Praktik Pungli Perizinan Sulitkan Pelaku Bisnis
A
A
A
JAKARTA - Birokrasi yang belum bebas dari perilaku suap dan pungutan liar (pungli) menjadi salah satu faktor yang menyulitkan pelaku bisnis properti menjalankan usahanya untuk memenuhi harapan konsumen.
Hal tersebut dinilai menjadi salah satu pelajaran yang diambil dari kasus hukum yang menyandung megaproyek Meikarta.
Menurut praktisi hukum dan pengamat sektor properti, Erwin Kallo, pengembang properti selalu ada di dalam kondisi yang sulit dalam menjalankan bisnisnya dan memenuhi harapan konsumen di Indonesia.
Dia menilai potensi terjadinya suap dan pungli karena masih adanya oknum birokrat yang mengarahkan dan menciptakan kondisi tersebut.“Rentang perizinannya itu terlalu panjang dan terlalu banyak," katanya.
Dia mengatakan, dalam masalah suap dan pungli di sektor properti, ada pengembang yang memang terpaksa harus membayar karena kalau tidak dibayar maka tidak jalan dan ada juga pengembang yang memang bersalah sehingga mereka bayar supaya izinnya mulus.
“Suap itu kan berarti ada masalah. Tidak ada masalah pun harus suap. Di Indonesia ini benar pun pakai ongkos. Bayar itu untuk apa? Untuk percepatan, karena bisnis itu masalah waktu,” tambah Erwin
Menurut dia, penundaan suatu proyek karena perizinan akan menimbulkan biaya sangat besar terhadap proyek tersebut. Dia moncontohkan salah satunya biaya overhead yang akan membengkak jika terjadi penundaan proyek.
Perilaku suap, kata dia, tidak terlepas dari rumit dan banyaknya perizinan yang mesti diurus oleh pengembang. Mulai dari pembebasan lahan, sertifikasi tanah, sampai izin mendirikan bangunan (IMB) pun para pengembang sudah dikenakan pungli.
"Ada ketidakikhlasan dari aparat birokrasi itu untuk mempermudah tanpa mereka mendapatkan sesuatu," tuturnya.
Secara terpisah, praktisi hukum Eddy Marek menegaskan suap dan pungli yang terjadi dalam kasus properti terkait masalah mentalitas. Sepanjang mentalitas belum berubah, artinya masih bekerja setengah hati, atau bekerja karena ingin mendapat imbalan tertentu di luar gaji, tentunya masalah-masalah seperti perizinan yang terhambat akan terus terjadi.
Kedua, sambung dia, perangkat hukum. Saat ini sudah ada sistem online single submission (OSS) yang merupakan platform yang baik, yang mau tidak mau memaksa pejabat di pemerintah daerah untuk betul-betul mengikuti prosedur.
Jika tidak, lanjut dia, keterlambatan akan dianggap menyetujui aplikasi yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan permohonan perizinan.
“Akibat kelemahan dua hal, yaitu mentalitas dan perangkat hukum, hal ini masih terus terjadi. Saya pernah mendengar salah satu pejabat pemerintah sendiri mengatakan pengembang serba salah, di satu sisi jika tidak mendekati pejabat, izinnya dipersulit atau tertunda atau diurus setengah hati, tapi di sisi lain, jika pihak pengembang terus mendekati, maka ada risiko ditangkap karena melakukan kolusi,” tuturnya.
Menurut dia, proyek properti itu menyangkut banyak kepentingan. Dari segi konstruksi (kontraktor dan suplier), dari segi pemasaran dan penjualan agen pemasaran dan penjualan oleh tim pengembang sendiri, dari segi perizinan retribusi kepada pemerintah daerah, dari segi transaksi jual beli apartemen pajak-pajak yang dibayarkan, seperti pajak penghasilan dan BPHTB, juga perolehan properti baru oleh konsumen atau pembeli, belum lagi penciptaan lapangan kerja jika proyek properti tersebut telah beroperasi satpam, cleaning service, gardening, dan lainnya.
“Pemerintah tidak boleh mendiamkan atau malah semakin menunda perizinan yang ada karena keberadaan masalah hukum. Koreksi internal perlu dilakukan, tapi jangan terlalu lama. Proyek properti menyangkut banyak kepentingan dan sangat bermanfaat bagi daerah itu sendiri. Proyek properti menciptakan multiplier effect. Kasus hukum yang berjalan jangan sampai menghambat proses perizinan yang ada,” tuturnya.
Hal tersebut dinilai menjadi salah satu pelajaran yang diambil dari kasus hukum yang menyandung megaproyek Meikarta.
Menurut praktisi hukum dan pengamat sektor properti, Erwin Kallo, pengembang properti selalu ada di dalam kondisi yang sulit dalam menjalankan bisnisnya dan memenuhi harapan konsumen di Indonesia.
Dia menilai potensi terjadinya suap dan pungli karena masih adanya oknum birokrat yang mengarahkan dan menciptakan kondisi tersebut.“Rentang perizinannya itu terlalu panjang dan terlalu banyak," katanya.
Dia mengatakan, dalam masalah suap dan pungli di sektor properti, ada pengembang yang memang terpaksa harus membayar karena kalau tidak dibayar maka tidak jalan dan ada juga pengembang yang memang bersalah sehingga mereka bayar supaya izinnya mulus.
“Suap itu kan berarti ada masalah. Tidak ada masalah pun harus suap. Di Indonesia ini benar pun pakai ongkos. Bayar itu untuk apa? Untuk percepatan, karena bisnis itu masalah waktu,” tambah Erwin
Menurut dia, penundaan suatu proyek karena perizinan akan menimbulkan biaya sangat besar terhadap proyek tersebut. Dia moncontohkan salah satunya biaya overhead yang akan membengkak jika terjadi penundaan proyek.
Perilaku suap, kata dia, tidak terlepas dari rumit dan banyaknya perizinan yang mesti diurus oleh pengembang. Mulai dari pembebasan lahan, sertifikasi tanah, sampai izin mendirikan bangunan (IMB) pun para pengembang sudah dikenakan pungli.
"Ada ketidakikhlasan dari aparat birokrasi itu untuk mempermudah tanpa mereka mendapatkan sesuatu," tuturnya.
Secara terpisah, praktisi hukum Eddy Marek menegaskan suap dan pungli yang terjadi dalam kasus properti terkait masalah mentalitas. Sepanjang mentalitas belum berubah, artinya masih bekerja setengah hati, atau bekerja karena ingin mendapat imbalan tertentu di luar gaji, tentunya masalah-masalah seperti perizinan yang terhambat akan terus terjadi.
Kedua, sambung dia, perangkat hukum. Saat ini sudah ada sistem online single submission (OSS) yang merupakan platform yang baik, yang mau tidak mau memaksa pejabat di pemerintah daerah untuk betul-betul mengikuti prosedur.
Jika tidak, lanjut dia, keterlambatan akan dianggap menyetujui aplikasi yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan permohonan perizinan.
“Akibat kelemahan dua hal, yaitu mentalitas dan perangkat hukum, hal ini masih terus terjadi. Saya pernah mendengar salah satu pejabat pemerintah sendiri mengatakan pengembang serba salah, di satu sisi jika tidak mendekati pejabat, izinnya dipersulit atau tertunda atau diurus setengah hati, tapi di sisi lain, jika pihak pengembang terus mendekati, maka ada risiko ditangkap karena melakukan kolusi,” tuturnya.
Menurut dia, proyek properti itu menyangkut banyak kepentingan. Dari segi konstruksi (kontraktor dan suplier), dari segi pemasaran dan penjualan agen pemasaran dan penjualan oleh tim pengembang sendiri, dari segi perizinan retribusi kepada pemerintah daerah, dari segi transaksi jual beli apartemen pajak-pajak yang dibayarkan, seperti pajak penghasilan dan BPHTB, juga perolehan properti baru oleh konsumen atau pembeli, belum lagi penciptaan lapangan kerja jika proyek properti tersebut telah beroperasi satpam, cleaning service, gardening, dan lainnya.
“Pemerintah tidak boleh mendiamkan atau malah semakin menunda perizinan yang ada karena keberadaan masalah hukum. Koreksi internal perlu dilakukan, tapi jangan terlalu lama. Proyek properti menyangkut banyak kepentingan dan sangat bermanfaat bagi daerah itu sendiri. Proyek properti menciptakan multiplier effect. Kasus hukum yang berjalan jangan sampai menghambat proses perizinan yang ada,” tuturnya.
(dam)