada fasilitas tanpa DP. Kekhawatiran lain, kebijakan itu justru berpotensi mendongkrak kredit macet.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi (BKS) menilai kebijakan tersebut bisa merepotkan perusahaan pembiayaan atas risiko gagal bayar. Karena itu pihak YLKI tak segan-segan meminta OJK membatalkan regulasi DP 0% yang sama sekali tidak memiliki unsur edukasi kepada masyarakat.
Ketua Himbara Maryono mengaku kebijakan itu justru memudahkan masyarakat membeli kendaraan sehingga dapat melakukan aktivitas ekonomi lebih efisien. Selain itu dia meyakini aturan yang diterbitkan OJK itu sudah pasti diperhitungkan segala aspek risikonya, terutama atas NPF.
Meski mendapat respons penolakan, pihak OJK sepertinya tidak terpengaruh. Sebab kebijakan tersebut memiliki persyaratan yang ketat. Artinya tidak semua perusahaan pembiayaan bisa memberikan DP 0% dan tidak semua pengajuan kredit tanpa uang muka langsung disetujui.
Perusahaan multifinance yang akan memberlakukan DP 0% harus dalam kondisi keuangan minimum sehat dengan rasio NPF neto rendah atau sama dengan 1%. Begitu pula calon debitor harus memiliki profil risiko yang aman. Selain itu perusahaan multifinance yang memiliki rasio NPF lebih tinggi dari 1% atau sama dengan 3% wajib menerapkan DP 10%.Selanjutnya semakin tinggi rasio NPF, DP pun diterapkan semakin besar.
Aturan di atas kertas sudah jelas, tetapi sering kali penerapan di lapangan jauh berbeda dari apa yang diharapkan. Karena itu pengawasan dari otoritas harus menjadi prioritas utama. Apalagi dana yang ada di perusahaan multifinance cukup melimpah untuk disalurkan dan sudah menjadi rahasia umum aturan menjadi nasabah perusahaan pembiayaan sangat longgar bila dibandingkan dengan aturan perbankan.
(rhs)