Ekonomi 2019: Supply Side Policy?

Selasa, 08 Januari 2019 - 09:10 WIB
Ekonomi 2019: Supply...
Ekonomi 2019: Supply Side Policy?
A A A
Mukhaer Pakkanna
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta/Sekretaris MEK PP Muhammadiyah

KENANGAN kebijakan dan fakta ekonomi selama 2018 sudah dilalui dengan penuh romantika. Selanjutnya kita menapaki 2019. Pada 2019 ini ekonomi nasional setidaknya akan diseret ke klimaks, yakni pentas dinamika politik nasional. Implikasinya, selama empat bulan ke depan, perhatian lebih banyak tertuju pada kebijakan politik pragmatis yang akan mendeterminasi arah kebijakan ekonomi.

Tercatat sejak 2018 kebijakan politik ekonomi pragmatis sesungguhnya sudah terlihat. Bahkan, kebijakannya lebih berorientasi pada sisi penawaran (supply side policy). Kebijakan ini substansinya menstimulasi sektor makro ekonomi. Kebijakan ini sangat elok, tapi belum tepat sasaran. Ia lebih condong berpihak pada korporasi besar dan kemudahan fasilitas bagi investor asing sehingga gerak basis ekonomi masyarakat terasa termarjinalkan.

Pada Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XVI yang diluncurkan 16 November 2018, misalnya, menyasar tiga fokus sebagai panasea (obat mujarab) kebijakan. Kendati kebijakan itu direvisi. Pada aspek pertama, memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday).

Kedua, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI). Perluasan ini berupa penanaman modal asing (PMA) yang bisa sepenuhnya (100%) tanpa mitra lokal UKM atau koperasi. Ketiga,insentif terhadap Devisa Hasil Ekspor (DHE) berupa keringanan pajak tarif final PPh. Insentif diberikan pada perusahaan eksportir di sektor sumber daya alam (SDA) yang memasukkan devisanya ke Sistem Keuangan Indonesia (SKI).

Tentu hasil penerapan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XVI ini dinarasikan menjadi pemantik menekan besaran defisit transaksi berjalan (current account defisit) menjadi di bawah 3%. Target insentif DHE mendorong eksportir menempatkan dana di akun perbankan nasional sehingga pasokan dolar Amerika Serikat (AS) akan semakin bertambah di dalam negeri. Ujungnya, bisa membantu stabilitas kurs tukar rupiah terhadap dolar. Dengan begitu, cadangan devisa pun tak lagi terkuras dan bahkan bisa terdongkrak.

Selain Paket Kebijakan XVI di atas, efek Paket Kebijakan Ekonomi yang lain dari 16 kebijakan telah diluncurkan, hanya dua kebijakan berorientasi demand side, yakni Paket Kebijakan Ekonomi IV dan XII. Itu pun hanya mengatur tentang penetapan upah minimum untuk membuka lapangan kerja dan menstimulasi usaha kecil dan menengah dengan kemudahan usaha.

Karena itu, tidak mengherankan jika sepanjang 2018 kebijakan ekonomi pemerintah memihak pada sisi produksi usaha korporasi. Itu pun belum optimal, karena fakta ekonomi nasional masih disandera high cost economy dan Incremental Capital Ouput Ratio (ICOR) yang masih tinggi di atas angka 5.

“Supply Side”
Kebijakan sisi penawaran, sejatinya merupakan jalan pintas yang diambil dalam menggairahkan dunia usaha besar pada saat terjadinya krisis. Di tengah pertumbuhan ekonomi nasional relatif stagnan, cara paling efektif diciptakan dengan menurunkan pajak (tax holiday) dan mengurangi regulasi (deregulasi).

Dalam kebijakan supply side, konsumen diimajinasikan memperoleh manfaat dari pasokan barang/jasa lebih besar dengan harga lebih landai dan lapangan kerja meningkat. Kebijakan ini mengingatkan kita pada ekonom Robert Mundell selama pemerintahan Ronald Reagan di Amerika (1981–1989). Faktanya, kebijakan ini tidak mampu mendongkrak daya beli konsumen.

Jauh sebelumnya, ekonom dan juga pengusaha, Jean Baptiste Say dari Prancis, mematangkan pemikiran Adam Smith (1776) dan memaparkan: ..supply creates its own demand. Pemaparan ini kemudian dikenal Say’s law mengarahkan bahwa barang dan jasa yang diproduksi pasti terserap oleh permintaan sampai tercapai titik keseimbangan baru.

Mazhab Klasik sangat yakin bahwa dalam perekonomian tidak akan timbul masalah kekurangan permintaan agregat, semua barang yang dihasilkan dalam perekonomian pasti akan dibeli oleh konsumen. Hukum Say mengafirmasi, pasar mampu menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien lewat proses pertukaran (exchange economic).

Untuk mengonkretkan uraian Say, secara konseptual, Arthur Laffer, ekonom Amerika, mendeskripsikan bagaimana perubahan tarif pajak memengaruhi pendapatan pemerintah dalam dua cara. Salah satunya Laffer Curve menarasikan sebagai “aritmatika”.

Maka itu, setiap dolar dalam potongan pajak ditafsirkan langsung berkurangnya satu dolar pendapatan pemerintah sehingga dalam jangka panjang dinarasikan sebagai economy effect. Ia bekerja dalam arah berlawanan. Tarif pajak yang lebih rendah memasukkan uang ke tangan pembayar pajak, kemudian membelanjakannya. Ini menciptakan lebih banyak aktivitas ekonomi untuk memenuhi permintaan.

Merangsang Ekonomi Rakyat
Oleh karena kebijakan supply side berfokus pada sisi produksi, peluang merangsang daya beli rakyat dan penguatan basis ekonomi masyarakat menjadi kurang populer. Padahal salah satu persoalan utama anatomi ekonomi nasional bagaimana merangsang daya beli yang sejak satu dasawarsa ini bergerak stagnan di bawah 5,0%.

Sejatinya daya beli rakyat menjadi indikator naik-turunnya pola konsumsi masyarakat. Malah daya beli menjadi perdebatan hangat terkait gagalnya rencana kenaikan harga BBM jenis premium pada Oktober 2018, dengan alasan daya beli dianggap patologis.

Konsumsi masyarakat adalah kontributor utama pertumbuhan ekonomi selain investasi. Jika konsumsi masyarakat dan investasi melemah, risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi sudah bisa diprediksi.Survei Bank Indonesia (BI) dan BPS pada triwulan III/2018 terhadap perilaku konsumen memang mengonfirmasi adanya tekanan kenaikan harga sehingga daya beli masyarakat diperkirakan menurun (Huseno, 2018).

Terdongkraknya harga, memicu konsumsi masyarakat menurun terutama golongan masyarakat menengah ke bawah. Konsumsi masyarakat terekam turun berdasarkan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) dari 125,43 pada triwulan II/2018 menjadi 96,99 pada triwulan III/2018. Di sisi lain, golongan menengah ke atas, dengan melemahnya pertumbuhan kredit perbankan, lebih suka menahan uangnya.

Survei Perbankan BI mengonfirmasikan pertumbuhan triwulan kredit baru cenderung melambat pada triwulan III/2018. Terlihat pada Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit baru triwulan III/2018 turun menjadi 21,2% dibanding triwulan sebelumnya sebesar 90,3%. Lelet-nya pertumbuhan kredit baru tersebut bersumber dari semua jenis penggunaan kredit, baik modal kerja, investasi, maupun konsumsi.

Maka itu, dengan penekanan supply side policy menjadikan geliat ekonomi nasional menjadi pincang. Karena lebih melancarkan jalur produksi. Untuk itu, kebijakan ekonomi pada 2019 harus mampu mendongkrak daya beli masyarakat bawah sehingga yang perlu dilakukan, pertama, jangan terlalu ketat mengejar pajak dari masyarakat. Manfaatkan pajak progresif terutama bagi mereka yang berpenghasilan tinggi.

Kedua, mendorong dana yang banyak tersimpan di bank-bank pemerintah daerah segera dicairkan untuk menggerakkan ekonomi daerah/desa. Membangun pasar-pasar desa, bendungan, infrastruktur jalan/publik, dan mengakselerasi Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah dicanangkan pemerintah.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0593 seconds (0.1#10.140)