Mitigasi Bencana Lemah
A
A
A
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas mitigasi bencana harus mengaudit seluruh instrumen early warning system (eWS) yang dikelola oleh semua lembaga terkait.
Langkah ini mendesak dilakukan mengingat bencana tsunami yang terjadi di pesisir Banten dan Lampung (22/12) tanpa diiringi peringatan hingga menim bulkan korban jiwa sangat besar. Sistem mitigasi bencana yang dimiliki Indonesia harus diakui sangat lemah.
Hingga kemarin, berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban meninggal akibat tsunami di Selat Sunda terus bertambah yakni mencapai 429 orang meninggal. Angka ini dikhawatirkan terus membengkak karena masih ada 154 orang yang dilaporkan hilang. Selain itu 1.485 orang lainnya terluka.
Pada tsunami Selat Sunda ini, BMKG dan BNPB sempat kebingungan karena awalnya kompak menyebutkan bencana terjadi karena gelombang pasang akibat pengaruh bulan purnama. Namun, beberapa jam kemudian, informasi tersebut diralat.
Dua institusi tersebut mengatakan tsunami telah terjadi, tapi bencana itu tidak dipicu oleh aktivitas tektonik seperti yang pernah terjadi di daerah lain seperti Palu. Urgensi audit instrumen mitigasi bencana disampaikan Ketua Komisi V DPR Fary Djemy Francis dan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Selain di Selat Sunda, kasus lemahnya mitigasi bencana juga terjadi di Palu karena EWS tidak berfungsi.
“BMKG sebagai koordinator untuk deteksi bencana untuk mengoordinasikan kepada semua lembaga terkait dengan instrumen mitigasi tsunami ini harus difungsikan, termasuk juga instrumen pemberitahu annya di darat seperti sirene. Kalau alat berfungsi, tapi enggak ada sirene, yapercuma juga,” ucap dia dalam siaran pers di Jakarta.
Dia menandaskan, mayoritas anggota Komisi V DPR sebenarnya telah meminta keseriusan pemerintah untuk menambahkan anggaran berkaitan dengan audit dan pengadaan deteksi gempa dan tsunami. Sayangnya, anggaran untuk BMKG maupun Basarnas di 2019 itu tidak naik. Karena itu, Fraksi Partai Gerindra menolak dan walkout karena tidak setuju atas anggaran yang diberikan BMKG.
“Karena sangat penting itu, banyak itu (instrumen) tidak berfungsi, tetapi pemerintah tidak melihat itu sebagai prioritas. Anggaran BMKG kebutuhannya sekitar Rp2,5-2,6 triliun. Yang disetujui hanya Rp1,7 triliun, lalu Basarnas (kebutuhan) Rp4 triliunan. Yang dipenuhi hanya Rp1,9 triliun atau Rp2,1 triliun saja, jadi enggak sampai 60%,” paparnya.
Fary kembali mengingatkan urgensi memperbaiki atau meng ganti beberapa perlengkapan instrumen mitigasi. Dia pun menyayangkan, meskipun Presiden Jokowi meng instruksikan untuk diganti, tetapi anggarannya tidak ada penambahan.
Semestinya bencana di Palu sudah menjadi pembelajaran, apalagi terkait informasi potensi gempa dan tsunami. “Kita sudah harus serius. Kalau anggaran BMKG dan Basarnas, enggak ada penambahan. Dia terus begitu saja,” katanya.
Bambang Soesatyo juga meminta BMKG dan BNPB untuk segera melengkapi dan memperbaiki peralatan EWS guna mencegah jatuhnya korban jiwa apabila terjadi kembali bencana alam seperti longsor, banjir, gempa bumi, maupun tsunami, mengingat waktu peringatan dini merupakan aspek yang paling penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
“Sehingga dapat meminimalisasi terjadinya korban jiwa dan materi, serta mengajak masyarakat untuk bersama-sama merawat peralatan EWS,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Kepala BMKG Dwikornita Karnawati mengakui untuk bisa mengantisipasi bencana seperti di Selat Sunda kemarin memang diperlukan sistem mitigasi yang baik, dalam hal ini akses integrasi data monitoring aktivitas erupsi vulkanik (gempa vulkanik) ke sistem EWS yang saat ini beroperasi di BMKG.
Mantan rektor wanita pertama Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan bahwa saat ini sistem integrasi tersebut masih sulit dilakukan karena peralatan monitoring di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau belum sepenuhnya digital otomatis.
“Sistemnya belum dapat online real time. Datanya baru dapat terkirim setiap enam jam,” katanya ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin. Dia lantas menuturkan, EWS yang ada di BMKG selalu siapa selama 24 jam untuk memantau ada tsunami yang di picu oleh gempa tektonik.
Akan tetapi, tsunami yang terjadi di Anyer merupakan tsunami yang langka yang dipicu oleh longsor laut akibat erupsi vulkanik. Karena itu, jelas kepala BMKG, untuk sistem peringatan dininya harus dilakukan berdasarkan pemantauan gunung api di Pos Krakatau. “BMKG saat itu tidak mendapatkan otoritas dan akses data dari pos pengamatan tersebut. Saat ini kami terus berupaya untuk mengakses data tersebut yang ternyata belum bisa online real time,” katanya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengungkapkan, pihak nya sudah pernah melakukan penganggaran pengadaan alat deteksi tsunami, namun dicoret dan tidak disetujui. Namun, ia belum merinci penganggaran alat deteksi apa yang sempat dicoret itu.
Rahmat pun mengapresiasi perintah Presiden Joko Widodo yang meminta BMKG membeli alat deteksi dini baru dan menambah dana perawatan. “Biasanya terkendala di pembahasan, kalau enggak strategis, ya dicoret. Dengan ada instruksi Presiden, maka lembaga yang terkait penganggaran bisa kawal juga,” katanya.
Kendati demikian, penganggaran alat deteksi dini tak bisa secepatnya direalisasi sebab ada mekanisme yang harus dilalui dari mulai perencanaan, pembahasan penganggaran, dan pembelian. Apalagi, anggaran untuk 2019 sudah disetujui pada tahun ini. Dengan demikian, dia memperkirakan, instruksi Presiden mempercepat pengadaan alat deteksi dini baru terealisasi minimal pada 2020.
“Situasi bisa berubah bila Presiden melakukan inter vensi. Ini perlu kerja luar biasa. 2019 sudah diketok tahun ini. Minimal 2020 beli banyak alat deteksi dini. Kecuali ada instruksi Presiden, pasti ada mekanisme untuk bisa cairkan uangnya. Kalau saat ini belum masuk di 2019,” jelasnya.
Dia kembali menyayangkan lambatnya pemerintah merespons permintaan alat deteksi dini jenis bencana gempa dan tsunami dari usulan BMKG. Padahal, Indonesia berada di zona rawan banyak bencana. Kehadiran alat deteksi dini juga berdampak pada mitigasi bencana yang akan mengurangi korban. “Karena bencana sudah mengerikan tahun ini, banyak sekali. Kalau pengawasan BMKG terbatas, ya kemungkinan besar korban bencana masih banyak tahun depan,” tegasnya.
Senada, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho juga mengakui pada saat kejadian tidak ada peringatan dini tsunami. Dia beralasan, Indonesia tidak memiliki sistem EWS yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api.
“Sehingga proses terjadi tsunami di Selat Sunda ini tiba-tiba. Tidak ada informasi, masyarakat tidak ada kesempatan untuk evakuasi,” ungkapnya di Graha BNPB, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, saat ini Indonesia hanya memiliki sistem peringatan dini tsunami akibat gempa. Sistem kerjanya, begitu terjadi gempa bumi, kurang dari lima menit bel BMKG pasti menyampaikan informasi kepada publik. Peringatan dini tsunami yang langsung terkoneksikan dengan stasiun televisi Indonesia, dengan kementerian lembaga, dan dengan pemerintah daerah yang langsung bisa diperintah untuk evakuasi.
“Tetapi, yang terjadi tsunami selat Sunda tidak ada peringatan karena tidak memiliki early warning system. Tidak ada yang mengira erupsi Anak Gunung Krakatau yang berlangsung Sabtu malam itu menyebabkan longsoran bawah laut dan terjadi tsunami. Kalau kita melihat longsorannya, juga tidak paling besar, bahkan bulan Oktober dan November justru paling besar dan dari segi frekuensi tidak ada yang besar,” tambahnya. Sutopo pun sepakat Indonesia harus segera mengembangkan sistem peringatan dini tsunami akibat erupsi gunung api.
“Inilah tantangan ke depan bagi kita untuk mengembangkan sistem peringatan dini yang diakibatkan oleh longsor bawah laut akibat erupsi gunung api. Kenapa? Karena kita memiliki 127 gunung api aktif 13% populasi gunung api aktif di dunia ada di Indonesia yang berpotensi juga menimbulkan tsunami. Dalam catatan sejarah di Indonesia 90% dibangkitkan oleh gempa bumi 10% dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan oleh erupsi gunung api,” tegasnya. (Binti Mufarida/Neneng Zubaedah/Kiswondari)
Langkah ini mendesak dilakukan mengingat bencana tsunami yang terjadi di pesisir Banten dan Lampung (22/12) tanpa diiringi peringatan hingga menim bulkan korban jiwa sangat besar. Sistem mitigasi bencana yang dimiliki Indonesia harus diakui sangat lemah.
Hingga kemarin, berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), korban meninggal akibat tsunami di Selat Sunda terus bertambah yakni mencapai 429 orang meninggal. Angka ini dikhawatirkan terus membengkak karena masih ada 154 orang yang dilaporkan hilang. Selain itu 1.485 orang lainnya terluka.
Pada tsunami Selat Sunda ini, BMKG dan BNPB sempat kebingungan karena awalnya kompak menyebutkan bencana terjadi karena gelombang pasang akibat pengaruh bulan purnama. Namun, beberapa jam kemudian, informasi tersebut diralat.
Dua institusi tersebut mengatakan tsunami telah terjadi, tapi bencana itu tidak dipicu oleh aktivitas tektonik seperti yang pernah terjadi di daerah lain seperti Palu. Urgensi audit instrumen mitigasi bencana disampaikan Ketua Komisi V DPR Fary Djemy Francis dan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Selain di Selat Sunda, kasus lemahnya mitigasi bencana juga terjadi di Palu karena EWS tidak berfungsi.
“BMKG sebagai koordinator untuk deteksi bencana untuk mengoordinasikan kepada semua lembaga terkait dengan instrumen mitigasi tsunami ini harus difungsikan, termasuk juga instrumen pemberitahu annya di darat seperti sirene. Kalau alat berfungsi, tapi enggak ada sirene, yapercuma juga,” ucap dia dalam siaran pers di Jakarta.
Dia menandaskan, mayoritas anggota Komisi V DPR sebenarnya telah meminta keseriusan pemerintah untuk menambahkan anggaran berkaitan dengan audit dan pengadaan deteksi gempa dan tsunami. Sayangnya, anggaran untuk BMKG maupun Basarnas di 2019 itu tidak naik. Karena itu, Fraksi Partai Gerindra menolak dan walkout karena tidak setuju atas anggaran yang diberikan BMKG.
“Karena sangat penting itu, banyak itu (instrumen) tidak berfungsi, tetapi pemerintah tidak melihat itu sebagai prioritas. Anggaran BMKG kebutuhannya sekitar Rp2,5-2,6 triliun. Yang disetujui hanya Rp1,7 triliun, lalu Basarnas (kebutuhan) Rp4 triliunan. Yang dipenuhi hanya Rp1,9 triliun atau Rp2,1 triliun saja, jadi enggak sampai 60%,” paparnya.
Fary kembali mengingatkan urgensi memperbaiki atau meng ganti beberapa perlengkapan instrumen mitigasi. Dia pun menyayangkan, meskipun Presiden Jokowi meng instruksikan untuk diganti, tetapi anggarannya tidak ada penambahan.
Semestinya bencana di Palu sudah menjadi pembelajaran, apalagi terkait informasi potensi gempa dan tsunami. “Kita sudah harus serius. Kalau anggaran BMKG dan Basarnas, enggak ada penambahan. Dia terus begitu saja,” katanya.
Bambang Soesatyo juga meminta BMKG dan BNPB untuk segera melengkapi dan memperbaiki peralatan EWS guna mencegah jatuhnya korban jiwa apabila terjadi kembali bencana alam seperti longsor, banjir, gempa bumi, maupun tsunami, mengingat waktu peringatan dini merupakan aspek yang paling penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
“Sehingga dapat meminimalisasi terjadinya korban jiwa dan materi, serta mengajak masyarakat untuk bersama-sama merawat peralatan EWS,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Kepala BMKG Dwikornita Karnawati mengakui untuk bisa mengantisipasi bencana seperti di Selat Sunda kemarin memang diperlukan sistem mitigasi yang baik, dalam hal ini akses integrasi data monitoring aktivitas erupsi vulkanik (gempa vulkanik) ke sistem EWS yang saat ini beroperasi di BMKG.
Mantan rektor wanita pertama Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan bahwa saat ini sistem integrasi tersebut masih sulit dilakukan karena peralatan monitoring di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau belum sepenuhnya digital otomatis.
“Sistemnya belum dapat online real time. Datanya baru dapat terkirim setiap enam jam,” katanya ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin. Dia lantas menuturkan, EWS yang ada di BMKG selalu siapa selama 24 jam untuk memantau ada tsunami yang di picu oleh gempa tektonik.
Akan tetapi, tsunami yang terjadi di Anyer merupakan tsunami yang langka yang dipicu oleh longsor laut akibat erupsi vulkanik. Karena itu, jelas kepala BMKG, untuk sistem peringatan dininya harus dilakukan berdasarkan pemantauan gunung api di Pos Krakatau. “BMKG saat itu tidak mendapatkan otoritas dan akses data dari pos pengamatan tersebut. Saat ini kami terus berupaya untuk mengakses data tersebut yang ternyata belum bisa online real time,” katanya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengungkapkan, pihak nya sudah pernah melakukan penganggaran pengadaan alat deteksi tsunami, namun dicoret dan tidak disetujui. Namun, ia belum merinci penganggaran alat deteksi apa yang sempat dicoret itu.
Rahmat pun mengapresiasi perintah Presiden Joko Widodo yang meminta BMKG membeli alat deteksi dini baru dan menambah dana perawatan. “Biasanya terkendala di pembahasan, kalau enggak strategis, ya dicoret. Dengan ada instruksi Presiden, maka lembaga yang terkait penganggaran bisa kawal juga,” katanya.
Kendati demikian, penganggaran alat deteksi dini tak bisa secepatnya direalisasi sebab ada mekanisme yang harus dilalui dari mulai perencanaan, pembahasan penganggaran, dan pembelian. Apalagi, anggaran untuk 2019 sudah disetujui pada tahun ini. Dengan demikian, dia memperkirakan, instruksi Presiden mempercepat pengadaan alat deteksi dini baru terealisasi minimal pada 2020.
“Situasi bisa berubah bila Presiden melakukan inter vensi. Ini perlu kerja luar biasa. 2019 sudah diketok tahun ini. Minimal 2020 beli banyak alat deteksi dini. Kecuali ada instruksi Presiden, pasti ada mekanisme untuk bisa cairkan uangnya. Kalau saat ini belum masuk di 2019,” jelasnya.
Dia kembali menyayangkan lambatnya pemerintah merespons permintaan alat deteksi dini jenis bencana gempa dan tsunami dari usulan BMKG. Padahal, Indonesia berada di zona rawan banyak bencana. Kehadiran alat deteksi dini juga berdampak pada mitigasi bencana yang akan mengurangi korban. “Karena bencana sudah mengerikan tahun ini, banyak sekali. Kalau pengawasan BMKG terbatas, ya kemungkinan besar korban bencana masih banyak tahun depan,” tegasnya.
Senada, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho juga mengakui pada saat kejadian tidak ada peringatan dini tsunami. Dia beralasan, Indonesia tidak memiliki sistem EWS yang dibangkitkan oleh longsoran bawah laut dan erupsi gunung api.
“Sehingga proses terjadi tsunami di Selat Sunda ini tiba-tiba. Tidak ada informasi, masyarakat tidak ada kesempatan untuk evakuasi,” ungkapnya di Graha BNPB, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, saat ini Indonesia hanya memiliki sistem peringatan dini tsunami akibat gempa. Sistem kerjanya, begitu terjadi gempa bumi, kurang dari lima menit bel BMKG pasti menyampaikan informasi kepada publik. Peringatan dini tsunami yang langsung terkoneksikan dengan stasiun televisi Indonesia, dengan kementerian lembaga, dan dengan pemerintah daerah yang langsung bisa diperintah untuk evakuasi.
“Tetapi, yang terjadi tsunami selat Sunda tidak ada peringatan karena tidak memiliki early warning system. Tidak ada yang mengira erupsi Anak Gunung Krakatau yang berlangsung Sabtu malam itu menyebabkan longsoran bawah laut dan terjadi tsunami. Kalau kita melihat longsorannya, juga tidak paling besar, bahkan bulan Oktober dan November justru paling besar dan dari segi frekuensi tidak ada yang besar,” tambahnya. Sutopo pun sepakat Indonesia harus segera mengembangkan sistem peringatan dini tsunami akibat erupsi gunung api.
“Inilah tantangan ke depan bagi kita untuk mengembangkan sistem peringatan dini yang diakibatkan oleh longsor bawah laut akibat erupsi gunung api. Kenapa? Karena kita memiliki 127 gunung api aktif 13% populasi gunung api aktif di dunia ada di Indonesia yang berpotensi juga menimbulkan tsunami. Dalam catatan sejarah di Indonesia 90% dibangkitkan oleh gempa bumi 10% dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan oleh erupsi gunung api,” tegasnya. (Binti Mufarida/Neneng Zubaedah/Kiswondari)
(nfl)