Parpol Ramai-ramai Coret Bacaleg Eks Napi Koruptor
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah partai politik (parpol) ramai-ramai memutuskan untuk mencoret nama-nama bakal calon legislatif (bacaleg) yang masuk dalam daftar mantan narapidana kasus korupsi. Kemarin, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) resmi mencoret pencalonan mereka dan digantikan dengan nama-nama baru.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Jawa Tengah Firman Soebagyo mengatakan, pencoretan terpaksa dilakukan karena partainya harus mentaati Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pemilihan Anggota Legislatif yang sudah diundangkan.
Firman mengatakan, di partainya ada dua caleg DPR yang tercatat sebagai mantan napi korupsi, yakni Ketua DPD I Golkar Aceh TM Nurlif dan Ketua Harian DPD I Golkar Jawa Tengah Iqbal Wibisono. ”Saya sudah konfirmasi bahwa nama keduanya dicoret,” ujar Firman dalam Diskusi Forum Legislasi dengan tema “PKPU Larang Eks Terpidana korupsi, Apa Kabar Elite Parpol?” di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Selain kedua nama tersebut, berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada sebanyak 25 kader Golkar yang terdaftar sebagai caleg mantan napi. Sebanyak tiga di antaranya sebagai caleg DPRD Provinsi, 18 sebagai caleg DPRD Kabupaten, dan 4 caleg di DPRD Kota. Sebelumnya Bawaslu merilis total ada 199 mantan napi korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jumlah bakal caleg eks koruptor itu tersebar di 11 provinsi, 93 kabupaten, dan 12 kota.
Alasan lain, kata anggota Fraksi Golkar DPR ini, pencoretan nama-nama caleg mantan napi untuk merespon aspirasi publik. Golkar tidak mau jika tetap mencalonkan mereka maka akan timbul asumsi publik bahwa Golkar tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. ”Makanya kami minta ke KPU bila nanti PKPU dibatalkan MA maka nama-nama yang dicoret harus diberi kesempatan untuk dikembalikan. Sebenarnya saya kecewa mengapa Kemenkumham yang tahu ini bertentangan dengan konstitusi, tapi kok tetap diundangkan,” katanya.
Langkah serupa juga dilakukan PDIP. Anggota PDIP Masinton Pasaribu memastikan nama-nama caleg PDIP yang termasuk mantan napi korupsi telah dicoret. Masinton juga menegaskan bahwa untuk caleg DPR dari PDIP tidak ada mantan napi korupsi. 13 caleg PDIP yang termasuk mantan napi korupsi semuanya di daerah.
Berdasarkan hasil temuan Bawaslu bacaleg yang terindentifikasi sebagai eks koruptor di antgaranya dari Partai Gerindra (27), Golkar (25), NasDem (17), Berkarya (16), Hanura (15), PDIP (13), Demokrat (12), Perindo (12), PAN (12), PBB (11), PKB (8), PPP (7), PKPI (7), Garuda (6), PKS (5), Partai Sira (1), PSI (0), Partai Aceh (0), Partai Daerah Aceh (0), Partai Nanggroe Aceh (0), dan tidak dijelaskan partainya (5).
Masinton mengatakan pertimbangan partainya mencoret nama-nama mereka murni karena alasan administratif agar bisa diproses dalam sistem informasi partai politik (sipol) KPU. ”Pertimbangannnya biar bisa diproses Sipol. Lebih pertimbangan administrasi meskipun sebenarnya tak setuju karena anturan PKPU tidak sesuai dengan undang-undang,” katanya.
Sementara itu, bacaleg PAN yang merupakan mantan napi korupsi, Waode Nurhayati, mengatakan, setelah enam tahun menjalani vonis atas kasus suap terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan tindak pidana pencucian uang atas kepemilikan uang sebesar Rp 50,5 miliar dalam rekeningnya, dirinya terpanggil kembali untuk maju sebagai caleg.
”Enam tahun vonis dan saya jalani dengan ikhlas dan tabah,” katanya. Namun, ketika proses pendaftaran sebagai bacaleg, tiba-tiba keluar PKPU No 20/2018. ”Tiba-tiba PAN menyampaikan ke saya bahwa di akhir batas waktu (pendaftaran) tidak masuk karena PKPU karena itu kami mengajukan judicial review,” tuturnya.
Wa Ode mengatakan, judicial review tersebut diajukan bukan semata-mata karena dirinya ingin menjadi anggota DPR, tapi lebih pada bagaimana agar konstitusi bisa tegak di jalan yang benar. ”Dalam analisa kami, PKPU itu cacat formil. Cacatnya karena ada dua PKPU dengan nomor yang sama dan diterbitkan di tanggal 20 Juni yang satu, kemudian yang satunya diterbitkan 2 Juli. Keduanya ditandatangani oleh ketua. Ini cacat formil,” katanya.
Selain itu, PKPU ini juga dinilai cacat materiil karena tidak ada cantolannya dalam Undang-Undang Pemilu. ”Kalau dua cacat, formil dan materiil maka apa yang mau dipertanggungjawabkan. Artinya harusnya gugur PKPU 20 ini karena syarat formil dan materil tidak terpenuhi,” katanya.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Jawa Tengah Firman Soebagyo mengatakan, pencoretan terpaksa dilakukan karena partainya harus mentaati Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pemilihan Anggota Legislatif yang sudah diundangkan.
Firman mengatakan, di partainya ada dua caleg DPR yang tercatat sebagai mantan napi korupsi, yakni Ketua DPD I Golkar Aceh TM Nurlif dan Ketua Harian DPD I Golkar Jawa Tengah Iqbal Wibisono. ”Saya sudah konfirmasi bahwa nama keduanya dicoret,” ujar Firman dalam Diskusi Forum Legislasi dengan tema “PKPU Larang Eks Terpidana korupsi, Apa Kabar Elite Parpol?” di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Selain kedua nama tersebut, berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada sebanyak 25 kader Golkar yang terdaftar sebagai caleg mantan napi. Sebanyak tiga di antaranya sebagai caleg DPRD Provinsi, 18 sebagai caleg DPRD Kabupaten, dan 4 caleg di DPRD Kota. Sebelumnya Bawaslu merilis total ada 199 mantan napi korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jumlah bakal caleg eks koruptor itu tersebar di 11 provinsi, 93 kabupaten, dan 12 kota.
Alasan lain, kata anggota Fraksi Golkar DPR ini, pencoretan nama-nama caleg mantan napi untuk merespon aspirasi publik. Golkar tidak mau jika tetap mencalonkan mereka maka akan timbul asumsi publik bahwa Golkar tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. ”Makanya kami minta ke KPU bila nanti PKPU dibatalkan MA maka nama-nama yang dicoret harus diberi kesempatan untuk dikembalikan. Sebenarnya saya kecewa mengapa Kemenkumham yang tahu ini bertentangan dengan konstitusi, tapi kok tetap diundangkan,” katanya.
Langkah serupa juga dilakukan PDIP. Anggota PDIP Masinton Pasaribu memastikan nama-nama caleg PDIP yang termasuk mantan napi korupsi telah dicoret. Masinton juga menegaskan bahwa untuk caleg DPR dari PDIP tidak ada mantan napi korupsi. 13 caleg PDIP yang termasuk mantan napi korupsi semuanya di daerah.
Berdasarkan hasil temuan Bawaslu bacaleg yang terindentifikasi sebagai eks koruptor di antgaranya dari Partai Gerindra (27), Golkar (25), NasDem (17), Berkarya (16), Hanura (15), PDIP (13), Demokrat (12), Perindo (12), PAN (12), PBB (11), PKB (8), PPP (7), PKPI (7), Garuda (6), PKS (5), Partai Sira (1), PSI (0), Partai Aceh (0), Partai Daerah Aceh (0), Partai Nanggroe Aceh (0), dan tidak dijelaskan partainya (5).
Masinton mengatakan pertimbangan partainya mencoret nama-nama mereka murni karena alasan administratif agar bisa diproses dalam sistem informasi partai politik (sipol) KPU. ”Pertimbangannnya biar bisa diproses Sipol. Lebih pertimbangan administrasi meskipun sebenarnya tak setuju karena anturan PKPU tidak sesuai dengan undang-undang,” katanya.
Sementara itu, bacaleg PAN yang merupakan mantan napi korupsi, Waode Nurhayati, mengatakan, setelah enam tahun menjalani vonis atas kasus suap terkait pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan tindak pidana pencucian uang atas kepemilikan uang sebesar Rp 50,5 miliar dalam rekeningnya, dirinya terpanggil kembali untuk maju sebagai caleg.
”Enam tahun vonis dan saya jalani dengan ikhlas dan tabah,” katanya. Namun, ketika proses pendaftaran sebagai bacaleg, tiba-tiba keluar PKPU No 20/2018. ”Tiba-tiba PAN menyampaikan ke saya bahwa di akhir batas waktu (pendaftaran) tidak masuk karena PKPU karena itu kami mengajukan judicial review,” tuturnya.
Wa Ode mengatakan, judicial review tersebut diajukan bukan semata-mata karena dirinya ingin menjadi anggota DPR, tapi lebih pada bagaimana agar konstitusi bisa tegak di jalan yang benar. ”Dalam analisa kami, PKPU itu cacat formil. Cacatnya karena ada dua PKPU dengan nomor yang sama dan diterbitkan di tanggal 20 Juni yang satu, kemudian yang satunya diterbitkan 2 Juli. Keduanya ditandatangani oleh ketua. Ini cacat formil,” katanya.
Selain itu, PKPU ini juga dinilai cacat materiil karena tidak ada cantolannya dalam Undang-Undang Pemilu. ”Kalau dua cacat, formil dan materiil maka apa yang mau dipertanggungjawabkan. Artinya harusnya gugur PKPU 20 ini karena syarat formil dan materil tidak terpenuhi,” katanya.
(pur)