Demo Berjilid-jilid Dicurigai Memiliki Kepentingan Politik
A
A
A
JAKARTA - Gerakan aksi 212 dan aksi bela tauhid hingga #2019GantiPresiden dicurigai memiliki kepentingan politik. Gerakan ini memiliki pola yang sama dan dilakukan oleh pihak yang sama sehingga patut dicurigai memiliki kepentingan politik.
Sekretaris Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Nasyirul Falah Amru mengatakan, sejumlah demo berjilid-jilid itu dinilai tidak mengusung etika politik yang baik. Alasannya mereka menggunakan agama sebagai kedok untuk meraih kekuasaan.
"Jadi agama menjadi landasan moral, etika, dan tuntunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur. Bukan sebaliknya menjadi alat kekuasaan politik," katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (5/11/2018).
Ia mengaku miris melihat organisasi masyarakat yang sudah dibubarkan pemerintah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih bebas beraktivitas. Hizbut Tahrir juga sudah menjadi ormas terlarang di banyak negara lain, termasuk di Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki karena dinilai menyebarkan paham radikal.
"Ini jadi rentan disusupi, ditunggangi. Kita enggak mau Indonesia kacau kayak Suriah, itu pengalaman buruk. Saya sungguh sedih, peringatan Hari Santri disusupi aksi provokasi yang menciptakan ketegangan di masyarakat," ujarnya.
Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung Muradi mengatakan, sulit untuk menafikan adanya unsur Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ataupun simpatisan terorisme dalam gerakan #2019GantiPresiden. Menurutnya, ada sejumlah indikasi yang tampak jelas soal penumpang gelap gerakan #2019GantiPresiden yang ingin menciptakan konflik demi menjadikan Indonesia seperti Suriah.
Menurut Muradi, indikasi pertama adanya penumpang gelap pengancam NKRI dalam gerakan #2019GantiPresiden adalah keberadaan politikus dari partai yang sudah resmi mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), namun tak mau diasosiasikan dengan duet tersebut. “Hal ini mengindikasikan ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden,” ujarnya,
Indikasi kedua adalah deklarasi #2019GantiPresiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya umat agama tertentu. Bahkan, lanjut Muradi, rumah ibadah pun dijadikan tempat kampanye #2019GantiPresiden.
Muradi menambahkan, pegiat gerakan #2019GantiPresiden terus menuding pemerintah antiagama tertentu. Bahkan Presiden Joko Widodo sebagai capres petahana yang menggandeng ulama sebagai cawapres pun tetap dituding anti-Islam.
“Karena esensi gerakan #2019GantiPresiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini. Ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini,” ulasnya.
Sekretaris Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Nasyirul Falah Amru mengatakan, sejumlah demo berjilid-jilid itu dinilai tidak mengusung etika politik yang baik. Alasannya mereka menggunakan agama sebagai kedok untuk meraih kekuasaan.
"Jadi agama menjadi landasan moral, etika, dan tuntunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur. Bukan sebaliknya menjadi alat kekuasaan politik," katanya dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (5/11/2018).
Ia mengaku miris melihat organisasi masyarakat yang sudah dibubarkan pemerintah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih bebas beraktivitas. Hizbut Tahrir juga sudah menjadi ormas terlarang di banyak negara lain, termasuk di Mesir, Yordania, Arab Saudi, Suriah, Libya, Turki karena dinilai menyebarkan paham radikal.
"Ini jadi rentan disusupi, ditunggangi. Kita enggak mau Indonesia kacau kayak Suriah, itu pengalaman buruk. Saya sungguh sedih, peringatan Hari Santri disusupi aksi provokasi yang menciptakan ketegangan di masyarakat," ujarnya.
Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung Muradi mengatakan, sulit untuk menafikan adanya unsur Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ataupun simpatisan terorisme dalam gerakan #2019GantiPresiden. Menurutnya, ada sejumlah indikasi yang tampak jelas soal penumpang gelap gerakan #2019GantiPresiden yang ingin menciptakan konflik demi menjadikan Indonesia seperti Suriah.
Menurut Muradi, indikasi pertama adanya penumpang gelap pengancam NKRI dalam gerakan #2019GantiPresiden adalah keberadaan politikus dari partai yang sudah resmi mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), namun tak mau diasosiasikan dengan duet tersebut. “Hal ini mengindikasikan ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden,” ujarnya,
Indikasi kedua adalah deklarasi #2019GantiPresiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya umat agama tertentu. Bahkan, lanjut Muradi, rumah ibadah pun dijadikan tempat kampanye #2019GantiPresiden.
Muradi menambahkan, pegiat gerakan #2019GantiPresiden terus menuding pemerintah antiagama tertentu. Bahkan Presiden Joko Widodo sebagai capres petahana yang menggandeng ulama sebagai cawapres pun tetap dituding anti-Islam.
“Karena esensi gerakan #2019GantiPresiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini. Ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini,” ulasnya.
(poe)