Sosiolog UI: Pemilu Hanya Temporer, Jangan 'Gila Politik'
A
A
A
JAKARTA - Berbeda pilihan merupakan suatu hal yang wajar dalam kehidupan apalagi beda pilihan politik. Namun berbeda dengan yang terjadi di Gorontalo, karena beda pandangan politik pada pemilihan caleg anggota DPRD Kabupaten Bone Bolango, dua makam atas nama Masri Dunggio dan Siti Aisyah Hamsah yang merupakan kakek dan cucu itu terpaksa dibongkar oleh keluarganya untuk dipindahkan ke pemakaman yang lain.
Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menilai kejadian tersebut karena bisa diumpamakan 'gila politik'. Menurutnya, hal tersebut karena disaat seseorang masuk politik dalam keterlibatan yang sangat emosional, menjadikan politik segala-galanya.
"Akhirnya, menjadikan perilaku itu membabi buta gitu kan, itu kan gila politik sampai menjadikan orang sampai seperti itu," ujar Imam dalam diskusi di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).
Hal tersebut, lanjut Imam, menjadikan dimensi rasionalitas dan kebijaksaan hilang karena emosi amarah telah menutup. Padahal kata Imam, Pemilu hanya bersifat temporer
"Nah, makanya tadi intinya secara sederhana aku ngomong politik penting tapi jangan terlalu serius-serius amat lah, karena ini kan temporer kita boleh beda pilihan tapi gausah emosional juga ngeliat saya beda," jelasnya.
Selain itu, Imam juga menilai partai politik walaupun berbeda dukungan sekarang, bisa saja akan bergabung dalam kabinet yang sama nantinya. Dan dirinya berharap jangan terlalu percaya dengan perilaku para elit politik.
"Parpol itu sekarang beda banget besok gabung, ni jangan sampai kecewa loh sekarang Prabowo Jokowi pengikutnya kaya udah mati-matian nanti begitu ada salah satu menang gabung kabinetnya apa gak nyengir kita kan gituloh, jadi kita juga harus melihat perilaku elit," ungkapnya.
"Sekarang banyak banget yang pindah yang nyerang dan yang tadinya jelek-jelekin satu kubu ini sekarang pembelaannya yang paling fasih nah itukan gausah terlalu heran karena perilaku politik itu kadang-kadang kepentingan yang kadang-kadang retorika, dan jangan salah mereka di belakang ketawa-ketawa juga," tutupnya.
Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menilai kejadian tersebut karena bisa diumpamakan 'gila politik'. Menurutnya, hal tersebut karena disaat seseorang masuk politik dalam keterlibatan yang sangat emosional, menjadikan politik segala-galanya.
"Akhirnya, menjadikan perilaku itu membabi buta gitu kan, itu kan gila politik sampai menjadikan orang sampai seperti itu," ujar Imam dalam diskusi di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).
Hal tersebut, lanjut Imam, menjadikan dimensi rasionalitas dan kebijaksaan hilang karena emosi amarah telah menutup. Padahal kata Imam, Pemilu hanya bersifat temporer
"Nah, makanya tadi intinya secara sederhana aku ngomong politik penting tapi jangan terlalu serius-serius amat lah, karena ini kan temporer kita boleh beda pilihan tapi gausah emosional juga ngeliat saya beda," jelasnya.
Selain itu, Imam juga menilai partai politik walaupun berbeda dukungan sekarang, bisa saja akan bergabung dalam kabinet yang sama nantinya. Dan dirinya berharap jangan terlalu percaya dengan perilaku para elit politik.
"Parpol itu sekarang beda banget besok gabung, ni jangan sampai kecewa loh sekarang Prabowo Jokowi pengikutnya kaya udah mati-matian nanti begitu ada salah satu menang gabung kabinetnya apa gak nyengir kita kan gituloh, jadi kita juga harus melihat perilaku elit," ungkapnya.
"Sekarang banyak banget yang pindah yang nyerang dan yang tadinya jelek-jelekin satu kubu ini sekarang pembelaannya yang paling fasih nah itukan gausah terlalu heran karena perilaku politik itu kadang-kadang kepentingan yang kadang-kadang retorika, dan jangan salah mereka di belakang ketawa-ketawa juga," tutupnya.
(pur)