Indonesia Butuh Eksekutor Jika Ingin Maju

Rabu, 07 November 2018 - 13:12 WIB
Indonesia Butuh Eksekutor Jika Ingin Maju
Indonesia Butuh Eksekutor Jika Ingin Maju
A A A
DEPOK - Indonesia memerlukan eksekutor yang berani sehingga nanti bisa menjadi negara maju dan tidak hanya melulu menjadi negara berkembang.

Saat ini di Indonesia cukup banyak pemikir. Sayangnya, tidak banyak orang yang berani menjadi eksekutor. “Indonesia perlu eksekutor. Eksekutor ini sebetulnya sangat dirindukan karena biasanya eksekutor itu adalah bia sanya orang yang mau babak-belur dan berani mengambil risiko,” tandas Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Rhenald Kasali dalam acara bedah buku Di Balik Reformasi 1998 karya Laksamana Sukardi di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Depok, kemarin.

Menurut Rhenald, seorang eksekutor itu akan banyak mendapat komentar dan kritik dari banyak kalangan.

“Eksekutor akan banyak dikata-katain. Tapi, yang namanya eksekutor, dia akan melangkah 10 kali le bih cepat dari yang berkomen tar. Namun, yang berkomentar tidak berjalan. Makanya, musuhnya banyak karena dia su dah melangkah 10 langkah,” ucapnya.

Potensi yang dimiliki Indonesia, lanjutnya, sangat banyak, tetapi masalah juga banyak. Jadi, jika Indonesia tidak punya eksekutor, maka hanya akan menjadi negara wacana. “Kita pernah punya banyak kesem pat an yang hilang. Misalnya pada 1970-an, kita hanya membangun Stadion Utama Senayan. Ketika kita punya kayu di hutan, kita hanya tebang-tebang. Dan, kita gunakan itu hanya untuk political stability,” ungkapnya.

Dia mengingatkan bahwa seorang yang mau bergerak pasti akan mendapat kritik. Namun, Rhenald memberi semangat bahwa itu merupakan sebuah risiko. “Kalau orang bergerak, pasti akan dikata-katain, tapi jangan khawatir itulah risiko orang bergerak pasti ada baret-baretnya,” paparnya.Untuk membangun bangsa, menurut dia, maka harus dilakukan refleksi dan perbaikan cara berpikir yang ketinggalan zaman. Dia juga meng ingatkan bahwa semua bangsa besar pasti telah melakukan pengorbanan. “Pelaksana (eksekutor) itu memang berisiko. Kalau mau membangun bangsa ke depan, maka harus merefleksi dan memperbaiki cara berpikir. Semua bangsa besar pasti melakukan pengorbanan,” tandasnya.
Penulis buku Di Balik Reformasi 1998 Laksamana Sukardi mengatakan, alasan membuat buku ini sangat sederhana. Menurut dia, selama ini belum ada buku yang komprehensif mengulas mengenai latar belakang penyebab gerakan reformasi. Padahal, ini adalah sebuah momentum revolusi sangat penting bagi Indonesia.

“Saya kira berangkat dari kepentingan memberikan bahan-bahan pada generasi muda. Maka, saya tulis buku ini dari pengalaman saya, dari perspektif saya pribadi. Apa yang terjadi saya lihat dan rasakan. Itu saya tuliskan dalam bahasa rakyat yang mudah dimengerti,” katanya.

Mantan menteri negara badan usaha milik negara (BUMN) itu mengatakan, dalam buku tersebut diulas pula mengenai penjualan Indosat saat itu. Alasannya, menurut dia, tak lain karena untuk membayar utang negara pada dunia, yaitu IMF.

“Saya sebagai pelaku dari program negara ternyata saat itu kita telah berhasil membayar utang pada IMF. Dan, IMF kita silakan pergi. Itu suatu prestasi dan dinikmati presiden selanjutnya,” tandasnya.

Keputusan dirinya berkarier di politik kala itu karena dia melihat bahwa perbankan akan ambruk. Sebelum men jabat me neg BUMN era Kabinet Gotong-Royong, dia adalah satu di antara ekonom dan bankir milik Bank Lippo dan Lippo Group. Kemudian masuk dalam Kabinet Gotong-Royong dan meninggalkan kariernya di perbankan.

“Kalau saya tetap di perbankan, kan juga ambruk seperti ada dalam buku bagian I soal Pertanyaan Menerawang Jaman, perbankan pasti ambruk. Makanya, saya keluar dan harus memperbaiki. Kalau enggak, saya jadi bagian dari yang merusak, gitu loh ,” ujarnya. (R Ratna Purnama)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8125 seconds (0.1#10.140)
pixels