Pemenang Pilkada 2018 Diminta Tak Khawatir Digugat ke MK
A
A
A
JAKARTA - Para pemenang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2018 diminta tak perlu khawatir digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terlebih, semua pihak wajib bertanggung jawab untuk menumbuhkan budaya menerima hasil pemilu yang demokratis dan percaya pada hukum pemilu yang bekerja pada setiap tahapan.
"Bagi yang menang tidak perlu was-was atau khawatir terhadap permohonan yang telah didaftarkan," ujar Praktisi Hukum Pemilu Ahmad Irawan dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/7/2018).
Dia menyarankan, agar para pemenang Pilkada Serentak 2018 yang digugat ke MK untuk mengikuti proses persidangan dan didamping oleh konsultan hukum yang kompeten, berpengalaman dan terpercaya. "Percayalah, jika selisih suara telah melebihi ambang batas prosentase, maka permohonan tersebut akan diputus dan dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK," jelasnya.
Setelah itu, kata dia, peserta yang memperoleh suara terbanyak akan ditetapkan sebagai pemenang oleh masing-masing Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau Kabupaten dan Kota. Dia mengingatkan bahwa KPU Provinsi maupun Kabupaten dan Kota telah menyelesaikan rekapitulasi dan menetapkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Di banyak wilayah pemilihan, mereka yang gagal meraih suara terbanyak langsung menerima penetapan hasil dan bahkan mengucapkan selamat pada peserta yang ditetapkan memperoleh suara terbanyak. Sikap legowo mereka wajib diapresiasi," katanya.
Akan tetapi, diakuinya ada juga calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak menerima hasil dan memiliki rencana untuk mengajukan permohonan sengketa penetapan hasil ke MK. Kata dia, ada banyak alasan mereka hendak bersengketa ke MK, umumnya alasan tersebut menyangkut terjadi kecurangan dan berbagai pelanggaran pemilu.
"Dalam sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia, berbagai kecurangan dan pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu telah dianggap selesai dan diselesaikan oleh pengawas dan penyelenggara pemilu," paparnya.
Dia melanjutkan, untuk mereka yang hendak bersengketa ke MK perlu diingatkan adanya aturan selisih ambang batas hak gugat ke MK yang besarannya sekitar 0,5% sampai dengan 2% dari total suara sah. Kata dia, besaran tersebut tergantung jumlah penduduk di wilayah tersebut.
"Jika jumlah selisihnya melebihi prosentase tersebut, sebaiknya tidak usah mengajukan sengketa karena hal tersebut akan menguras waktu, tenaga dan biaya pasangan calon. Belum lagi tensi politik dan potensi konflik yang ada di daerah," tuturnya.
Menurutnya, aturan selisih suara tersebut berlaku mengikat dan telah diberlakukan MK sejak aturan ambang batas hak gugat itu dibuat. Berbagai argumen, fakta dan banyak ahli telah dihadirkan untuk membujuk MK, tetapi hal tersebut tidak membuat MK berbalik arah atau tidak menerapkan aturan tersebut.
"Jadi jika masih ada yang mengatakan MK akan menyimpangi ketentuan tersebut, hal tersebut tidak didukung oleh rasio, fakta hukum dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi," paparnya.
Adapun untuk hasil Pilkada Serentak 2018, hanya ada Kota Tegal, Kota Cirebon dan Kabupaten Bolaangmongondow Utara yang memenuhi ambang batas hak gugat ke MK. Dengan demikian, lanjut dia, hanya pasangan calon suara terbanyak kedua dari daerah-daerah tersebut yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sengketa ke MK.
"Untuk praktik MK yang pernah menyimpangi ambang batas hak gugat dalam memutus dan mengadili perkara sengketa Kepulauan Yapen dan Intan Jaya Papua, hal tersebut terjadi karena di sana ada kejadian khusus berupa keputusan KPU Kabupaten yang cacat hukum dan tidak pernah dilakukan penetapan hasil sehingga aturan mengenai selisih ambang batas untuk menggugat tidak diterapkan," pungkasnya.
"Bagi yang menang tidak perlu was-was atau khawatir terhadap permohonan yang telah didaftarkan," ujar Praktisi Hukum Pemilu Ahmad Irawan dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/7/2018).
Dia menyarankan, agar para pemenang Pilkada Serentak 2018 yang digugat ke MK untuk mengikuti proses persidangan dan didamping oleh konsultan hukum yang kompeten, berpengalaman dan terpercaya. "Percayalah, jika selisih suara telah melebihi ambang batas prosentase, maka permohonan tersebut akan diputus dan dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK," jelasnya.
Setelah itu, kata dia, peserta yang memperoleh suara terbanyak akan ditetapkan sebagai pemenang oleh masing-masing Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau Kabupaten dan Kota. Dia mengingatkan bahwa KPU Provinsi maupun Kabupaten dan Kota telah menyelesaikan rekapitulasi dan menetapkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Di banyak wilayah pemilihan, mereka yang gagal meraih suara terbanyak langsung menerima penetapan hasil dan bahkan mengucapkan selamat pada peserta yang ditetapkan memperoleh suara terbanyak. Sikap legowo mereka wajib diapresiasi," katanya.
Akan tetapi, diakuinya ada juga calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak menerima hasil dan memiliki rencana untuk mengajukan permohonan sengketa penetapan hasil ke MK. Kata dia, ada banyak alasan mereka hendak bersengketa ke MK, umumnya alasan tersebut menyangkut terjadi kecurangan dan berbagai pelanggaran pemilu.
"Dalam sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia, berbagai kecurangan dan pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu telah dianggap selesai dan diselesaikan oleh pengawas dan penyelenggara pemilu," paparnya.
Dia melanjutkan, untuk mereka yang hendak bersengketa ke MK perlu diingatkan adanya aturan selisih ambang batas hak gugat ke MK yang besarannya sekitar 0,5% sampai dengan 2% dari total suara sah. Kata dia, besaran tersebut tergantung jumlah penduduk di wilayah tersebut.
"Jika jumlah selisihnya melebihi prosentase tersebut, sebaiknya tidak usah mengajukan sengketa karena hal tersebut akan menguras waktu, tenaga dan biaya pasangan calon. Belum lagi tensi politik dan potensi konflik yang ada di daerah," tuturnya.
Menurutnya, aturan selisih suara tersebut berlaku mengikat dan telah diberlakukan MK sejak aturan ambang batas hak gugat itu dibuat. Berbagai argumen, fakta dan banyak ahli telah dihadirkan untuk membujuk MK, tetapi hal tersebut tidak membuat MK berbalik arah atau tidak menerapkan aturan tersebut.
"Jadi jika masih ada yang mengatakan MK akan menyimpangi ketentuan tersebut, hal tersebut tidak didukung oleh rasio, fakta hukum dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi," paparnya.
Adapun untuk hasil Pilkada Serentak 2018, hanya ada Kota Tegal, Kota Cirebon dan Kabupaten Bolaangmongondow Utara yang memenuhi ambang batas hak gugat ke MK. Dengan demikian, lanjut dia, hanya pasangan calon suara terbanyak kedua dari daerah-daerah tersebut yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sengketa ke MK.
"Untuk praktik MK yang pernah menyimpangi ambang batas hak gugat dalam memutus dan mengadili perkara sengketa Kepulauan Yapen dan Intan Jaya Papua, hal tersebut terjadi karena di sana ada kejadian khusus berupa keputusan KPU Kabupaten yang cacat hukum dan tidak pernah dilakukan penetapan hasil sehingga aturan mengenai selisih ambang batas untuk menggugat tidak diterapkan," pungkasnya.
(kri)