Kasus Pembakaran Bendera HTI, MPR Minta Semua Pihak Menahan Diri

Minggu, 28 Oktober 2018 - 11:13 WIB
Kasus Pembakaran Bendera HTI, MPR Minta Semua Pihak Menahan Diri
Kasus Pembakaran Bendera HTI, MPR Minta Semua Pihak Menahan Diri
A A A
BERAU - Kasus pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di sela apel Hari Santri Nasional (HSN) di Garut, Jawa Barat, belum lama ini menimbulkan polemik di masyarakat. Bahkan sempat ada aksi turun ke jalan yang dilakukan pihak-pihak yang tidak terima dengan kejadian tersebut.

Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin menuturkan kasus tersebut sebaiknya diselesaikan lewat jalur hukum bila ada pihak yang keberatan dengan adanya pembakaran bendera tersebut. "Indonesia itu negara hukum, jadi segala sesuatunya harus diselesaikan secara hukum. Termasuk pembakaran bendera ini, apakah itu dalam kategori pelanggaran hukum atau tidak. Kalau ada yang keberatan bisa melapor dan diproses secara hukum," ujar Mahyudin di sela Sosialisasi Empat Pilar MPR di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, sabtu (27/10/2018).

Selain itu, Mahyudin juga menyerukan semua pihak yang terkait dengan masalah ini untuk menahan diri terutama umat beragama agar tidak terprovokasi dengan kejadian ini. "Jadi semuanya sebaiknya mengurangi komentar-komentar yang bisa memanas-manasi daripada kejadian ini, tapi lebih diserahkan kepada penegak hukum. Biar polisi yang menyelidiki apa yang terjadi. Siapa yang melanggar hukum tentu harus diproses secara hukum," tuturnya.

Pihaknya juga berharap masyarakat Indonesia lebih cerdas dengan tidak menggunakan isu-isu yang terkait suku, agama, dan ras (SARA) dalam politik. "Kita sudah sepakat bahwa SARA itu tidak boleh dikedepankan di dalam kehidupan berpolitik, juga berbangsa, dan bernegara. Memang Indonesia dengan keberagaman suku, agama, golongan, itu menjadi lahan yang bisa dipakai orang untuk perpecahan, adu domba. Tapi justru kita-kita harus waspada untuk tidak menggunakan SARA ini di dalam kepentingan politik nasional," urainya.

Mahyudin mensinyalir bahwa kasus ini memang ditunggangi kepentingan politik tertentu. Sebab, Indonesia sudah sepakat bahwa NKRI harga mati dan hanya ada satu bendera yakni Merah Putih. "Kita juga sepakat dasar negara kita Pancasila. Ketika ada yang ingin mengibarkan selain bendera kebangsaan, saya kira itu sudah ada muatan politiknya. Tetapi kita tidak bisa menuduh ke sana, biarkan ini diproses secara hukum," paparnya.

Terkait adanya anggapan bahwa pembakaran bendera itu sebagai penistaan kalimat tauhid, Mahyudin mengatakan masalah itu menjadi domain Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, dirinya tak melihat ada unsur penistaan agama dalam kejadian ini.

"Kalau penistaan agama itu biasanya dilakukan, misalnya oleh orang agama lain kepada agama lain. Kalau ini kan sama-sama orang Islam. Saya kira tidak mungkin orang Islam mau menistaskan agamanya sendiri. Itu kalau menurut paham saya," katanya.

Karena itu, pertemuan antar tokoh agama seperti yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla, kata Mahyudin, menjadi langkah yang patut diapresiasi agar kasus ini tidak liar kemana-mana. Mungkin banyak yang tidak memahami, tapi merasa memahami sehingga terpaksa harus berbicara.

"Lebih bagus memang dikembalikan pertama ke jalur hukum. Kedua paling bagus dilkembalikan kepada pemerintah untuk dilakukan dialog lintas agama, kalau itu berkaitan dengan agama. Dialog lintas tokoh-tokoh agama untuk mencarikan presepsi yang sama dalam menyelesaikan masalah ini sebagai masukan," tutup Politikus Partai Golkar yang maju sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur ini.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5013 seconds (0.1#10.140)