KPK Memonopoli Penyidikan dan Penuntutan Tipikor
A
A
A
Romli AtmasasmitaGuru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad)
GAGASAN (model pertama) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki fungsi penyidikan dan penuntutan dalamsatu tangan dan kejaksaan tidak lagi memiliki fungsi tersebut (Kompas, 28 November 2018) sejatinya bukan hal baru. Begitu pula gagasan (model kedua) pembagian wewenang penyidikan dan penuntutan antara KPK dan kejaksaan.
Gagasan model pertama terdapat pada naskah awal RUU KPK (2000) yang diajukan pemerintah (Presiden Megawati) ke DPR. Gagasan model kedua telah dipraktikkan komisi antikorupsi Hong Kong (ICAC) dan Malaysia (BPR). Gagasan tersebut menarik untuk dikaji kembalioleh ahli-ahli hukum pidana, ahlisistem peradilan pidana (SPP), dan ahli psikologi organisasi kelembagaan serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Gagasan model pertama dalam naskah RUU KPK (2000) berdasarkanpenelitian tim Pemerintah Indonesia terhadap komisi antikorupsi di Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Hong Kong, dan Australia.KPK di Korea Selatan semulalembaga independen, tetapi lalu dibubarkan karena dinilai pemerintah tidak produktif dalam pemberantasan korupsi dan fungsinya dialihkan ke Ombudsman.
NaskahRUU KPK (2000) ditolak kejaksaan sebagai stakeholder dan didukung Komisi II DPR dengan alasan secarahistoris eksistensi kejaksaan di dalam SPP Indonesia adalah lembaga tertua dan satu-satunya pemegang wewenang dominus litis yang telah diakui secara universal. Selain alasan tersebut, monopoliKPK dianggaptidak realistis karena pekerjaan penyidikan dan penuntutan memerlukan tenaga profesional dan berpengalamandalam penegakan hukum sehingga tidakmungkin dapat bekerja efisien dan efektif.
Pemerintah atas pertimbangan mendesak terhadap eksistensi KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi merevisi naskah RUU KPK (2000):kejaksaan tetap memiliki fungsi penyidikan dan penuntutan, KPK diberi wewenang lebih luas. Wewenang yang lebih luas itu, pertama, selain memiliki kedua fungsi tersebut, KPK memiliki fungsi koordinasi dan supervisi (korsup) terhadap kejaksaan dan kepolisian dalam penyidikan dan penuntutan tipikor.
Kedua, KPK memilikiwewenang pengambilalihan kasus korupsi yang ditangani kejaksaandankepolisian, juga memiliki wewenangpencekalan dan penyadapan tanpa izin pengadilan sejak penyelidikan, tetapi KPK tidak memiliki wewenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3) dengan pertimbangan harus sangat berhati-hati dalam menetapkan status tersangka. Ketiga, KPK juga memiliki fungsi pencegahan yang tidak dimiliki kejaksaan.
Perubahan naskah RUU KPK (2000) tentang korsup merujuk pada fungsiICC dengan konsep unwilling and unable dalam kasus pelanggaran HAM. Perubahan tersebut disetujui DPR dan UU KPK No 30 Tahun 2002 merupakan hasil negosiasi maksimal antara pemerintah dan Komisi II DPR.
Gagasan model pertama setelah 15 tahun KPK bekerja perlu dikaji kembalimengingat masalah tersebut memerlukan evaluasi bersama, selain oleh kejaksaan juga oleh kementerian/lembaga (K/L) khusus, yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kemenpan-RB, dan ahli.Evaluasiperlu mempertimbangkan kesuksesan KPK yang telah terbukti “berhasil” mencapai conviction rate100%, hal yang tidak pernah dicapai komisi antikorupsi, baik di negara anggota ASEAN maupun negara lain.
Dalam konteks ini perlu dihubungkan dengan model SPP dari Herbert Packer (The Limits of Criminal Sanction,1986) yang membedakan secaratajam antara due process model (DPM) dan crime control model (CCM). Model pertama mengutamakan efisiensi (proses) apakah proses peradilan pidana yang benar (due process) telah dilaksanakan, model kedua mengutamakan efektivitas (output), yaitu apakah tujuan peradilan telah dicapai, yaitu memenjarakan pelaku tindak pidana. Kedua model Packer tersebut sekalipun menggunakan pendekatan normatif, tiap model memiliki senjata utama dalam melaksanakan SPP menurut filosofi hukum pidana yang dianutnya. Gagasan monopoli dua fungsi proses peradilan pidana pada KPK potensial kontraproduktif dari sisi hubungan antarlembaga penegak hukum yang telah terlebih dulu ada dari KPK.
Model pertamamengandung kelemahan yang berarti: (1) perubahandan sinkronisasi UU KPK,UU Tipikor, UU KUHAP, UU Kejaksaan, dan UU Kepolisian; (2) Ketentuan Bab III UU Tipikor (1999) mengenai “Tindak Pidana Lain berkaitan dengan Tipikor” harus ditiadakan karena termasuk tindak pidana umum (lingkup KUHP) dan wewenang penyidik Polri dan berada pada hukum acara umum (UUKUHAP (UU 8/1981); (3)masalah teknis hubungan kelembagaan, yaitu kemungkinan tenaga bantuan penuntut umum dari kejaksaan dan penyidik Polri ditarik semua dari KPK sehinggadipastikan menghambat tugas KPK dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Gagasan model kedua, sekalipun tidak memberikan hasil maksimal, tetap dapat memelihara sinergi antara KPK dan kejaksaan. Sinergi tersebut telah terjalin baik antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan yang telah diatur dalam Pasal 6 huruf a dan b dan Pasal 50 UU KPK serta diperkuat dengan MoU KPK, kejaksaan, dan kepolisian (2016).Begitu pulakewajibanSPDP kepolisian dan kejaksaan kepada KPK telah berjalan efektif dan fungsi korsup telah dilaksanakan KPK tanpa konflik.
Masalahtidak ada kepastian hukum karena penanganan kasus korupsi oleh KPK dan kejaksaanbukan alasan untuk memperluas wewenang KPK dalam memonopoli dua fungsi tersebut mengingatkesuksesanKPK mencapai100%conviction rate, yangdi samping putusan Pengadilan Tipikor telah memperkuat dakwaan KPK tanpa reserve.
Keberhasilan tersebut membuktikan bahwa penanganan korupsi oleh dua lembaga tersebut bukan merupakan masalah serius. Selain kesuksesan KPK tersebut, masih ada keraguan masyarakat pencari keadilan mengenai masalah integritas KPK, bukan hanya kejaksaan atau kepolisian.Kekhawatiran tersebut ialahekses absolute power tends to corrupt absolutely. Tidak dapat dinafikan kenyataan bahwa ekses tersebutterjadi dalam penegakan hukum, termasuk oleh KPK, dan hal ini terjadi karenafungsi pengawasan DPR masih sangat lemah seperti Pansus Angket KPK yang tidak jelas akhirnya sampai saat ini.
Hal itu diperkuat oleh solidaritas masyarakat antikorupsi yang selalu menjustifikasi tindakan hukum KPK tanpa ada koreksi yang berarti; berbeda halnya terhadap tindakan hukum oleh kejaksaan dan kepolisian.
Di balik kesuksesan KPK, kekhawatiran masyarakat pencari keadilan terhadap tindakan hukum KPK tidak dapat dikesampingkan. Misalnyadalam kasus BLBI a.n. SN yang telah di-SP3 oleh Kejaksaan Agung dilakukan penyidikan kembali oleh KPK dengan subjek hukum dalam perkara yang sama; kasus suap Kepala SKK Migas yang tidak tuntas karena tidak semua pelaku ditetapkan tersangka;kasus reklamasi di mana hanya penerima suap ditetapkan sebagai tersangka; kasus Hambalang, kasus Century yang tidak sama perlakuannya dengan kasus cek pelawat anggota DPRdan kasus tanah YSW.
Semua kasus tersebut membuktikan bahwa gagasan model pertama berlawanan dengan realitas kemampuan KPK yang memiliki wewenang, baik penyidikan maupun penuntutan. Contoh lain dari penggunaan wewenang KPK dalam kontekskasus korupsi yang dipraperadilankandalam kasus BG, HP, dan SN membuktikan bahwa KPK tanpamonopoli dua fungsi tersebut masih bermasalah. Begitu pulaketika pimpinan/pegawai KPK telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana masih tampak ada masalah integritas personal dari sisi kepatuhan terhadap UU (UU KPK dan UU KUHAP) dan konsistensi terhadap asas equality before the law, kepastian hukum, dan keadilan.
Dalam konteks demikian, pernyataan penulis artikel yang meragukan pimpinan lembaga penegak hukum dari unsur partai politik ada benarnya. Akan tetapi secara jujur harus dikemukakan bahwa masalah pimpinan lembaga penegak hukum dari mana pun asalnya dan pengalamannya belum menentukan bila dibandingkan dengan (faktor)integritas dan profesionalitas yang masih merupakan penyebab utamakisruhnya penegakan hukum di Indonesia.
Dalam pengamatan penulis, saat ini justru diperlukan perubahan UU KPK. Di antaranya KPK memerlukan Dewan Pengawas yang terdiri atas anggota independen, pimpinan KPK, danwakil Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman. Selain perubahan tersebut, perlu ada syarat ketat dalam penunjukan panitia seleksi calon pimpinan KPK, antara lain harus terdiri atas praktisi hukum, ahli hukum pidana, dan pengesahan hasil pansel cukup ditetapkan Presiden sebagai kepala negara tanpa persetujuan DPR.
GAGASAN (model pertama) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki fungsi penyidikan dan penuntutan dalamsatu tangan dan kejaksaan tidak lagi memiliki fungsi tersebut (Kompas, 28 November 2018) sejatinya bukan hal baru. Begitu pula gagasan (model kedua) pembagian wewenang penyidikan dan penuntutan antara KPK dan kejaksaan.
Gagasan model pertama terdapat pada naskah awal RUU KPK (2000) yang diajukan pemerintah (Presiden Megawati) ke DPR. Gagasan model kedua telah dipraktikkan komisi antikorupsi Hong Kong (ICAC) dan Malaysia (BPR). Gagasan tersebut menarik untuk dikaji kembalioleh ahli-ahli hukum pidana, ahlisistem peradilan pidana (SPP), dan ahli psikologi organisasi kelembagaan serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Gagasan model pertama dalam naskah RUU KPK (2000) berdasarkanpenelitian tim Pemerintah Indonesia terhadap komisi antikorupsi di Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Hong Kong, dan Australia.KPK di Korea Selatan semulalembaga independen, tetapi lalu dibubarkan karena dinilai pemerintah tidak produktif dalam pemberantasan korupsi dan fungsinya dialihkan ke Ombudsman.
NaskahRUU KPK (2000) ditolak kejaksaan sebagai stakeholder dan didukung Komisi II DPR dengan alasan secarahistoris eksistensi kejaksaan di dalam SPP Indonesia adalah lembaga tertua dan satu-satunya pemegang wewenang dominus litis yang telah diakui secara universal. Selain alasan tersebut, monopoliKPK dianggaptidak realistis karena pekerjaan penyidikan dan penuntutan memerlukan tenaga profesional dan berpengalamandalam penegakan hukum sehingga tidakmungkin dapat bekerja efisien dan efektif.
Pemerintah atas pertimbangan mendesak terhadap eksistensi KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi merevisi naskah RUU KPK (2000):kejaksaan tetap memiliki fungsi penyidikan dan penuntutan, KPK diberi wewenang lebih luas. Wewenang yang lebih luas itu, pertama, selain memiliki kedua fungsi tersebut, KPK memiliki fungsi koordinasi dan supervisi (korsup) terhadap kejaksaan dan kepolisian dalam penyidikan dan penuntutan tipikor.
Kedua, KPK memilikiwewenang pengambilalihan kasus korupsi yang ditangani kejaksaandankepolisian, juga memiliki wewenangpencekalan dan penyadapan tanpa izin pengadilan sejak penyelidikan, tetapi KPK tidak memiliki wewenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3) dengan pertimbangan harus sangat berhati-hati dalam menetapkan status tersangka. Ketiga, KPK juga memiliki fungsi pencegahan yang tidak dimiliki kejaksaan.
Perubahan naskah RUU KPK (2000) tentang korsup merujuk pada fungsiICC dengan konsep unwilling and unable dalam kasus pelanggaran HAM. Perubahan tersebut disetujui DPR dan UU KPK No 30 Tahun 2002 merupakan hasil negosiasi maksimal antara pemerintah dan Komisi II DPR.
Gagasan model pertama setelah 15 tahun KPK bekerja perlu dikaji kembalimengingat masalah tersebut memerlukan evaluasi bersama, selain oleh kejaksaan juga oleh kementerian/lembaga (K/L) khusus, yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kemenpan-RB, dan ahli.Evaluasiperlu mempertimbangkan kesuksesan KPK yang telah terbukti “berhasil” mencapai conviction rate100%, hal yang tidak pernah dicapai komisi antikorupsi, baik di negara anggota ASEAN maupun negara lain.
Dalam konteks ini perlu dihubungkan dengan model SPP dari Herbert Packer (The Limits of Criminal Sanction,1986) yang membedakan secaratajam antara due process model (DPM) dan crime control model (CCM). Model pertama mengutamakan efisiensi (proses) apakah proses peradilan pidana yang benar (due process) telah dilaksanakan, model kedua mengutamakan efektivitas (output), yaitu apakah tujuan peradilan telah dicapai, yaitu memenjarakan pelaku tindak pidana. Kedua model Packer tersebut sekalipun menggunakan pendekatan normatif, tiap model memiliki senjata utama dalam melaksanakan SPP menurut filosofi hukum pidana yang dianutnya. Gagasan monopoli dua fungsi proses peradilan pidana pada KPK potensial kontraproduktif dari sisi hubungan antarlembaga penegak hukum yang telah terlebih dulu ada dari KPK.
Model pertamamengandung kelemahan yang berarti: (1) perubahandan sinkronisasi UU KPK,UU Tipikor, UU KUHAP, UU Kejaksaan, dan UU Kepolisian; (2) Ketentuan Bab III UU Tipikor (1999) mengenai “Tindak Pidana Lain berkaitan dengan Tipikor” harus ditiadakan karena termasuk tindak pidana umum (lingkup KUHP) dan wewenang penyidik Polri dan berada pada hukum acara umum (UUKUHAP (UU 8/1981); (3)masalah teknis hubungan kelembagaan, yaitu kemungkinan tenaga bantuan penuntut umum dari kejaksaan dan penyidik Polri ditarik semua dari KPK sehinggadipastikan menghambat tugas KPK dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Gagasan model kedua, sekalipun tidak memberikan hasil maksimal, tetap dapat memelihara sinergi antara KPK dan kejaksaan. Sinergi tersebut telah terjalin baik antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan yang telah diatur dalam Pasal 6 huruf a dan b dan Pasal 50 UU KPK serta diperkuat dengan MoU KPK, kejaksaan, dan kepolisian (2016).Begitu pulakewajibanSPDP kepolisian dan kejaksaan kepada KPK telah berjalan efektif dan fungsi korsup telah dilaksanakan KPK tanpa konflik.
Masalahtidak ada kepastian hukum karena penanganan kasus korupsi oleh KPK dan kejaksaanbukan alasan untuk memperluas wewenang KPK dalam memonopoli dua fungsi tersebut mengingatkesuksesanKPK mencapai100%conviction rate, yangdi samping putusan Pengadilan Tipikor telah memperkuat dakwaan KPK tanpa reserve.
Keberhasilan tersebut membuktikan bahwa penanganan korupsi oleh dua lembaga tersebut bukan merupakan masalah serius. Selain kesuksesan KPK tersebut, masih ada keraguan masyarakat pencari keadilan mengenai masalah integritas KPK, bukan hanya kejaksaan atau kepolisian.Kekhawatiran tersebut ialahekses absolute power tends to corrupt absolutely. Tidak dapat dinafikan kenyataan bahwa ekses tersebutterjadi dalam penegakan hukum, termasuk oleh KPK, dan hal ini terjadi karenafungsi pengawasan DPR masih sangat lemah seperti Pansus Angket KPK yang tidak jelas akhirnya sampai saat ini.
Hal itu diperkuat oleh solidaritas masyarakat antikorupsi yang selalu menjustifikasi tindakan hukum KPK tanpa ada koreksi yang berarti; berbeda halnya terhadap tindakan hukum oleh kejaksaan dan kepolisian.
Di balik kesuksesan KPK, kekhawatiran masyarakat pencari keadilan terhadap tindakan hukum KPK tidak dapat dikesampingkan. Misalnyadalam kasus BLBI a.n. SN yang telah di-SP3 oleh Kejaksaan Agung dilakukan penyidikan kembali oleh KPK dengan subjek hukum dalam perkara yang sama; kasus suap Kepala SKK Migas yang tidak tuntas karena tidak semua pelaku ditetapkan tersangka;kasus reklamasi di mana hanya penerima suap ditetapkan sebagai tersangka; kasus Hambalang, kasus Century yang tidak sama perlakuannya dengan kasus cek pelawat anggota DPRdan kasus tanah YSW.
Semua kasus tersebut membuktikan bahwa gagasan model pertama berlawanan dengan realitas kemampuan KPK yang memiliki wewenang, baik penyidikan maupun penuntutan. Contoh lain dari penggunaan wewenang KPK dalam kontekskasus korupsi yang dipraperadilankandalam kasus BG, HP, dan SN membuktikan bahwa KPK tanpamonopoli dua fungsi tersebut masih bermasalah. Begitu pulaketika pimpinan/pegawai KPK telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana masih tampak ada masalah integritas personal dari sisi kepatuhan terhadap UU (UU KPK dan UU KUHAP) dan konsistensi terhadap asas equality before the law, kepastian hukum, dan keadilan.
Dalam konteks demikian, pernyataan penulis artikel yang meragukan pimpinan lembaga penegak hukum dari unsur partai politik ada benarnya. Akan tetapi secara jujur harus dikemukakan bahwa masalah pimpinan lembaga penegak hukum dari mana pun asalnya dan pengalamannya belum menentukan bila dibandingkan dengan (faktor)integritas dan profesionalitas yang masih merupakan penyebab utamakisruhnya penegakan hukum di Indonesia.
Dalam pengamatan penulis, saat ini justru diperlukan perubahan UU KPK. Di antaranya KPK memerlukan Dewan Pengawas yang terdiri atas anggota independen, pimpinan KPK, danwakil Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman. Selain perubahan tersebut, perlu ada syarat ketat dalam penunjukan panitia seleksi calon pimpinan KPK, antara lain harus terdiri atas praktisi hukum, ahli hukum pidana, dan pengesahan hasil pansel cukup ditetapkan Presiden sebagai kepala negara tanpa persetujuan DPR.
(mhd)