Penerimaan Negara Lampaui Target
A
A
A
SUKSES pemerintah merealisasikan penerimaan negara yang tembus 102,5% pada 2018 yang baru berlalu dituding cuma sukses semu belaka. Pasalnya, realisasi penerimaan tersebut bukan murni dari kinerja pemerintah. Analis ekonomi Gede Sandra mengkritik bahwa indikator kunci yang menjadi ukuran kinerja pemerintah terkait realisasi penerimaan negara adalah rasio penerimaan pajak.Sepanjang tahun lalu pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi pada sekitar 5,15%. Dengan demikian, produk domestik bruto (PDB) berada pada kisaran Rp24.2888,6 triliun. Bila dikaitkan dengan besaran penerimaan pajak 2018 yang mencapai Rp1.315,9 triliun, maka rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap PDB dalam definisi sempit versi pemerintah sekitar 9,2%. Artinya, tax ratio 2018 bukan hanya terburuk selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun juga terendah dalam 45 tahun belakangan ini.
Atas dasar itu, Gede Sandra menilai sukses pemerintah menaikkan penerimaan negara hanya prestasi semu. Pemerintah baru bisa diacungi jempol bila sukses menaikkan rasio penerimaan pajak sebagai sebuah prestasi riil. Jadi, faktanya realisasi penerimaan negara sepanjang tahun lalu yang berada di level 102,5% atau setara Rp1.942,3 triliun dari target sebesar Rp1.894,7 triliun, terealisasi karena fenomena kenaikan harga minyak dunia, bukan buah kerja keras pemerintah yang berasal dari pajak.
Tudingan menohok yang dilontarkan analis ekonomi itu kontan ditanggapi serius Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani, yang menilai itu hanya sebatas komentar tanpa mendalami lebih jauh fakta-faktanya. Kalau sekadar berkomentar itu sangat mudah.
Pemerintah tidak hanya berhasil melampaui realisasi penerimaan negara pada 2018 yang semula dipatok Rp1.894,7 triliun kemudian melesat menjadi sebesar Rp1.942,3 triliun atau sekitar 102,5% dari target, tetapi juga mencatat realisasi belanja negara yang menggembirakan, tembus Rp2.202,2 triliun atau mencapai sekitar 99,2% dari target yang dipatok pemerintah, Rp2.220,7 triliun.
Adapun realisasi angka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang semula dipatok pada level 2,19% atau setara Rp325,9 triliun, mengkerut menjadi sekitar 1,76% atau setara Rp259,9 triliun. Pemerintah menyatakan sumber penerimaan negara berasal dari perpajakan, yakni pajak dan bea cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Pemerintah mengklaim pencapaian pengelolaan APBN tersebut adalah sebuah sejarah sepanjang perjalanan negeri ini.
Di sisi lain, pemerintah mengakui sejumlah asumsi dasar ekonomi makro yang ditetapkan APBN 2018 meleset dari target yang dipatok. Di antaranya nilai tukar rupiah (kurs) terhadap dolar Amerika Serikat (AS), harga minyak, dan lifting minyak, hingga penerimaan pajak. Tengok saja, nilai tukar rupiah berdasarkan versi pemerintah mengalami deviasi cukup besar, dari Rp13.400 per dolar AS menjadi rata-rata Rp14.247 per dolar AS.
Begitu pula lifting minyak yang diasumsikan sekitar 800.000 barel per hari (bph) realisasinya hanya 776.000 bph. Harga minyak juga berubah, namun bisa menambah isi pundi pemerintah dari asumsi USD48 per barel menjadi USD67,5 per barel.
Mengenai realisasi penerimaan pajak memang sejak awal kuartal keempat sudah diprediksi sulit mencapai target. Ternyata, prediksi tersebut bukan sekadar isapan jempol, buktinya penerimaan pajak masih kurang Rp109 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN 2018, Rp1.424 triliun. Realisasi penerimaan pajak Rp1.315 triliun atau sekitar 92,41% dari target berasal dari penerimaan pajak nonminyak dan gas (migas) sebesar Rp1.251,2 triliun dan PPh migas Rp64,7 triliun. Meski realisasi penerimaan pajak tahun lalu belum sesuai target, dibanding angka realisasi tahun-tahun sebelumnya masih jauh lebih besar.
Bagaimana dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada 2018? Pemerintah tetap optimistis tidak di bawah 5%. Asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2018 sekitar 5,4%, namun pemerintah memprediksi realisasinya sekitar 5,15%, yang dibulatkan menjadi 5,2%. Sanggupkah pemerintah mengulang kesuksesan penerimaan negara untuk tahun ini? Yang pasti, pemerintah menargetkan penerimaan negara 2019 sebesar Rp2.165,1 triliun dengan asumsi harga minyak sebesar USD70 per barel. Pemerintah juga sepertinya harus lebih kreatif dan hati-hati dalam menjalankan APBN kali ini karena diprediksi tidak ada keuntungan tak terduga (windfall) dari kenaikan harga minyak dunia pada tahun ini.
Atas dasar itu, Gede Sandra menilai sukses pemerintah menaikkan penerimaan negara hanya prestasi semu. Pemerintah baru bisa diacungi jempol bila sukses menaikkan rasio penerimaan pajak sebagai sebuah prestasi riil. Jadi, faktanya realisasi penerimaan negara sepanjang tahun lalu yang berada di level 102,5% atau setara Rp1.942,3 triliun dari target sebesar Rp1.894,7 triliun, terealisasi karena fenomena kenaikan harga minyak dunia, bukan buah kerja keras pemerintah yang berasal dari pajak.
Tudingan menohok yang dilontarkan analis ekonomi itu kontan ditanggapi serius Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani, yang menilai itu hanya sebatas komentar tanpa mendalami lebih jauh fakta-faktanya. Kalau sekadar berkomentar itu sangat mudah.
Pemerintah tidak hanya berhasil melampaui realisasi penerimaan negara pada 2018 yang semula dipatok Rp1.894,7 triliun kemudian melesat menjadi sebesar Rp1.942,3 triliun atau sekitar 102,5% dari target, tetapi juga mencatat realisasi belanja negara yang menggembirakan, tembus Rp2.202,2 triliun atau mencapai sekitar 99,2% dari target yang dipatok pemerintah, Rp2.220,7 triliun.
Adapun realisasi angka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang semula dipatok pada level 2,19% atau setara Rp325,9 triliun, mengkerut menjadi sekitar 1,76% atau setara Rp259,9 triliun. Pemerintah menyatakan sumber penerimaan negara berasal dari perpajakan, yakni pajak dan bea cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Pemerintah mengklaim pencapaian pengelolaan APBN tersebut adalah sebuah sejarah sepanjang perjalanan negeri ini.
Di sisi lain, pemerintah mengakui sejumlah asumsi dasar ekonomi makro yang ditetapkan APBN 2018 meleset dari target yang dipatok. Di antaranya nilai tukar rupiah (kurs) terhadap dolar Amerika Serikat (AS), harga minyak, dan lifting minyak, hingga penerimaan pajak. Tengok saja, nilai tukar rupiah berdasarkan versi pemerintah mengalami deviasi cukup besar, dari Rp13.400 per dolar AS menjadi rata-rata Rp14.247 per dolar AS.
Begitu pula lifting minyak yang diasumsikan sekitar 800.000 barel per hari (bph) realisasinya hanya 776.000 bph. Harga minyak juga berubah, namun bisa menambah isi pundi pemerintah dari asumsi USD48 per barel menjadi USD67,5 per barel.
Mengenai realisasi penerimaan pajak memang sejak awal kuartal keempat sudah diprediksi sulit mencapai target. Ternyata, prediksi tersebut bukan sekadar isapan jempol, buktinya penerimaan pajak masih kurang Rp109 triliun dari target yang ditetapkan dalam APBN 2018, Rp1.424 triliun. Realisasi penerimaan pajak Rp1.315 triliun atau sekitar 92,41% dari target berasal dari penerimaan pajak nonminyak dan gas (migas) sebesar Rp1.251,2 triliun dan PPh migas Rp64,7 triliun. Meski realisasi penerimaan pajak tahun lalu belum sesuai target, dibanding angka realisasi tahun-tahun sebelumnya masih jauh lebih besar.
Bagaimana dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada 2018? Pemerintah tetap optimistis tidak di bawah 5%. Asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2018 sekitar 5,4%, namun pemerintah memprediksi realisasinya sekitar 5,15%, yang dibulatkan menjadi 5,2%. Sanggupkah pemerintah mengulang kesuksesan penerimaan negara untuk tahun ini? Yang pasti, pemerintah menargetkan penerimaan negara 2019 sebesar Rp2.165,1 triliun dengan asumsi harga minyak sebesar USD70 per barel. Pemerintah juga sepertinya harus lebih kreatif dan hati-hati dalam menjalankan APBN kali ini karena diprediksi tidak ada keuntungan tak terduga (windfall) dari kenaikan harga minyak dunia pada tahun ini.
(mhd)