Menggairahkan Minat Baca
A
A
A
TINGKAT literasi masyarakat Indonesia yang sangat rendah menjadi keprihatinan bersama sejak lama. Keprihatinan ini wajar karena kemajuan dan kecemerlangan masa depan sebuah bangsa antara lain bisa diukur dari sejauh mana masyarakatnya memiliki minat baca.
Peringkat membaca masyarakat Indonesia, berdasarkan data yang diungkap The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), terdampar di dasar: urutan 60 dari 61 negara.
Keprihatinan kian menjadi-jadi karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia terpapar teknologi digital melalui smartphone yang menghadirkan beragam fitur interaktif. Smartphone yang menghadirkan internet ke dalam genggaman setiap orang ini tak pelak kian menjauhkan masyarakat dari buku atau bahan bacaan hasil cetakan lainnya. Bahkan, masyarakat Indonesia mengakses internet untuk hal-hal yang kurang produktif.
Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017 menemukan fakta bahwa hampir 90% layanan yang diakses oleh pengguna internet di Tanah Air untuk layanan perbincangan alias chatting. Setelah itu, 87,13%, untuk media sosial seperti mengunggah foto di Instagram, Facebook, dan platform media sosial lain. Penggunaan internet untuk pencarian atau search engine berada di urutan ketiga dengan persentase 74,84%.
Literasi yang rendah merupakan masalah mendasar karena itu berkontribusi pada rendahnya produktivitas sebuah bangsa. Produktivitas rendah berujung pada pertumbuhan yang juga rendah dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita. Literasi rendah juga berkontribusi signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Isu mengenai rendahnya literasi ini kembali mengemuka ketika dunia memperingati Hari Literasi Internasional atau Hari Aksara Internasional. Masyarakat dunia memperingati Hari Aksara Internasional pada 8 September lalu. Tahun ini merupakan peringatan yang ke-53 sejak pertama kali diproklamasikan oleh UNESCO pada 1965. Tema yang diangkat kali ini adalah Literacy and Skills Development. Di Indonesia puncak Hari Aksara Internasional dilaksanakan di Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (8/9) dengan tema "Mengembangkan Keterampilan Literasi yang Berbudaya".
Rendahnya minat baca antara lain diakui oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani. Menurutnya, jumlah buku yang ditamatkan orang Indonesia per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Puan mengutip hasil penelitian yang dilakukan pada 2017 oleh Perpustakaan Nasional.
Perlu ada upaya-upaya khusus untuk meningkatkan tingkat literasi masyarakat Indonesia. Tidak harus mengandalkan pemerintah semata, melainkan ini bisa dilakukan oleh siapa saja.
Pertama, kesadaran membaca bisa dimulai dari keluarga. Setiap orang tua seyogianya menyediakan buku bacaan di rumah, terutama untuk anak-anaknya. Perlu kerelaan menyisihkan anggaran untuk membeli buku-buku yang cocok dengan kebutuhan anak.
Kedua, sekolah sebagai sarana pendidikan formal juga perlu lebih berperan. Guru-guru perlu menerapkan sistem pembelajaran berbasis literasi. Bahkan jika perlu ada jam khusus yang disediakan untuk kegiatan membaca. Di kurikulum SD pada 1980-an dikenal Hari Buku setiap Sabtu. Pendidikan kita perlu menghadirkan kembali kebiasaan positif ini.
Ketiga, pemerintah perlu memperbanyak perpustakaan yang bisa diakses oleh masyarakat. Konsep taman bermain bagi anak-anak yang juga menyediakan perpustakaan adalah hal yang baik dan perlu diperbanyak, termasuk di daerah.
Keempat, perlu menggalakkan kegiatan sosial berupa berbagi buku bacaan kepada anak-anak di daerah terpencil di Tanah Air. Kegiatan ini sudah digagas oleh kelompok masyarakat yang peduli literasi. Ke depan, hal seperti ini perlu digalakkan dengan berkoorÂdinasi dengan lembaga pemerintah untuk mempermudah penyalurÂan dan memastikan buku tepat sasaran.
Peringkat membaca masyarakat Indonesia, berdasarkan data yang diungkap The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco), terdampar di dasar: urutan 60 dari 61 negara.
Keprihatinan kian menjadi-jadi karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia terpapar teknologi digital melalui smartphone yang menghadirkan beragam fitur interaktif. Smartphone yang menghadirkan internet ke dalam genggaman setiap orang ini tak pelak kian menjauhkan masyarakat dari buku atau bahan bacaan hasil cetakan lainnya. Bahkan, masyarakat Indonesia mengakses internet untuk hal-hal yang kurang produktif.
Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017 menemukan fakta bahwa hampir 90% layanan yang diakses oleh pengguna internet di Tanah Air untuk layanan perbincangan alias chatting. Setelah itu, 87,13%, untuk media sosial seperti mengunggah foto di Instagram, Facebook, dan platform media sosial lain. Penggunaan internet untuk pencarian atau search engine berada di urutan ketiga dengan persentase 74,84%.
Literasi yang rendah merupakan masalah mendasar karena itu berkontribusi pada rendahnya produktivitas sebuah bangsa. Produktivitas rendah berujung pada pertumbuhan yang juga rendah dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita. Literasi rendah juga berkontribusi signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Isu mengenai rendahnya literasi ini kembali mengemuka ketika dunia memperingati Hari Literasi Internasional atau Hari Aksara Internasional. Masyarakat dunia memperingati Hari Aksara Internasional pada 8 September lalu. Tahun ini merupakan peringatan yang ke-53 sejak pertama kali diproklamasikan oleh UNESCO pada 1965. Tema yang diangkat kali ini adalah Literacy and Skills Development. Di Indonesia puncak Hari Aksara Internasional dilaksanakan di Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (8/9) dengan tema "Mengembangkan Keterampilan Literasi yang Berbudaya".
Rendahnya minat baca antara lain diakui oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani. Menurutnya, jumlah buku yang ditamatkan orang Indonesia per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Puan mengutip hasil penelitian yang dilakukan pada 2017 oleh Perpustakaan Nasional.
Perlu ada upaya-upaya khusus untuk meningkatkan tingkat literasi masyarakat Indonesia. Tidak harus mengandalkan pemerintah semata, melainkan ini bisa dilakukan oleh siapa saja.
Pertama, kesadaran membaca bisa dimulai dari keluarga. Setiap orang tua seyogianya menyediakan buku bacaan di rumah, terutama untuk anak-anaknya. Perlu kerelaan menyisihkan anggaran untuk membeli buku-buku yang cocok dengan kebutuhan anak.
Kedua, sekolah sebagai sarana pendidikan formal juga perlu lebih berperan. Guru-guru perlu menerapkan sistem pembelajaran berbasis literasi. Bahkan jika perlu ada jam khusus yang disediakan untuk kegiatan membaca. Di kurikulum SD pada 1980-an dikenal Hari Buku setiap Sabtu. Pendidikan kita perlu menghadirkan kembali kebiasaan positif ini.
Ketiga, pemerintah perlu memperbanyak perpustakaan yang bisa diakses oleh masyarakat. Konsep taman bermain bagi anak-anak yang juga menyediakan perpustakaan adalah hal yang baik dan perlu diperbanyak, termasuk di daerah.
Keempat, perlu menggalakkan kegiatan sosial berupa berbagi buku bacaan kepada anak-anak di daerah terpencil di Tanah Air. Kegiatan ini sudah digagas oleh kelompok masyarakat yang peduli literasi. Ke depan, hal seperti ini perlu digalakkan dengan berkoorÂdinasi dengan lembaga pemerintah untuk mempermudah penyalurÂan dan memastikan buku tepat sasaran.
(maf)