Wakil Ketua MPR: Tantangan Kebangsaan Era Globalisasi Kian Besar
A
A
A
JAKARTA - Era globalisasi sekarang, tantangan kebangsaan kian besar. Mulai dari ancaman penyalahgunaan teknologi, penyebaran radikalisme, fanatisme hingga kuatnya intervensi asing.
Wakil Ketua MPR Mahyudin menuturkan, langkah yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai tantangan bangsa tersebut yaitu dengan memasyarakatkan Empat Pilar MPR RI yakni Pancasila sebagai dasar ideologi negara, UUD 45 sebagai konstitusi negara serta ketetapan MPR, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
"Empat pilar ini perlu dimasyarakatkan, perlu disosialisasikan karena tantangan kebangsaan di era globalisasi semakin kuat," tutur Mahyudin di sela sosialisasi di Kantor Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Rabu (10/10/2018).
Mahyudin mencontohkan, ancaman radikalisme yang bisa berujung pada tindakan terorisme menjadi salah satu ancaman serius bangsa. "Ini terjadi sebab masih lemahnya pemahaman agama. Pemahaman beragamanya keliru dan sempit sehingga muncul paham agama yang ujung- ujungnya menjadi teroris," tuturnya.
Dijelaskan, dulu di era pemerintahan Presiden Soeharto ada pelajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), juga ada PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
"Saat itu pendidikan moral lebih diutamakan daripada yang lain. Nilai matematika jelek enggak apa-apa yang penting pendidikan moralnya bagus. Setelah Reformasi, diganti PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Ada yang hilang, moralnya yang hilang sehingga banyak yang mengatakan kita tidak bermoral. Kini marak LGBT, gay, karena moralnya hilang," tuturnya.
Mahyudin mengaku sebagai Wakil Ketua MPR, dirinya banyak didatangi masyarakat yang menginginkan agar Pendidikan Moral Pancasila diajarkan kembali di sekolah.
"Pancasila itu lahir dari jiwa bangsa Indonesia itu sendiri. Kita ini mudah terpengaruh dari bangsa lain sementara kita punya budaya sendiri tidak kita hargai. Orang luar rambut pirang kita ikuti padahal tidak semua yang dari luar itu baik," papar Mahyudin yang maju sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur ini.
Dalam beragama, katanya, sejujurnya Islam yang ada di Indonesia adalah Islam yang kuat dan paling toleran. Namun dengan adanya internet, belakangan muncul paham radikalisme.
"Islam itu agama yang rahmatan lil alamin. Kerjakan saja perintah-Nya. Gak usah belajar dari orang yang tidak kita kenal. Belajar saja dari guru-guru yang sudah kita kenal d ari NU, Muhammadiyah, sudah benar itu," urainya.
Menurutnya, masih banyak masyarakat yang terpukau tokoh yang Arab yang dianggap paling baik padahal tifak sedikit orang Arab yang keturunan kaum jahiliyah.
"Makanya Islam diturunkan di Arab. Tapi banyak juga yang bagus makanya kroscek dulu. Kalau imamnya radikal, suka nyerang orang, jangan ikuti. Di Surabaya ada ibu ajak anak bunuh diri ini kayak orang gila saja karena otaknya sudah dicuci," paparnya.
Karena itu, menurut Mahyudin, program deradikalisasi perlu digalakkan. Selama ini, program deradikalisasi masih dianggap gagal.
"Program deradikalisasi sering gagal karena belum ada penjara khusus teroris. Mereka ditahan di tahanan yang sama dengan narapidana lain yang terjadi justru tahanan teroris itu menyebarluaskan ajarannya. Karena itu, negara perlu menguatkan program deradikalisasi. Perlu ada pendamping dari dokter dan lainnya," tuturnya.
Fanatisme kedaerahan juga bisa berujung pada menguatnya unsur SARA (suku, ras, dan agama). "Terutama menghadapi tahun politik, masjid-masjid digunakan kampanye SARA. Tapi saya percaya suatu saat premodialisme di politik akan hilang karena masyarakat akan sadar bahwa masyarakat memilih pemimpin yang bisa diharapkan membawa kemajuan," katanya.
Ancaman di tahun politik ini yang juga sangat serius adalah praktik politik uang (money politics). "Jadi caleg, bupati, sekarang berat karena politik uang. Karena iti rakyat harus berubah pola pikirnya. Kalau kita pilih karena uang, pasti akan menciptakan koruptor baru karena mereka akan berfikir mengembalikan modalnya," tuturnya.
Tantangan kebangsaan yang tidak kalah penting adalah pengaruh ekaternal yang masuk melalui teknologi. Saat ini, katanya, dunia tidak bisa disekat."Dunia dalam genggaman. Hampir semua orang punya smartphone. Ada hiburan, medsos, semuanya itu sebenarnya baik, tapi ada juga yang tidak baik. Asing berusaha merusak Indonesia agar tidak maju-maju. Sebab Indonesia adalah salah satu pasar besar dunia. Kalau Indonesia maju, mereka bisa bangkrut karena bisa bikin handphone sendiri," katanya.
Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat teknologi. "Game itu rata- rata mengandung tokoh berbau porno sehingga anak kita sibuk main game. Tolong jaga anak kita masing-masing karena kebanyakan main game itu bisa merusak. Banyak orang cerai gara- gara Facebook. Teknologi ini bisa dijadikan media dakwah, tapi juga bisa menemukan cinta lama kembali di Facebook. Banyak keluarga rusak gara-gara Facebook," katanya.
Tantangan eksternal lainnya yaitu semakin kuatnya intervensi kekuatan global dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik di Indonesia.
Sementara itu, Bupati Penajam Paser Utara Abdul Ghafur Masud dalam sambutannya yang dibacakan Asisten I Bidang Pmerintahan Suhardi, mengatakan, pendiri bangsa ingin menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang kuat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
"Jangan menjadikan perbedaan sebagai pemecah belah, tapi sebuah kesatuan untuk bernegara," tuturnya.
Dikatakan, saat ini tantangan yang dihadapi bangsa tidak hanya dari satu arah, tapi juga dari berbagai arah termasuk dari medsos sehingga perlu pendidikan karakter. "Momentum ini perlu sebagai pembangun semangat hidup berdampingan dengan rukun dalam bingkai NKRI," pungkasnya.
Wakil Ketua MPR Mahyudin menuturkan, langkah yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai tantangan bangsa tersebut yaitu dengan memasyarakatkan Empat Pilar MPR RI yakni Pancasila sebagai dasar ideologi negara, UUD 45 sebagai konstitusi negara serta ketetapan MPR, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
"Empat pilar ini perlu dimasyarakatkan, perlu disosialisasikan karena tantangan kebangsaan di era globalisasi semakin kuat," tutur Mahyudin di sela sosialisasi di Kantor Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Rabu (10/10/2018).
Mahyudin mencontohkan, ancaman radikalisme yang bisa berujung pada tindakan terorisme menjadi salah satu ancaman serius bangsa. "Ini terjadi sebab masih lemahnya pemahaman agama. Pemahaman beragamanya keliru dan sempit sehingga muncul paham agama yang ujung- ujungnya menjadi teroris," tuturnya.
Dijelaskan, dulu di era pemerintahan Presiden Soeharto ada pelajaran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), juga ada PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
"Saat itu pendidikan moral lebih diutamakan daripada yang lain. Nilai matematika jelek enggak apa-apa yang penting pendidikan moralnya bagus. Setelah Reformasi, diganti PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Ada yang hilang, moralnya yang hilang sehingga banyak yang mengatakan kita tidak bermoral. Kini marak LGBT, gay, karena moralnya hilang," tuturnya.
Mahyudin mengaku sebagai Wakil Ketua MPR, dirinya banyak didatangi masyarakat yang menginginkan agar Pendidikan Moral Pancasila diajarkan kembali di sekolah.
"Pancasila itu lahir dari jiwa bangsa Indonesia itu sendiri. Kita ini mudah terpengaruh dari bangsa lain sementara kita punya budaya sendiri tidak kita hargai. Orang luar rambut pirang kita ikuti padahal tidak semua yang dari luar itu baik," papar Mahyudin yang maju sebagai calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur ini.
Dalam beragama, katanya, sejujurnya Islam yang ada di Indonesia adalah Islam yang kuat dan paling toleran. Namun dengan adanya internet, belakangan muncul paham radikalisme.
"Islam itu agama yang rahmatan lil alamin. Kerjakan saja perintah-Nya. Gak usah belajar dari orang yang tidak kita kenal. Belajar saja dari guru-guru yang sudah kita kenal d ari NU, Muhammadiyah, sudah benar itu," urainya.
Menurutnya, masih banyak masyarakat yang terpukau tokoh yang Arab yang dianggap paling baik padahal tifak sedikit orang Arab yang keturunan kaum jahiliyah.
"Makanya Islam diturunkan di Arab. Tapi banyak juga yang bagus makanya kroscek dulu. Kalau imamnya radikal, suka nyerang orang, jangan ikuti. Di Surabaya ada ibu ajak anak bunuh diri ini kayak orang gila saja karena otaknya sudah dicuci," paparnya.
Karena itu, menurut Mahyudin, program deradikalisasi perlu digalakkan. Selama ini, program deradikalisasi masih dianggap gagal.
"Program deradikalisasi sering gagal karena belum ada penjara khusus teroris. Mereka ditahan di tahanan yang sama dengan narapidana lain yang terjadi justru tahanan teroris itu menyebarluaskan ajarannya. Karena itu, negara perlu menguatkan program deradikalisasi. Perlu ada pendamping dari dokter dan lainnya," tuturnya.
Fanatisme kedaerahan juga bisa berujung pada menguatnya unsur SARA (suku, ras, dan agama). "Terutama menghadapi tahun politik, masjid-masjid digunakan kampanye SARA. Tapi saya percaya suatu saat premodialisme di politik akan hilang karena masyarakat akan sadar bahwa masyarakat memilih pemimpin yang bisa diharapkan membawa kemajuan," katanya.
Ancaman di tahun politik ini yang juga sangat serius adalah praktik politik uang (money politics). "Jadi caleg, bupati, sekarang berat karena politik uang. Karena iti rakyat harus berubah pola pikirnya. Kalau kita pilih karena uang, pasti akan menciptakan koruptor baru karena mereka akan berfikir mengembalikan modalnya," tuturnya.
Tantangan kebangsaan yang tidak kalah penting adalah pengaruh ekaternal yang masuk melalui teknologi. Saat ini, katanya, dunia tidak bisa disekat."Dunia dalam genggaman. Hampir semua orang punya smartphone. Ada hiburan, medsos, semuanya itu sebenarnya baik, tapi ada juga yang tidak baik. Asing berusaha merusak Indonesia agar tidak maju-maju. Sebab Indonesia adalah salah satu pasar besar dunia. Kalau Indonesia maju, mereka bisa bangkrut karena bisa bikin handphone sendiri," katanya.
Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat teknologi. "Game itu rata- rata mengandung tokoh berbau porno sehingga anak kita sibuk main game. Tolong jaga anak kita masing-masing karena kebanyakan main game itu bisa merusak. Banyak orang cerai gara- gara Facebook. Teknologi ini bisa dijadikan media dakwah, tapi juga bisa menemukan cinta lama kembali di Facebook. Banyak keluarga rusak gara-gara Facebook," katanya.
Tantangan eksternal lainnya yaitu semakin kuatnya intervensi kekuatan global dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik di Indonesia.
Sementara itu, Bupati Penajam Paser Utara Abdul Ghafur Masud dalam sambutannya yang dibacakan Asisten I Bidang Pmerintahan Suhardi, mengatakan, pendiri bangsa ingin menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang kuat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
"Jangan menjadikan perbedaan sebagai pemecah belah, tapi sebuah kesatuan untuk bernegara," tuturnya.
Dikatakan, saat ini tantangan yang dihadapi bangsa tidak hanya dari satu arah, tapi juga dari berbagai arah termasuk dari medsos sehingga perlu pendidikan karakter. "Momentum ini perlu sebagai pembangun semangat hidup berdampingan dengan rukun dalam bingkai NKRI," pungkasnya.
(maf)