Banyak Bakal Caleg 'Tumbang' Sebelum Bertanding
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg) yang diajukan partai politik (Parpol) peserta Pemilu 2019.
Pendaftaran bakal caleg untuk semua tingkatan yakni DPR dan DPRD tingkat provinsi serta kabupaten/kota diserahkan parpol kepada lembaga penyelenggara pemilu di tingkat Pusat dan daerah sebelum pukul 24.00 WIB pada Selasa 17 Juli 2018.
Setelah diterima seluruh bakal calon kemudian dilakukan penelitian dan pemeriksaan dokumen oleh KPU berdasarkan regulasi yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan oleh KPU dikabarkan banyak caleg yang 'tumbang dan gugur' sebelum bertanding. Tumbang dan gugurnya para caleg ditengarahi setelah berkas mereka diperiksa lalu ditemukan ketidaksesuain seperti yang dialami Partai Hanura di mana dari 575 bakal caleg yang didaftarkan hampir seluruh caleg dianggap Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
(Baca juga: Tolak Berkas Perbaikan Bacaleg Hanura, KPU Siap Hadapi Gugatan)
Dari informasi yang dihimpun, dari 575 bakal caleg, hanya 9 bakal caleg yang dinyatakan memenuhi syarat (MS). Menurut Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, atas hasil penelitian dokumen Caleg Hanura tersebut KPU menganggap tak perlu melanjutkan pemeriksaan dokumen pencalonan mereka.
"Maka kemudian kalau begitu status Hanura untuk DCS yang digunakan pada saat pendaftaran pada tanggal 17 juli 2018," kata Hasyim saat ditemui wartawan di Kantornya, Kamis 2 Agustus 2018.
Hasyim menjelaskan, bakal caleg Hanura dinyatakan TMS terdata melalui Form B1 terkait dokumen pencalonan. Menurutnya, dokumen pencalonan tersebut seperti penambahan calon, tidak mencantumkan alamat dan tidak ada pas foto yang sudah ditentukan. Sehingga, dari temuan tersebut, KPU menyimpulkan bahwa dokumen itu tak perlu dilakukan pemeriksaan.
Sementara itu, Komisioner KPU lainnya, Viryan menganggap bahwa kesempatan parpol untuk memperbaiki berkas pencalonan mereka sudah berakhir pada 31 Juli 2018. Viryan menegaskan, ruang terakhir bagi parpol yang dinyatakan TMS termasuk hak yang bisa dilakukan Hanura adalah dengan mengajukan gugatan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Silakan bisa menempuh jalan lewat Bawaslu, apabila ada hal-hal yang bisa untuk disampaikan melalui Bawaslu," tambah Viryan di tempat yang sama.
Hanura merupakan satu contoh terkait dugaan banyaknya bakal caleg tumbang sebelum berperang. Meski begitu, partai yang dipimpin Ketua DPD, Oesman Sapta Odang atau OSO masih memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke Bawaslu.
Hal yang sama juga dirasakan parpol lain yang terpaksa gagal merekomendasikan bakal calon mereka karena penerapan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang dalam salah satu pasalnya melarang mantan narapidana kasus korupsi, Bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi caleg pemilu 2019.
Hadirnya PKPU tersebut membuat hampir mayoritas parpol gagal mencalonkan orang-orang yang terindikasi mantan narapidana kasus korupsi atau bekas koruptor nyaleg. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengatakan, saat dilakukan penelitian dan pemeriksaan persyaratan calon ditemukan sedikitnya 5 bakal caleg DPR merupakan eks napi koruptor.
Meski demikian, Wahyu mengaku enggan menyebutkan parpol para caleg bersangkutan lantaran memang tak ada kewajiban pihaknya mengumumkan nama parpol. Namun dari informasi yang dihimpun 5 orang tersebut yakni dua calon berasal dari Partai Golkar dan tiga orang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Terkonfirmasi bahwa dua parpol tersebut telah mengganti bakal caleg tersebut sebelum penyerahan perbaikan.
5 bakal caleg DPR yang diganti oleh masing-masing parpolnya membuat langkah mereka harus terhenti sebelum berkompetisi pada 17 April 2019 mendatang. 5 bakal calon itu baru yang terindentifikasi, karena KPU terus meminta masukan dari masyarakat untuk mengetahui para caleg memang bebas dari jeratan pidana korupsi sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) ditetapkan.
Sementara itu, kasus serupa juga terjadi di tingkat bakal calon DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, temuan awal pengawasan lembaganya menyebutkan sebanyak 199 orang diketahui mantan napi korupsi. Namun saat dilakukan pemeriksaan sebelum penyerahan berkas perbaikan, jumlah tersebut membengkak menjadi 202 orang.
"Nah yang lain-lainnya selebihnya itu mantan-mantan napi pembunuhan, dan lain-lain yang tidak dilarang oleh PKPU nomor 20 Tahun 2017. Jadi ini dilakukan validasi lagi, maka didapat 202 (eks napi korupsi) ya," kata Fritz di Kantor KPU, Rabu 1 Agustus 2018.
Dijelaskan Fritz, data tersebut didapatkan setelah pihaknya melakukan penyisiran dan penelitian melalui SKCK dan surat salinan putusan pengadilan. Para bakal caleg yang terindikasi mantan narapidana kasus korupsi memang masih memiliki kesempatan terakhir karena mengajukan gugatan PKPU ke Mahkamah Agung (MA).
Jika nantinya, MA menolak, maka para caleg kosus korupsi harus terpaksa mengubur mimpinya menjadi wakl rakyat. Namun jika putusan gugatan sebaliknya, KPU berdalih tak ingin berandai-andai dengan putusan yang belum ada. KPU berpandangan PKPU yang sudah diundangkan tersebut harus dipatuhi semua peserta pemilu.
Pendaftaran bakal caleg untuk semua tingkatan yakni DPR dan DPRD tingkat provinsi serta kabupaten/kota diserahkan parpol kepada lembaga penyelenggara pemilu di tingkat Pusat dan daerah sebelum pukul 24.00 WIB pada Selasa 17 Juli 2018.
Setelah diterima seluruh bakal calon kemudian dilakukan penelitian dan pemeriksaan dokumen oleh KPU berdasarkan regulasi yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan oleh KPU dikabarkan banyak caleg yang 'tumbang dan gugur' sebelum bertanding. Tumbang dan gugurnya para caleg ditengarahi setelah berkas mereka diperiksa lalu ditemukan ketidaksesuain seperti yang dialami Partai Hanura di mana dari 575 bakal caleg yang didaftarkan hampir seluruh caleg dianggap Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
(Baca juga: Tolak Berkas Perbaikan Bacaleg Hanura, KPU Siap Hadapi Gugatan)
Dari informasi yang dihimpun, dari 575 bakal caleg, hanya 9 bakal caleg yang dinyatakan memenuhi syarat (MS). Menurut Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, atas hasil penelitian dokumen Caleg Hanura tersebut KPU menganggap tak perlu melanjutkan pemeriksaan dokumen pencalonan mereka.
"Maka kemudian kalau begitu status Hanura untuk DCS yang digunakan pada saat pendaftaran pada tanggal 17 juli 2018," kata Hasyim saat ditemui wartawan di Kantornya, Kamis 2 Agustus 2018.
Hasyim menjelaskan, bakal caleg Hanura dinyatakan TMS terdata melalui Form B1 terkait dokumen pencalonan. Menurutnya, dokumen pencalonan tersebut seperti penambahan calon, tidak mencantumkan alamat dan tidak ada pas foto yang sudah ditentukan. Sehingga, dari temuan tersebut, KPU menyimpulkan bahwa dokumen itu tak perlu dilakukan pemeriksaan.
Sementara itu, Komisioner KPU lainnya, Viryan menganggap bahwa kesempatan parpol untuk memperbaiki berkas pencalonan mereka sudah berakhir pada 31 Juli 2018. Viryan menegaskan, ruang terakhir bagi parpol yang dinyatakan TMS termasuk hak yang bisa dilakukan Hanura adalah dengan mengajukan gugatan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Silakan bisa menempuh jalan lewat Bawaslu, apabila ada hal-hal yang bisa untuk disampaikan melalui Bawaslu," tambah Viryan di tempat yang sama.
Hanura merupakan satu contoh terkait dugaan banyaknya bakal caleg tumbang sebelum berperang. Meski begitu, partai yang dipimpin Ketua DPD, Oesman Sapta Odang atau OSO masih memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke Bawaslu.
Hal yang sama juga dirasakan parpol lain yang terpaksa gagal merekomendasikan bakal calon mereka karena penerapan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang dalam salah satu pasalnya melarang mantan narapidana kasus korupsi, Bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi caleg pemilu 2019.
Hadirnya PKPU tersebut membuat hampir mayoritas parpol gagal mencalonkan orang-orang yang terindikasi mantan narapidana kasus korupsi atau bekas koruptor nyaleg. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengatakan, saat dilakukan penelitian dan pemeriksaan persyaratan calon ditemukan sedikitnya 5 bakal caleg DPR merupakan eks napi koruptor.
Meski demikian, Wahyu mengaku enggan menyebutkan parpol para caleg bersangkutan lantaran memang tak ada kewajiban pihaknya mengumumkan nama parpol. Namun dari informasi yang dihimpun 5 orang tersebut yakni dua calon berasal dari Partai Golkar dan tiga orang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Terkonfirmasi bahwa dua parpol tersebut telah mengganti bakal caleg tersebut sebelum penyerahan perbaikan.
5 bakal caleg DPR yang diganti oleh masing-masing parpolnya membuat langkah mereka harus terhenti sebelum berkompetisi pada 17 April 2019 mendatang. 5 bakal calon itu baru yang terindentifikasi, karena KPU terus meminta masukan dari masyarakat untuk mengetahui para caleg memang bebas dari jeratan pidana korupsi sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) ditetapkan.
Sementara itu, kasus serupa juga terjadi di tingkat bakal calon DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, temuan awal pengawasan lembaganya menyebutkan sebanyak 199 orang diketahui mantan napi korupsi. Namun saat dilakukan pemeriksaan sebelum penyerahan berkas perbaikan, jumlah tersebut membengkak menjadi 202 orang.
"Nah yang lain-lainnya selebihnya itu mantan-mantan napi pembunuhan, dan lain-lain yang tidak dilarang oleh PKPU nomor 20 Tahun 2017. Jadi ini dilakukan validasi lagi, maka didapat 202 (eks napi korupsi) ya," kata Fritz di Kantor KPU, Rabu 1 Agustus 2018.
Dijelaskan Fritz, data tersebut didapatkan setelah pihaknya melakukan penyisiran dan penelitian melalui SKCK dan surat salinan putusan pengadilan. Para bakal caleg yang terindikasi mantan narapidana kasus korupsi memang masih memiliki kesempatan terakhir karena mengajukan gugatan PKPU ke Mahkamah Agung (MA).
Jika nantinya, MA menolak, maka para caleg kosus korupsi harus terpaksa mengubur mimpinya menjadi wakl rakyat. Namun jika putusan gugatan sebaliknya, KPU berdalih tak ingin berandai-andai dengan putusan yang belum ada. KPU berpandangan PKPU yang sudah diundangkan tersebut harus dipatuhi semua peserta pemilu.
(maf)