Adu Gagasan pada Masa Kampanye
A
A
A
MASA kampanye Pemilu 2019 sudah berlangsung selama tiga pekan. Sejak dimulai pada 23 September lalu, dua kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden langsung bergerak mendekati pemilih demi meraup dukungan pada pemilihan presiden yang akan digelar pada 17 April tahun depan.
Namun kritik mulai mengemuka berkaitan dengan model kampanye yang dilakukan dua pasangan calon, yakni nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua kubu dikritik karena sama-sama dinilai belum terlibat adu gagasan.
Mereka belum banyak menonjolkan program-program yang akan dikerjakan ketika terpilih. Pada tiga pekan pertama kampanye yang tampak menonjol justru pertarungan sengit kedua kubu dengan isu-isu yang kontraproduktif dan tidak berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.
Beberapa contoh bisa disebutkan. Misalnya bagaimana sengitnya aksi saling serang kedua kubu atas kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Dalam kasus ini, mulai pendukung calon, tim kampanye hingga elite partai politik pengusung saling serang dengan menunjukkan kelemahan masing-masing.
Kegaduhan pun menghiasi lini masa media sosial dan pemberitaan media massa mainstream. Ketika kubu Prabowo-Sandi dituding sebagai produsen hoaks, mereka membalas kubu lawan dengan menunjukkan hoaks serupa yang diklaim pernah dibuat Jokowi selaku petahana.
Kegaduhan serupa terjadi ketika pemerintah menyampaikan informasi kenaikan harga BBM premium pekan lalu. Meski akhirnya dibatalkan hanya sesaat setelah diumumkan, tak ayal hal itu menjadi alat untuk saling kritik.
Pernyataan-pernyataan keras, bahkan kasar, di media sosial yang terus diproduksi pendukung pasangan calon patut disayangkan karena itu bisa saja memicu tindakan kekerasan fisik di lapangan. Pembatalan dan pembubaran aksi damai kubu Prabowo-Sandi bertajuk #2019Ganti Presiden di sejumlah kota beberapa waktu lalu bisa jadi contoh. Itu menunjukkan bahwa sengitnya persaingan di media sosial bisa memengaruhi panasnya suasana.
Untuk itu diperlukan kearifan, terutama oleh tim kampanye dan elite parpol pengusung, untuk meredam sikap saling menjatuhkan dan mengubahnya dengan menjadikan masa kampanye ini sebagai kesempatan untuk beradu gagasan. Kedua pasangan masing-masing memiliki visi misi dan program. Jika kampanye diisi dengan pemaparan visi misi serta program, hal itu lebih menguntungkan rakyat karena pilihan dijatuhkan tidak semata karena faktor kesukaan atau fanatisme kepada figur calon.
Banyak gagasan yang bisa disampaikan kepada pemilih. Misalnya pada kubu Jokowi, mereka punya modal mengenai capaian-capaian pembangunan selama menjalankan pemerintahan dalam empat tahun terakhir, baik itu dalam hal infrastruktur maupun bantuan langsung yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu. Selain itu kubu Jokowi juga bisa menyampaikan gagasan yang akan dilanjutkannya lima tahun ke depan.
Sebaliknya kubu Prabowo-Sand sejauh ini banyak mengkritik kondisi ekonomi, terutama daya beli masyarakat yang menurun, pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang terus berlangsung dan sulitnya lapangan kerja. Bisa saja yang diklaim itu adalah fakta yang terjadi saat ini, tetapi masyarakat juga menanti apa langkah konkret yang akan dilakukan Prabowo-Sandi untuk bisa mengatasi ketiga persoalan ekonomi tersebut jika mereka terpilih.
Masih ada waktu enam bulan masa kampanye. Diharapkan tumbuh kesadaran untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas dan bermartabat. Kampanye tentu boleh diisi dengan kritik, tetapi seyogianya dilakukan dengan menjunjung etika.
Kita mendambakan pemilu mendatang bisa menghasilkan pemimpin nasional yang bisa diterima seluruh kalangan dan mampu membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Itu hanya bisa dicapai jika kampanye pemilu ini dijauhkan dari hoaks, ujaran kebencian, dan sikap primordial.
Namun kritik mulai mengemuka berkaitan dengan model kampanye yang dilakukan dua pasangan calon, yakni nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua kubu dikritik karena sama-sama dinilai belum terlibat adu gagasan.
Mereka belum banyak menonjolkan program-program yang akan dikerjakan ketika terpilih. Pada tiga pekan pertama kampanye yang tampak menonjol justru pertarungan sengit kedua kubu dengan isu-isu yang kontraproduktif dan tidak berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.
Beberapa contoh bisa disebutkan. Misalnya bagaimana sengitnya aksi saling serang kedua kubu atas kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Dalam kasus ini, mulai pendukung calon, tim kampanye hingga elite partai politik pengusung saling serang dengan menunjukkan kelemahan masing-masing.
Kegaduhan pun menghiasi lini masa media sosial dan pemberitaan media massa mainstream. Ketika kubu Prabowo-Sandi dituding sebagai produsen hoaks, mereka membalas kubu lawan dengan menunjukkan hoaks serupa yang diklaim pernah dibuat Jokowi selaku petahana.
Kegaduhan serupa terjadi ketika pemerintah menyampaikan informasi kenaikan harga BBM premium pekan lalu. Meski akhirnya dibatalkan hanya sesaat setelah diumumkan, tak ayal hal itu menjadi alat untuk saling kritik.
Pernyataan-pernyataan keras, bahkan kasar, di media sosial yang terus diproduksi pendukung pasangan calon patut disayangkan karena itu bisa saja memicu tindakan kekerasan fisik di lapangan. Pembatalan dan pembubaran aksi damai kubu Prabowo-Sandi bertajuk #2019Ganti Presiden di sejumlah kota beberapa waktu lalu bisa jadi contoh. Itu menunjukkan bahwa sengitnya persaingan di media sosial bisa memengaruhi panasnya suasana.
Untuk itu diperlukan kearifan, terutama oleh tim kampanye dan elite parpol pengusung, untuk meredam sikap saling menjatuhkan dan mengubahnya dengan menjadikan masa kampanye ini sebagai kesempatan untuk beradu gagasan. Kedua pasangan masing-masing memiliki visi misi dan program. Jika kampanye diisi dengan pemaparan visi misi serta program, hal itu lebih menguntungkan rakyat karena pilihan dijatuhkan tidak semata karena faktor kesukaan atau fanatisme kepada figur calon.
Banyak gagasan yang bisa disampaikan kepada pemilih. Misalnya pada kubu Jokowi, mereka punya modal mengenai capaian-capaian pembangunan selama menjalankan pemerintahan dalam empat tahun terakhir, baik itu dalam hal infrastruktur maupun bantuan langsung yang diberikan kepada masyarakat kurang mampu. Selain itu kubu Jokowi juga bisa menyampaikan gagasan yang akan dilanjutkannya lima tahun ke depan.
Sebaliknya kubu Prabowo-Sand sejauh ini banyak mengkritik kondisi ekonomi, terutama daya beli masyarakat yang menurun, pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang terus berlangsung dan sulitnya lapangan kerja. Bisa saja yang diklaim itu adalah fakta yang terjadi saat ini, tetapi masyarakat juga menanti apa langkah konkret yang akan dilakukan Prabowo-Sandi untuk bisa mengatasi ketiga persoalan ekonomi tersebut jika mereka terpilih.
Masih ada waktu enam bulan masa kampanye. Diharapkan tumbuh kesadaran untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas dan bermartabat. Kampanye tentu boleh diisi dengan kritik, tetapi seyogianya dilakukan dengan menjunjung etika.
Kita mendambakan pemilu mendatang bisa menghasilkan pemimpin nasional yang bisa diterima seluruh kalangan dan mampu membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Itu hanya bisa dicapai jika kampanye pemilu ini dijauhkan dari hoaks, ujaran kebencian, dan sikap primordial.
(thm)