Tangkal Black Campaign, Dosen Yogya Tawarkan Politik Gagasan Big Data
A
A
A
SLEMAN - Maraknya percakapan di media sosial Twitter menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, baik yang positif maupun negatif, menimbulkan keprihatinan para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Percakapan tersebut bukan hanya berpotensi memicu terjadinya kegaduhan di masyarakat, tapi juga membentuk pembodohan.
Sebagai bentuk kepedulian sekaligus edukasi kepada masyarakat, sejumlah dosen di Yogyakarta meluncurkan Drone Emprit Academic (DEA) di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Minggu (14/10/2018). DEA merupakan semacam situs yang memberikan layanan data analisis gratis terhadap suatu isu yang ramai diperbincangkan di Twitter. Melalui layanan ini masyarakat bisa mengetahui apakah isu yang ramai di media sosial merupakan fakta atau berita bohong atau hoax. Masyarakat bisa mengakses layanan ini secara gratis melalui situs dea.uii.ac.id.
Rektor UII Fathur Wahid mengatakan memasuki tahun politik, menjelang pemilu 2019, percakapan di media sosial semakin riuh. Polarisasi warganet pun semakin keras. Bahkan tak jarang merembet ke dunia nyata. Sejak kontestasi dua pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2014 hingga kini masyarakat seakan terbelah menjadi dua kelompok.
"Karena itu kami ingin menyuarakan kebenaran. Kami luncurkan DEA yang mengusung politik gagasan berbasis data raya atau big data," kata Rektor UII Fathul Wahid.
Fathul menjelaskan gagasan membentuk DEA telah dimulai sejak setahun lalu. Bersama beberapa dosen dari perguruan tinggi lain, paling tidak mereka berniat menjadi penengah di tengah riuhnya percakapan di media sosial belakangan ini.
Menurutnya, politik yang digunakan untuk kekepentingan kelompok atau perjuangan identitas tidak akan menjanjikan perbaikan masa depan Indonesia. Kelompok yang menang Pilpres akan terus dimusuhi oleh kelompok yang kalah. Padahal kemenangan seharusnya menjadi kemenangan bagi Indonesia. "Politik gagasan menjadi penting dikedepankan sejak dini," ujarnya.
Melalui politik gagasan yang menyuarakan kebenaran, argumen maupun ide-ide yang berkualitas, DEA yang nantinya beranggotakan dosen, para ahli, mahasiswa, jurnalis, anggota LSM, dan lain-lain, bisa dimanfaatkan warganet untuk menganalisis secara benar percakapan di media sosial, terutama Twitter.
Penggagas DEA, Ismail Fahmi mengatakan DEA melalui analisa berbasis data akan menawarkan kepada khalayak mengenai kebenaran dari satu isu percakapan di media sosial. "Warganet masuk dalam perangkap politik identitas karena tidak menggunakan data secara baik dan maksimal," ujarnya.
Memanfaatkan data raya, DEA akan menganalisis sehingga bisa menjadi rujukan atau pembanding maupun pedoman bagi warganet untuk mengusung politik gagasan. "DEA bekerja sama dengan UII akan menyediakan data dalam beropini atau beradu argumen untuk mengusung menguatnya politik gagasan," paparnya.
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra menambahkan, dibentuknya DEA sekaligus dimaksudkan sebagai literasi politik secara gratis bagi khalayak. "Netizen sejak 2014 telah mengalami kekerasan politik dan terbelah
menjadi dua kelompok akibat percakapan di media sosial," katanya.
Dengan melimpahnya informasi yang tak terkendali ternyata mengancam keutuhan bangsa. Untuk itu kehadiran DEA diharapkan mampu menjadi alternatif jalan keluar. "Kepada netizen pun diharapkan untuk tidak mudah masuk ke dalam arus hoax," katanya.
Ketua prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta, Subhan Afifi mengatakan, beberapa dosen merasa galau melihat keriuhan di media sosial yang tak tentu arah. Begitu keras polarisasi masyarakat akibat percakapan di media sosial. "Karenanya, kami merasa harus melakukan sesuatu," katanya.
Sebagai bentuk kepedulian sekaligus edukasi kepada masyarakat, sejumlah dosen di Yogyakarta meluncurkan Drone Emprit Academic (DEA) di kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Minggu (14/10/2018). DEA merupakan semacam situs yang memberikan layanan data analisis gratis terhadap suatu isu yang ramai diperbincangkan di Twitter. Melalui layanan ini masyarakat bisa mengetahui apakah isu yang ramai di media sosial merupakan fakta atau berita bohong atau hoax. Masyarakat bisa mengakses layanan ini secara gratis melalui situs dea.uii.ac.id.
Rektor UII Fathur Wahid mengatakan memasuki tahun politik, menjelang pemilu 2019, percakapan di media sosial semakin riuh. Polarisasi warganet pun semakin keras. Bahkan tak jarang merembet ke dunia nyata. Sejak kontestasi dua pasangan capres-cawapres pada Pilpres 2014 hingga kini masyarakat seakan terbelah menjadi dua kelompok.
"Karena itu kami ingin menyuarakan kebenaran. Kami luncurkan DEA yang mengusung politik gagasan berbasis data raya atau big data," kata Rektor UII Fathul Wahid.
Fathul menjelaskan gagasan membentuk DEA telah dimulai sejak setahun lalu. Bersama beberapa dosen dari perguruan tinggi lain, paling tidak mereka berniat menjadi penengah di tengah riuhnya percakapan di media sosial belakangan ini.
Menurutnya, politik yang digunakan untuk kekepentingan kelompok atau perjuangan identitas tidak akan menjanjikan perbaikan masa depan Indonesia. Kelompok yang menang Pilpres akan terus dimusuhi oleh kelompok yang kalah. Padahal kemenangan seharusnya menjadi kemenangan bagi Indonesia. "Politik gagasan menjadi penting dikedepankan sejak dini," ujarnya.
Melalui politik gagasan yang menyuarakan kebenaran, argumen maupun ide-ide yang berkualitas, DEA yang nantinya beranggotakan dosen, para ahli, mahasiswa, jurnalis, anggota LSM, dan lain-lain, bisa dimanfaatkan warganet untuk menganalisis secara benar percakapan di media sosial, terutama Twitter.
Penggagas DEA, Ismail Fahmi mengatakan DEA melalui analisa berbasis data akan menawarkan kepada khalayak mengenai kebenaran dari satu isu percakapan di media sosial. "Warganet masuk dalam perangkap politik identitas karena tidak menggunakan data secara baik dan maksimal," ujarnya.
Memanfaatkan data raya, DEA akan menganalisis sehingga bisa menjadi rujukan atau pembanding maupun pedoman bagi warganet untuk mengusung politik gagasan. "DEA bekerja sama dengan UII akan menyediakan data dalam beropini atau beradu argumen untuk mengusung menguatnya politik gagasan," paparnya.
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra menambahkan, dibentuknya DEA sekaligus dimaksudkan sebagai literasi politik secara gratis bagi khalayak. "Netizen sejak 2014 telah mengalami kekerasan politik dan terbelah
menjadi dua kelompok akibat percakapan di media sosial," katanya.
Dengan melimpahnya informasi yang tak terkendali ternyata mengancam keutuhan bangsa. Untuk itu kehadiran DEA diharapkan mampu menjadi alternatif jalan keluar. "Kepada netizen pun diharapkan untuk tidak mudah masuk ke dalam arus hoax," katanya.
Ketua prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta, Subhan Afifi mengatakan, beberapa dosen merasa galau melihat keriuhan di media sosial yang tak tentu arah. Begitu keras polarisasi masyarakat akibat percakapan di media sosial. "Karenanya, kami merasa harus melakukan sesuatu," katanya.
(amm)