Kalangan Swasta Turut Dukung Kampanye Nasional Cegah Stunting
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah resmi memulai Kampanye Nasional Pencegahan Stunting, Minggu (16/9). Acara yang dipimpin Kepala Staf Kepresidenan didampingi oleh Menteri Kesehatan ini dihadiri berbagai kalangan termasuk sektor swasta.
Kampanye Nasional Pencegahan Stunting di area Monumen Nasional (Monas), Jakarta. “Cegah Stunting untuk Generasi Cerdas Indonesia” menjadi tema gerakan nasional ini.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia bawah lima tahun akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupannya. Stunting menghambat perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Tinggi badan balita stunting lebih rendah daripada standar umurnya. Ketika beranjak dewasa anak stunting rentan terhadap penyakit, kurang berprestasi di sekolah, rentan mengalami kegemukan, dan ketika dewasa lebih mudah terkena berbagai penyakit tidak menular, seperti jantung dan diabetes.
Di antara perwakilan perusahaan yang mendukung acara itu, tampak hadir Rachmat Hidayat, Government Relations Director Danone Indonesia mewakili PT Tirta Investama.
“Kami senantiasa berkomitmen dan siap bekerjasama dengan pemerintah untuk mendukung program pencegahan stunting pada anak,” kata Arif Mujahidin, Corporate Affairs Director Danone Indonesia ketika dihubungi wartawan melalui sambungan telepon.
Kampanye Nasional Pencegahan Stunting mendesak dilakukan saat ini karena BPS mencatat satu dari tiga anak bawah lima tahun (balita) Indonesia masih mengalami stunting (2013). Jumlahnya mencapai sembilan juta balita.
“Stunting tidak hanya terjadi pada anak dari keluarga miskin. Stunting juga terjadi pada anak keluarga kaya, di kota maupun di desa,” kata Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan.
Apabila kondisi tersebut terus dibiarkan, investasi apapun yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM menjadi tidak optimal. “Karena apapun yang kita beri, guru, laboratorium, kurikulum, atau pelatihan menjadi kurang optimal karena kemampuan otak anak-anak kita dalam menyerap ilmu pengetahuan terbatas,” jelasnya.
Pada usia produktifnya, anak stunting berpenghasilan 20% lebih rendah daripada anak yang tumbuh optimal. Stunting bisa menurunkan Produk Domestik Bruto negara sebesar 3%. Bagi Indonesia, kerugian akibat stunting mencapai sebesar Rp 300 triliun per tahun.
Kampanye Nasional Pencegahan Stunting ini sekaligus implementasi dari Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo 16 Agustus 2018 lalu yang menegaskan bahwa pembangunan SDM diawali sejak dari kandungan. “Kalau kita cegah stunting dari sekarang, pada tahun 2040 nanti, ketika anak-anak ini berusia 22 tahun, mereka akan jauh lebih hebat daripada generasi sebelumnya. Ini investasi jangka panjang kita sebagai bangsa,” tegas Moeldoko.
Menekan prevalensi stunting jadi 28%
Stunting disebabkan oleh perilaku pola asuh dan pola makan yang tidak baik, serta sanitasi yang tidak bersih dan tidak sehat. Oleh karena itu, stunting hanya bisa dicegah dengan memperbaiki pola asuh, pola makan, dan menciptakan sanitasi yang bersih dan sehat.
Agar kondisi itu terwujud, keluarga perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. Pemerintah menyiapkan berbagai program dan aktivitas untuk mencegah stunting, antara lain merevitalisasi pos pelayanan terpadu (Posyandu) bagi sarana pendidikan gizi dan pemantauan tumbuh kembang balita, serta melatih para petugas kesehatan dan kader agar mampu mendidik masyarakat. Juga, pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil serta vitamin A, obat cacing, dan imunisasi untuk balita.
Dengan berbagai program tersebut, pemerintah menargetkan, prevalensi stunting bisa ditekan dari angka 37,2% pada 2013 menjadi 28% pada 2019.
Kampanye Nasional Pencegahan Stunting di area Monumen Nasional (Monas), Jakarta. “Cegah Stunting untuk Generasi Cerdas Indonesia” menjadi tema gerakan nasional ini.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia bawah lima tahun akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupannya. Stunting menghambat perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Tinggi badan balita stunting lebih rendah daripada standar umurnya. Ketika beranjak dewasa anak stunting rentan terhadap penyakit, kurang berprestasi di sekolah, rentan mengalami kegemukan, dan ketika dewasa lebih mudah terkena berbagai penyakit tidak menular, seperti jantung dan diabetes.
Di antara perwakilan perusahaan yang mendukung acara itu, tampak hadir Rachmat Hidayat, Government Relations Director Danone Indonesia mewakili PT Tirta Investama.
“Kami senantiasa berkomitmen dan siap bekerjasama dengan pemerintah untuk mendukung program pencegahan stunting pada anak,” kata Arif Mujahidin, Corporate Affairs Director Danone Indonesia ketika dihubungi wartawan melalui sambungan telepon.
Kampanye Nasional Pencegahan Stunting mendesak dilakukan saat ini karena BPS mencatat satu dari tiga anak bawah lima tahun (balita) Indonesia masih mengalami stunting (2013). Jumlahnya mencapai sembilan juta balita.
“Stunting tidak hanya terjadi pada anak dari keluarga miskin. Stunting juga terjadi pada anak keluarga kaya, di kota maupun di desa,” kata Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan.
Apabila kondisi tersebut terus dibiarkan, investasi apapun yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM menjadi tidak optimal. “Karena apapun yang kita beri, guru, laboratorium, kurikulum, atau pelatihan menjadi kurang optimal karena kemampuan otak anak-anak kita dalam menyerap ilmu pengetahuan terbatas,” jelasnya.
Pada usia produktifnya, anak stunting berpenghasilan 20% lebih rendah daripada anak yang tumbuh optimal. Stunting bisa menurunkan Produk Domestik Bruto negara sebesar 3%. Bagi Indonesia, kerugian akibat stunting mencapai sebesar Rp 300 triliun per tahun.
Kampanye Nasional Pencegahan Stunting ini sekaligus implementasi dari Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo 16 Agustus 2018 lalu yang menegaskan bahwa pembangunan SDM diawali sejak dari kandungan. “Kalau kita cegah stunting dari sekarang, pada tahun 2040 nanti, ketika anak-anak ini berusia 22 tahun, mereka akan jauh lebih hebat daripada generasi sebelumnya. Ini investasi jangka panjang kita sebagai bangsa,” tegas Moeldoko.
Menekan prevalensi stunting jadi 28%
Stunting disebabkan oleh perilaku pola asuh dan pola makan yang tidak baik, serta sanitasi yang tidak bersih dan tidak sehat. Oleh karena itu, stunting hanya bisa dicegah dengan memperbaiki pola asuh, pola makan, dan menciptakan sanitasi yang bersih dan sehat.
Agar kondisi itu terwujud, keluarga perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak. Pemerintah menyiapkan berbagai program dan aktivitas untuk mencegah stunting, antara lain merevitalisasi pos pelayanan terpadu (Posyandu) bagi sarana pendidikan gizi dan pemantauan tumbuh kembang balita, serta melatih para petugas kesehatan dan kader agar mampu mendidik masyarakat. Juga, pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil serta vitamin A, obat cacing, dan imunisasi untuk balita.
Dengan berbagai program tersebut, pemerintah menargetkan, prevalensi stunting bisa ditekan dari angka 37,2% pada 2013 menjadi 28% pada 2019.
(maf)