Rohis sebagai Generasi Literat-Moderat
A
A
A
Rohmat Mulyana Sapdi
Direktur Pendidikan Agama Islam, Ditjen Pendis Kemenag RI
SEBAGAIMANA kita pahami, dunia berkembang sangat pesat. Berbagai aspek kehidupan antara lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mengalami lompatan jauh lebih dahsyat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, perkembangan iptek acap kali tidak selalu linier dengan perkembangan mental anak bangsa sebagaimana dikehendaki dalam tujuan pendidikan nasional.
Lahirnya iptek di tengah kehidupan manusia ibarat pisau bermata dua. Bagi siapa yang mampu memanfaatkan iptek secara positif, ia akan memperoleh manfaat. Sementara bagi mereka yang terjerumus pada efek negatif yang menyertainya, niscaya akan merugi lantaran tertimpa mudarat. Untuk itu, sejatinya dibutuhkan generasi milenial yang cerdas, berjiwa literat, dan moderat.
Pada konteks masyarakat Indonesia, iptek seharusnya diimbangi oleh kepemilikan rasa keberagamaan yang kuat. Sebagai negara menempatkan nilai-nilai agama sebagai perekat sosial, bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan bangsa yang religius Sikap religius tersebut tumbuh dalam konstelasi budaya bangsa yang heterogen sehingga membutuhkan sikap toleran sebagai wujud pengakuan atas keragaman yang ada. Oleh sebab itu, sikap lain dibutuhkan generasi milenial adalah sikap moderat dalam memahami perbedaan ajaran agama.
Sikap tersebut diharapkan mampu membentengi munculnya paham radikalisme yang dewasa ini menyasar dunia pendidikan. Pemahaman Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, karenanya, menjadi aspek penting dalam pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dan juga dalam kegiatan Rohis agar para pelajar tidak terpapar paham-paham radikal.
Generasi Literat
Beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memperoleh bonus demografi. Sebagaimana dilansir Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada 2020 jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mencapai 180 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk usia nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun) menurun drastis, yakni hanya 60 juta. Surplus usia produktif mencapai 70% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia mengisyaratkan pentingnya penyiapan generasi muda yang produktif dan peka terhadap informasi agar mereka mampu bertahan menghadapi perubahan zaman.
Menurut Goldman Sachs, angkatan kerja ke depan akan didominasi generasi muda milenial yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat bergantung pada media sosial (medsos). Mereka memperbincangkan mulai persoalan remeh-temeh, seperti mencari tempat makan, menyapa teman, membeli pakaian, hingga hal aneh-aneh seperti sikap mereka yang larut dalam "perang tagar" atau mengomentari berita hoaks yang kian mewabah di dunia maya.
Keadaan ini sesungguhnya juga menggambarkan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, satu hal perlu disiapkan adalah lahirnya generasi yang literat. Generasi literat adalah generasi yang mampu memilih dan memilah informasi serta selalu mengedepankan akal sehat demi kemaslahatan bangsa. Generasi literat tak hanya pandai mengakses informasi, tapi juga mampu mencipta literasi yang meneduhkan situasi di era milenial ini.
Generasi literat juga kritis terhadap informasi yang diterima. Mereka pandai melakukan check & recheck terhadap berita yang meragukan dan bahkan bohong (hoaks). Alhasil, kemampuan literasi yang mereka miliki akan menjadi kekuatan dalam menimbang kebenaran informasi sehingga tidak lekas terbawa pengaruh yang merugikan diri mereka.
Dari perspektif kepribadian, generasi muda literat akan senantiasa menampilkan diri sebagai sosok manusia produktif. Ia rajin mencari informasi untuk penguatan karakter diri melalui berbagai media informasi. Informasi yang mereka peroleh menjadi gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter dirinya sehingga bisa tampil sebagai orang yang lebih matang, bijak, dan mandiri, dibandingkan manusia seusianya.
Pendek kata, generasi milenial literat adalah manusia yang senantiasa haus informasi, memilik sikap selektif terhadap informasi yang diterima, dan mampu memproduksi kemampuan literasi dalam bentuk karya-karyanya, yang membawa kemaslahatan bagi umat. Generasi inilah sejatinya diharapkan lahir dari komunitas Rohis.
Sikap Moderat
Sikap moderat merupakan sisi lain dari kecerdasan afektual yang perlu dikembangkan kepada generasi milenial, termasuk di dalamnya para aktivis Rohis. Hal ini relevan dengan kecenderungan pemahaman keagamaan pada siswa sekolah yang berdasarkan pada sejumlah hasil riset. Sebagai misal, hasil penelitian Wahid Foundation(WF) tahun 2016 terhadap para pengurus Rohis menemukan adanya indikasi radikalisme tengah menyasar para aktivis tersebut.
Demikian pula survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang intolerasi dan radikalisme di Indonesia pada 2018. Survei tersebut menunjukkan 30,6% dari 1.800 responden menyatakan pemeluk agama lain selain dirinya dianggap sesat. Hasil penelitian ini setidaknya memberi informasi bahwa kelompok terpelajar dan masyarakat pada umumnya sudah banyak terpapar paham radikal.
Pengembangan sikap moderat, oleh karenanya, menjadi sangat penting. Sikap moderat dimaksud adalah sikap selalu menghindarkan perilaku dan pengungkapan yang ekstrem. Sikap moderat cenderung mengambil jalan tengah (tawassuth ) dalam merespons persoalan sosial keagamaan. Salah satu ciri sikap moderat adalah penghargaan terhadap perbedaan yang berwujud sikap toleran terhadap paham dan keyakinan yang dimiliki orang lain.
Terkait dengan pengembangan sikap moderat pada siswa sekolah, Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendis Kemenag menyelenggarakan sejumlah program antara lain moderasi agama, pendidikan multikultural, dan pendidikan budaya damai, pembenahan organisasi Rohis, dan perkemahan Rohis. Khusus kegiatan perkemahan sudah sampai kali ketiga yang akan dilaksanakan pada 5-10 November 2018 di "Bumi Laskar Pelangi", Bangka Belitung.
Kegiatan yang mengangkat tema "Membentuk Generasi Islam Milenial yang Literat dan Moderat" ini akan diikuti lebih dari 2.000 siswa dan siswi aktivis Rohis SMA dan SMK dari seluruh penjuru Nusantara. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan para aktivis Rohis yang notabene sebagai generasi milenial mampu menginternalisasikan nilai-nilai unggul yang bisa mengokohkan jati dirinya dan memperkuat tegaknya NKRI.
Oleh sebab itu, kegiatan Rohis diharapkan menjadi ajang pembentukan teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam hal menyeimbangkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Aktivis Rohis SMA dan SMK selain harus memiliki integritas pribadi yang kokohnya dalam wujud akhlak al-karimah, juga harus memiliki prestasi akademik mumpuni. Merekalah sesungguhnya yang ditunggu menjadi generasi literat dan moderat pada masa kini dan mendatang.
Direktur Pendidikan Agama Islam, Ditjen Pendis Kemenag RI
SEBAGAIMANA kita pahami, dunia berkembang sangat pesat. Berbagai aspek kehidupan antara lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mengalami lompatan jauh lebih dahsyat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, perkembangan iptek acap kali tidak selalu linier dengan perkembangan mental anak bangsa sebagaimana dikehendaki dalam tujuan pendidikan nasional.
Lahirnya iptek di tengah kehidupan manusia ibarat pisau bermata dua. Bagi siapa yang mampu memanfaatkan iptek secara positif, ia akan memperoleh manfaat. Sementara bagi mereka yang terjerumus pada efek negatif yang menyertainya, niscaya akan merugi lantaran tertimpa mudarat. Untuk itu, sejatinya dibutuhkan generasi milenial yang cerdas, berjiwa literat, dan moderat.
Pada konteks masyarakat Indonesia, iptek seharusnya diimbangi oleh kepemilikan rasa keberagamaan yang kuat. Sebagai negara menempatkan nilai-nilai agama sebagai perekat sosial, bangsa Indonesia sesungguhnya merupakan bangsa yang religius Sikap religius tersebut tumbuh dalam konstelasi budaya bangsa yang heterogen sehingga membutuhkan sikap toleran sebagai wujud pengakuan atas keragaman yang ada. Oleh sebab itu, sikap lain dibutuhkan generasi milenial adalah sikap moderat dalam memahami perbedaan ajaran agama.
Sikap tersebut diharapkan mampu membentengi munculnya paham radikalisme yang dewasa ini menyasar dunia pendidikan. Pemahaman Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, karenanya, menjadi aspek penting dalam pengembangan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dan juga dalam kegiatan Rohis agar para pelajar tidak terpapar paham-paham radikal.
Generasi Literat
Beberapa tahun ke depan, Indonesia akan memperoleh bonus demografi. Sebagaimana dilansir Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada 2020 jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mencapai 180 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk usia nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun) menurun drastis, yakni hanya 60 juta. Surplus usia produktif mencapai 70% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia mengisyaratkan pentingnya penyiapan generasi muda yang produktif dan peka terhadap informasi agar mereka mampu bertahan menghadapi perubahan zaman.
Menurut Goldman Sachs, angkatan kerja ke depan akan didominasi generasi muda milenial yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat bergantung pada media sosial (medsos). Mereka memperbincangkan mulai persoalan remeh-temeh, seperti mencari tempat makan, menyapa teman, membeli pakaian, hingga hal aneh-aneh seperti sikap mereka yang larut dalam "perang tagar" atau mengomentari berita hoaks yang kian mewabah di dunia maya.
Keadaan ini sesungguhnya juga menggambarkan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, satu hal perlu disiapkan adalah lahirnya generasi yang literat. Generasi literat adalah generasi yang mampu memilih dan memilah informasi serta selalu mengedepankan akal sehat demi kemaslahatan bangsa. Generasi literat tak hanya pandai mengakses informasi, tapi juga mampu mencipta literasi yang meneduhkan situasi di era milenial ini.
Generasi literat juga kritis terhadap informasi yang diterima. Mereka pandai melakukan check & recheck terhadap berita yang meragukan dan bahkan bohong (hoaks). Alhasil, kemampuan literasi yang mereka miliki akan menjadi kekuatan dalam menimbang kebenaran informasi sehingga tidak lekas terbawa pengaruh yang merugikan diri mereka.
Dari perspektif kepribadian, generasi muda literat akan senantiasa menampilkan diri sebagai sosok manusia produktif. Ia rajin mencari informasi untuk penguatan karakter diri melalui berbagai media informasi. Informasi yang mereka peroleh menjadi gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter dirinya sehingga bisa tampil sebagai orang yang lebih matang, bijak, dan mandiri, dibandingkan manusia seusianya.
Pendek kata, generasi milenial literat adalah manusia yang senantiasa haus informasi, memilik sikap selektif terhadap informasi yang diterima, dan mampu memproduksi kemampuan literasi dalam bentuk karya-karyanya, yang membawa kemaslahatan bagi umat. Generasi inilah sejatinya diharapkan lahir dari komunitas Rohis.
Sikap Moderat
Sikap moderat merupakan sisi lain dari kecerdasan afektual yang perlu dikembangkan kepada generasi milenial, termasuk di dalamnya para aktivis Rohis. Hal ini relevan dengan kecenderungan pemahaman keagamaan pada siswa sekolah yang berdasarkan pada sejumlah hasil riset. Sebagai misal, hasil penelitian Wahid Foundation(WF) tahun 2016 terhadap para pengurus Rohis menemukan adanya indikasi radikalisme tengah menyasar para aktivis tersebut.
Demikian pula survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang intolerasi dan radikalisme di Indonesia pada 2018. Survei tersebut menunjukkan 30,6% dari 1.800 responden menyatakan pemeluk agama lain selain dirinya dianggap sesat. Hasil penelitian ini setidaknya memberi informasi bahwa kelompok terpelajar dan masyarakat pada umumnya sudah banyak terpapar paham radikal.
Pengembangan sikap moderat, oleh karenanya, menjadi sangat penting. Sikap moderat dimaksud adalah sikap selalu menghindarkan perilaku dan pengungkapan yang ekstrem. Sikap moderat cenderung mengambil jalan tengah (tawassuth ) dalam merespons persoalan sosial keagamaan. Salah satu ciri sikap moderat adalah penghargaan terhadap perbedaan yang berwujud sikap toleran terhadap paham dan keyakinan yang dimiliki orang lain.
Terkait dengan pengembangan sikap moderat pada siswa sekolah, Direktorat Pendidikan Agama Islam Ditjen Pendis Kemenag menyelenggarakan sejumlah program antara lain moderasi agama, pendidikan multikultural, dan pendidikan budaya damai, pembenahan organisasi Rohis, dan perkemahan Rohis. Khusus kegiatan perkemahan sudah sampai kali ketiga yang akan dilaksanakan pada 5-10 November 2018 di "Bumi Laskar Pelangi", Bangka Belitung.
Kegiatan yang mengangkat tema "Membentuk Generasi Islam Milenial yang Literat dan Moderat" ini akan diikuti lebih dari 2.000 siswa dan siswi aktivis Rohis SMA dan SMK dari seluruh penjuru Nusantara. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan para aktivis Rohis yang notabene sebagai generasi milenial mampu menginternalisasikan nilai-nilai unggul yang bisa mengokohkan jati dirinya dan memperkuat tegaknya NKRI.
Oleh sebab itu, kegiatan Rohis diharapkan menjadi ajang pembentukan teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam hal menyeimbangkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Aktivis Rohis SMA dan SMK selain harus memiliki integritas pribadi yang kokohnya dalam wujud akhlak al-karimah, juga harus memiliki prestasi akademik mumpuni. Merekalah sesungguhnya yang ditunggu menjadi generasi literat dan moderat pada masa kini dan mendatang.
(wib)