BNPB dan BPJS Harus Fokus Pelayanan Kesehatan Warga
A
A
A
PULAU LOMBOK - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melakukan kunjungan monitoring dan evaluasi (Monev) pelaksanaan sistem jaminan sosial di daerah yang terdampak bencana gempa bumi di Pulau Lombok, 17-19 Oktober 2018. Dalam kunjungan monev tersebut, DJSN menemukan adanya hambatan birokrasi dan administrasi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi warga Lombok peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) korban gempa.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara Khaerul Anwar mengungkapkan, keluarnya regulasi dari BPJS terkait penanganan korban gempa pasca tanggap darurat membuat Pemerintah Kabupaten Lombok Utara bingung soal siapa yang menanggung biaya pengobatan warga.
“Kami bingung, bahwa pasien-pasien korban gempa pasca tanggap darurat ini siapa yang menjamin. Sebab bila mengacu pada surat per 10 Oktober disebutkan bahwa BPJS Kesehatan tidak bisa menjamin,” ungkap Khaerul.
Akibatnya, selama masa tersebut tidak ada yang menjamin pasien korban gempa yang datang berobat ke pusat kesehatan, baik puskesmas maupun rumah sakit.
Namun, khusus untuk di wilayah Kabupaten Lombok Utara, kata Khaerul, Pemkab akan tetap melayani pasien gempa di RSUD Lombok Utara. Namun mereka tidak bisa dirujuk ke RS di Kota Mataram karena tidak bisa lagi melayani pasien gempa pasca tanggap darurat. “Mudah-mudahan DJSN bisa menjembatani masalah ini” ujar Khaerul.
Menanggapi hal tersebut, Anggota DJSN dari unsur ahli, Ahmad Anshori mengatakan, DJSN bersyukur meski NTB terkena gempa namun Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara umum umum tetap berjalan, hal ini bisa dilihat dari layanan jaminan kesehatan bisa diberikan meski dalam keadaan darurat.
DJSN juga menemukan ada peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengalami musibah kecelakaan meninggal dunia karena bencana gempa seluruhnya sudah ditangani dan mendapat haknya dengan baik.
Namun khusus soal jaminan kesehatan, DJSN melihat ada hal serius yang harus ditangani sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat. Yaitu kepastian pendanaan layanan kesehatan dalam kondisi darurat, yang menurut Peraturan Presiden (Perpres) No 19 tahun 2016 disebutkan bahwa layanan kesehatan dalam situasi darurat bencana bukan menjadi tanggung jawab JKN. Kemudian menurut PP No 21 disebutkan bahwa layanan kesehatan masuk dalam ruang lingkup tanggungjawab BNPB.
Anshori menilai, Perpres 19 dan Perpres 82 itu sudah benar, dalam hal terjadi musibah bencana alam maka penjaminan layanan kesehatan ditanggung oleh Negara, di luar mekanisme JKN. Lalu PP 21, juga sudah tepat menyebutkan bahwa penjaminan sesuatu sebagai dampak dari bencana itu dilakukan oleh badan tersendiri yaitu BNPB.
Persoalannya adalah, bagaimana agar penjaminannya ini bisa berjalan seketika dan jangan sampai terjadi hambatan birokrasi. Atau dibuatkan jembatan dari kondisi ini, contohnya, kalau memang yang existing pelaksana lapangan dominan adalah JKN maka boleh disebutkan bahwa untuk percepatan pelayanan dilayani oleh JKN dengan pembiayaan dirembuirse ke BNPB.
“Sebab kalau tidak dilakukan terobosan semacam itu maka akan menyebabkan saling mengunci dan dampaknya pelayanan kesehatan tidak bisa terlaksana dan masyarakat yang jadi korban. Masalah ini harus segera diselesaikan, sebab kalau tidak pasti akan menyengsarakan masyarakat,” kata Anshori.
Anggota DJSN dari unsur pekerja Ahmad Subiyanto menyebutkan, DJSN menemukan data bahwa ada sebanyak 300-an warga yang tertimpa musibah gempa yang perlu penanganan tapi ternyata jaminan pembiayaannya belum jelas. Sebab masih dikoordinasikan antara BPJS Kesehatan dengan BPNB.
Subiyanto mengatakan, DJSN juga melihat secara riil bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan banyak yang rusak dan ini juga perlu didorong percepatan pembangunannya.
“Dalam situasi seperti ini, harus mengedepankan 3 asas dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional. Yakni, asas kemanusiaan, asas keadilan dan asas kemanfaatan,” kata Subiyanto.
Sementara itu, Anggota DJSN dari unsur Ahli dr Zaenal Abidin mengatakan, hal yang membuat DJSN merasa bersyukur karena layanan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKPT) di Puskesmas Tanjung, Lombok Timur, sudah bisa berjalan, meskipun darurat. Hal terpenting masyarakat sudah bisa dilayani. Artinya tenaga kesehatan siap untuk melayani, bahkan puskesmas pembantu (Pustu) juga melayani meski di tenda-tenda darurat, perawat dan dokternya juga sudah berfungsi semuanya.
Suasana di puskesmas tidak seramai ketika sebelum bencana gempa, karena saatini masyarakat masih fokus untuk mengurus urusannya di rumah misalnya membereskan rumahnya yang rusak. Jadi warga masih bisa menahan-nahan sedikit kalau sakit ringan, terkecuali sakit berat baru datang ke puskesmas.
DJSN berharap agar kendala yang terjadi di Lombok agar tidak terjadi lagi di daerah lain bila terjadi bencana alam. Untuk itu DJSN akan mengundang BNPB, BJPS Kesehatan, Ketenagakerjaan. Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan untuk membahas masalah kelancaraan sistem jaminan pelayanan di daerah bencana. Sebab kondisi seperti yang dialami Lombok, sangat mungkin terjadi juga di daerah lain di mana pun juga, dan ini tidak boleh terjadi.
Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Nusa Tenggara Barat, Sony Suharsono, mengatakan, meskipun di wilayah kerjanya terjadi gempa, namun pasca gempa, BPJS Ketenagakerjaan tetap memberikan pelayanan maksimal kepada peserta. Untuk sementara pelayanan dilakukan di tenda yang didirikan di parkiran area gedung kantor BPJS.
“Bahkan pada hari pelanggan nasional, kami melayani peserta yang datang dengan memberikan pelayanan istimewa seperti menghibur dengan sajian tarian daerah, dan menggelar trauma healing ke warga, yang semuanya dimaksudkan untuk membangkitkan semangat warga Lombok,” kata Sony.
Kepala Kantor BPJS Kesehatan Mataram M Ali juga mengatakan hal senada. Hingga saat pelayanan bagi peserta dilakukan di area parkir di belakang gedung yang biasa digunakan untuk parkir.
Sedangkan Kepala Kantor Cabang PT Taspen Mataram, Marsudi, mengatakan, pelayanan Taspen relatif tidak begitu terdampak akibat gempa yang terjadi di Lombok. Sebab semua data kepesertaan sudah direkap dengan baik. Jadi pelayanan bagi peserta Taspen berjalan lancar seperti biasa.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara Khaerul Anwar mengungkapkan, keluarnya regulasi dari BPJS terkait penanganan korban gempa pasca tanggap darurat membuat Pemerintah Kabupaten Lombok Utara bingung soal siapa yang menanggung biaya pengobatan warga.
“Kami bingung, bahwa pasien-pasien korban gempa pasca tanggap darurat ini siapa yang menjamin. Sebab bila mengacu pada surat per 10 Oktober disebutkan bahwa BPJS Kesehatan tidak bisa menjamin,” ungkap Khaerul.
Akibatnya, selama masa tersebut tidak ada yang menjamin pasien korban gempa yang datang berobat ke pusat kesehatan, baik puskesmas maupun rumah sakit.
Namun, khusus untuk di wilayah Kabupaten Lombok Utara, kata Khaerul, Pemkab akan tetap melayani pasien gempa di RSUD Lombok Utara. Namun mereka tidak bisa dirujuk ke RS di Kota Mataram karena tidak bisa lagi melayani pasien gempa pasca tanggap darurat. “Mudah-mudahan DJSN bisa menjembatani masalah ini” ujar Khaerul.
Menanggapi hal tersebut, Anggota DJSN dari unsur ahli, Ahmad Anshori mengatakan, DJSN bersyukur meski NTB terkena gempa namun Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara umum umum tetap berjalan, hal ini bisa dilihat dari layanan jaminan kesehatan bisa diberikan meski dalam keadaan darurat.
DJSN juga menemukan ada peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengalami musibah kecelakaan meninggal dunia karena bencana gempa seluruhnya sudah ditangani dan mendapat haknya dengan baik.
Namun khusus soal jaminan kesehatan, DJSN melihat ada hal serius yang harus ditangani sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat. Yaitu kepastian pendanaan layanan kesehatan dalam kondisi darurat, yang menurut Peraturan Presiden (Perpres) No 19 tahun 2016 disebutkan bahwa layanan kesehatan dalam situasi darurat bencana bukan menjadi tanggung jawab JKN. Kemudian menurut PP No 21 disebutkan bahwa layanan kesehatan masuk dalam ruang lingkup tanggungjawab BNPB.
Anshori menilai, Perpres 19 dan Perpres 82 itu sudah benar, dalam hal terjadi musibah bencana alam maka penjaminan layanan kesehatan ditanggung oleh Negara, di luar mekanisme JKN. Lalu PP 21, juga sudah tepat menyebutkan bahwa penjaminan sesuatu sebagai dampak dari bencana itu dilakukan oleh badan tersendiri yaitu BNPB.
Persoalannya adalah, bagaimana agar penjaminannya ini bisa berjalan seketika dan jangan sampai terjadi hambatan birokrasi. Atau dibuatkan jembatan dari kondisi ini, contohnya, kalau memang yang existing pelaksana lapangan dominan adalah JKN maka boleh disebutkan bahwa untuk percepatan pelayanan dilayani oleh JKN dengan pembiayaan dirembuirse ke BNPB.
“Sebab kalau tidak dilakukan terobosan semacam itu maka akan menyebabkan saling mengunci dan dampaknya pelayanan kesehatan tidak bisa terlaksana dan masyarakat yang jadi korban. Masalah ini harus segera diselesaikan, sebab kalau tidak pasti akan menyengsarakan masyarakat,” kata Anshori.
Anggota DJSN dari unsur pekerja Ahmad Subiyanto menyebutkan, DJSN menemukan data bahwa ada sebanyak 300-an warga yang tertimpa musibah gempa yang perlu penanganan tapi ternyata jaminan pembiayaannya belum jelas. Sebab masih dikoordinasikan antara BPJS Kesehatan dengan BPNB.
Subiyanto mengatakan, DJSN juga melihat secara riil bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan banyak yang rusak dan ini juga perlu didorong percepatan pembangunannya.
“Dalam situasi seperti ini, harus mengedepankan 3 asas dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional. Yakni, asas kemanusiaan, asas keadilan dan asas kemanfaatan,” kata Subiyanto.
Sementara itu, Anggota DJSN dari unsur Ahli dr Zaenal Abidin mengatakan, hal yang membuat DJSN merasa bersyukur karena layanan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKPT) di Puskesmas Tanjung, Lombok Timur, sudah bisa berjalan, meskipun darurat. Hal terpenting masyarakat sudah bisa dilayani. Artinya tenaga kesehatan siap untuk melayani, bahkan puskesmas pembantu (Pustu) juga melayani meski di tenda-tenda darurat, perawat dan dokternya juga sudah berfungsi semuanya.
Suasana di puskesmas tidak seramai ketika sebelum bencana gempa, karena saatini masyarakat masih fokus untuk mengurus urusannya di rumah misalnya membereskan rumahnya yang rusak. Jadi warga masih bisa menahan-nahan sedikit kalau sakit ringan, terkecuali sakit berat baru datang ke puskesmas.
DJSN berharap agar kendala yang terjadi di Lombok agar tidak terjadi lagi di daerah lain bila terjadi bencana alam. Untuk itu DJSN akan mengundang BNPB, BJPS Kesehatan, Ketenagakerjaan. Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan untuk membahas masalah kelancaraan sistem jaminan pelayanan di daerah bencana. Sebab kondisi seperti yang dialami Lombok, sangat mungkin terjadi juga di daerah lain di mana pun juga, dan ini tidak boleh terjadi.
Kepala Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Nusa Tenggara Barat, Sony Suharsono, mengatakan, meskipun di wilayah kerjanya terjadi gempa, namun pasca gempa, BPJS Ketenagakerjaan tetap memberikan pelayanan maksimal kepada peserta. Untuk sementara pelayanan dilakukan di tenda yang didirikan di parkiran area gedung kantor BPJS.
“Bahkan pada hari pelanggan nasional, kami melayani peserta yang datang dengan memberikan pelayanan istimewa seperti menghibur dengan sajian tarian daerah, dan menggelar trauma healing ke warga, yang semuanya dimaksudkan untuk membangkitkan semangat warga Lombok,” kata Sony.
Kepala Kantor BPJS Kesehatan Mataram M Ali juga mengatakan hal senada. Hingga saat pelayanan bagi peserta dilakukan di area parkir di belakang gedung yang biasa digunakan untuk parkir.
Sedangkan Kepala Kantor Cabang PT Taspen Mataram, Marsudi, mengatakan, pelayanan Taspen relatif tidak begitu terdampak akibat gempa yang terjadi di Lombok. Sebab semua data kepesertaan sudah direkap dengan baik. Jadi pelayanan bagi peserta Taspen berjalan lancar seperti biasa.
(pur)