OSO Belum Tentukan Pilihan Antara Hanura atau DPD

Jum'at, 27 Juli 2018 - 08:30 WIB
OSO Belum Tentukan Pilihan...
OSO Belum Tentukan Pilihan Antara Hanura atau DPD
A A A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang larangan pengurus partai politik (parpol) menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menuai respons langsung dari Partai Hanura.‎

Ketua Umum Partai Hanura yang juga menjabat Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) belum tentukan pilihan apakah mundur dari jabatan ketua umum Hanura atau tidak maju sebaga Bacaleg DPD. Diapun sempat menggelar Rapat Koordinasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan DPD Partai Hanura (25/7) di Jakarta‎.

Rapat tersebut guna mendengarkan pendapat dari para anggota DPP dan DPD Partai Hanura. Oso mengklaim seluruh kader Hanura menolah dia lengser dari Ketua Umum.‎ "Hampir seluruh daerah tadi tidak memberikan saya mundur. Itu masalahnya. Saya juga kan mereka yang angkat. Tentu saya tidak bisa seenak-enaknya aja untuk kepentingan pribadi saya, saya nggak mau. Hampir 34 DPD ini menolak untuk saya mengundurkan diri," ucapnya (26/7) di Jakarta.

Selain itu Dia juga menegaskan perjuangannya bersama DPD belum selesai dan harus dilanjutkan. Alasannya, daerah-daerah membutuhkan dukungan, dorongan dan bantuan DPD. "Saya harus mikir lagi karena DPD mengancam mundur semuanya jika saya mundur. Itu bisa kacau nanti," jelasnya.

‎Meski begitu OSO menyerahkan sepenuhnya pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan akan memenuhi segala keputusannya.

"Ya nanti kita lihat itu kita kan harus lihat KPU. Kalau KPU tentu mempunyai sikap karena semua rakyat sudah patuh kepada kebijakan KPU. Apa KPU terus melakukan, ya nggak mungkinlah, udah saya lihat beberapa waktu yang KPU konsisten dalam menjaga eksistensi KPU itu sendiri sebagai lembaga independen," ungkapnya.

Begitupun dengan, Ketua DPP Partai Hanura, Benny Ramdhani yang menilai putusan MK berbau politis.‎ Menurutnya ada target tertentu dibalik putusan yang hanya ditujukan untuk pengurus parpol yang mencalonkan diri di DPD.

"Ini permohonan uji materinya terlalu cepat diputuskan. Diajukan April, Juli sudah putus. Ini kan jadi tanda tanya, sebab MK sendiri punya banyak perkara yang harus diselesaikan," ucapnya di Gedung DPD.

Wakil Ketua Komite 1 DPD itu juga menilai ada unsur politik dalam keputusan MK ini dan senator berniat melaporkan hal itu ke Dewan Etik MK.‎ Menurutnya, MK salah menafsirkan Pasal 128 yang digugat dalam perkara itu. Benny menjelaskan orang yang melanggar Pasal 128 itu ialah orang yang merangkap pekerjaan, contohnya bekerja di suatu perusahaan dan tergabung dalam DPD. Menurutnya, menjadi bagian dari pengurus parpol seperti dirinya itu bukanlah pekerjaan karena tidak digaji. Untuk itu pengurus parpol pun, menurutnya, sah-sah saja menjadi caleg.

"Di mana Pasal 128 yang menjadi obyek judicial review. Nah, pasal ini secara frasa hanya berbunyi tentang pekerjaan lain. Dalam pemahaman kami, pekerjaan lain yang tidak lain yang tidak boleh merangkap sebagai ketua DPD adalah pekerjaan yang karena keahliannya dia kemudian dibayar atau mendapatkan upah atas pekerjaannya, misalkan sebagai dokter, advokat, notaris. Kalau pengurus parpol itu bukan pekerjaan," ungkapnya.

"Setiap orang yang ada di kepengurusan partai itu adalah pengabdian dan tidak ada pengurus partai yang dibayar oleh partai ketika ia duduk dalam kepengurusan partai," lanjutnya.‎

Begitupun dengan Kuasa hukum Oso, Yusril Ihza Mahendra yang menilai, pengurus partai politik (parpol) tetap boleh menjadi senator. Lantaran putusan MK yang tak berlaku retroaktif tak bisa menganulir para pengurus parpol yang telah dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon senator.

"Proses pendaftaran bakal calon anggota DPD yang sudah selesai seminggu sebelum tanggal dibacakannya putusan MK, tidaklah menyebabkan proses pendaftaran yang telah dilakukan oleh fungsionaris parpol gugur dengan sendirinya," ucapnya di Gedung DPR.

Verifikasi pencalonan anggota DPD berakhir pada 19 Juli, sedangkan putusan MK keluar 23 Juli. Yusril menambahkan, prinsip putusan MK yang tak dapat berlaku retroaktif tercantum dalam pasal 47 Undang-undang No. 4 Tahun 2014 tentang MK. Dia juga menilai janggal putusan MK yang mengeluarkan norma hukum baru. Hal itu tercantum dalam pertimbangan hukum terkait putusan itu yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi syarat baru.

"Pertimbangan hukum MK itu telah jauh melampaui kewenangan MK sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh UUD untuk menguji undang-undang terhadap UUD. MK hanya berwenang memutuskan apakah norma undang-undang yang diuji bertentangan atau tidak dengan konstitusi. MK tak dapat memberikan perintah atau arahan kepada suatu lembaga," ungkapnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1195 seconds (0.1#10.140)