Dua Langkah Strategis untuk Atasi Pencemaran di Sungai
A
A
A
JAKARTA - Pencemaran dialami Sungai Citarum memang demikian hebat. Setidaknya tercatat 3.236 industri yang didominasi oleh industri tekstil yang berada di kawasan Sungai Citarum ternyata 90 persen tidak memiliki Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL).
Alhasil, sekurang-kurangnya sebanyak 280 ton limbah kimia berbahaya dibuang ke dalam aliran Sungai Citarum setiap harinya. Tak heran, kadar mercuri dalam ikan budidaya (ikan mas dan lele) di Citarum jauh melebihi ambang batas aman.
Tindakan tegas terhadap pabrik-pabrik yang nakal tersebut terus dilakukan oleh Satgas Citarum Harum. Setidaknya sejak awal 2018 lalu satu per satu pabrik yang tak tertib mendapatkan hukuman yang setimpal, mulai disegel atau dicabut operasionalnya, atau ditutup lubang pembuangan limbah pabriknya.
Pertengahan Januari 2018 lalu, misalnya. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat (Jabar) menutup sementara tiga perusahaan di Kabupaten Bandung.
Penutupan dilakukan lantaran ketiganya diduga membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke saluran yang bermuara ke Sungai Citarum. Ketiga perusahaan tersebut yakni Xpress Laundry, Ciharuman Laundry, dan Elvito Washing.
Pertengahan Maret 2018, Satreskrim Polres Purwakarta, Jawa Barat juga telah mengamankan RSH pemilik PT Emas Rusyati yang beralamat di Kampung Ciseuti Desa Tajur Sindang Kecamatan Sukatani Kabupaten Purwakarta. Perusahaan ini diduga menggunakan bahan kimia berbahaya jenis mercury dalam pengolahan emas yang dibuang langsung ke aliran Sungai Citarum.
Kasat Reskrim Polres Purwakarta, AKP Agtha Bhuwana mengungkapkan bahwa, PT Mas Rusyati telah melakukan pengolahan emas dengan menggunakan bahan Mercury di daerah Ciseuti Purwakarta dan sudah berlangsung sejak tahun 1992.
Di awal Mei 2018, Ditreskrimsus Polda Jabar juga menutup pabrik PT CM 2000 yang berlokasi di Jalan Cibaligo, Blok Mancong, RT 02/01, Desa Melong, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Penutupan pabrik tersebut setelah Subdit 4 Ditreskrimsus Polda Jabar melakukan pengecekan terhadap dugaan pelanggaran tindak pidana di bidang pengelolaan lingkungan hidup, di lingkungan pabrik tersebut.
Setelah melakukan pengecekan terhadap pabrik tersebut, anggota Ditreskrimsus menemukan pembuangan air limbah hasil produksi langsung yang dibuang ke media lingkungan atau ke aliran sungai.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Pol Samudi, mengatakan adanya pembuangan limbah secara langsung ke aliran sungai itu karena pabrik tersebut tidak memiliki IPAL.
PT CM 2000 tersebut bergerak dalam bidang textile pencelupan atau pencucian kain yang telah berdiri sejak pada tahun 2000.
"Selain itu PT CM 2000 juga tidak dapat menunjukan dokumen perizinan, tidak memiliki IPAL, jadi air limbah sisa hasil produksi langsung dibuang ke media lingkungan," kata Samudi.
Di pengujung Mei 2018, Satgas Citarum Harum Sektor 21 Cimahi juga menutup saluran limbah pabrik PT Pangjaya Mulia di Kelurahan Utama, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Hal ini dilakukan karena PT Pangjaya Mulia sudah beberapa kali kedapatan membuang limbah kotor ke sungai.
Tindakan-tindakan tegas yang dilakukan pihak keamanan terhadap perusahaan-perusahaan yang telah membuang limbah industrinya ke Sungai Citarum, menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Profesor Drh Wiku Adisasmito MSc PhD seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu.
"Saat ini perusahaan-perusahaan yang didirikan di sepanjang aliran Sungai Citarum sudah lebih dari 3000 pabrik, perusahaan tekstil cukup dominan. Tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membenahi kinerja lingkungan pabrik-pabrik tersebut," ujar Wiku.
Untuk itu, Wiku berharap pemilik-pemilik perusahaan itu sendiri yang seharusnya memiliki kesadaran membuat IPAL jika tidak ingin nasib pabriknya akan sama seperti pabrik-pabrik yang sudah dihentikan izin operasinya.
Wiku memang memiliki perhatian yang tinggi terhadap normalisasi Sungai Citarum. Saat ini ia ikut membantu program Citarum Harum bersama Sesjen Wantannas Letjen TNI Doni Monardo.
Gerakan menyelamatkan Sungai Citarum sebetulnya sudah dilakukan sejak akhir tahun 2017 lalu saat Doni Monardo masih menjabat sebagai Pangdam 3 Siliwangi. Kini, gerakan Citarum Harum telah dicanangkan sebagai gerakan nasional yang telah diperkuat oleh Presiden Jokowi dengan Perpres no.15 tahun 2018.
"Jadi, masalah Sungai Citarum bukan cuma persoalan masyarakat Jawa Barat. Justru yang menerima dampak terberat adalah masyarakat Jakarta dan sekitarnya karena selama ini menggunakan air dari Sungai Citarum untuk minum," jelas Wiku Adisasmito.
Wiku pun mengingatkan, krisis yang dialami Sungai Citarum bukan hanya disebabkan oleh limbah pabrik yang dibuang langsung tanpa diolah. Dari penelitian yang telah dilakukan, menurunnya kualitas air Sungai Citarum, limbah pabrik andilnya sekitar 30%.
Sedangkan 70% lainnya disebabkan oleh faktor lain, yang terbesar adalah kotoran hewan ternak serta kotoran manusia yang juga dibuang langsung ke Sungai Citarum. Untuk mengatasi persoalan kotoran hewan yang dibuang langsung ke sungai mulai di daerah Danau Cisanti, Wiku mengusulkan agar ada kerja sama antara pimpinan daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta.
"Mungkin akan bijaksana jika Pemda DKI Jakarta bersedia memberikan hibah ke Pemda Jabar untuk mengelola kotoran hewan ternak tersebut agar diolah menjadi pupuk organik. Hasil produksi pupuk tersebut nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan peternak dan langsung hasilnya dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan DKI Jakarta untuk merawat tanaman-tanaman yang ada di Ibukota menjadi asri. Beban kerja PAM DKI pun menjadi lebih ringan," ungkap Wiku.
Alhasil, sekurang-kurangnya sebanyak 280 ton limbah kimia berbahaya dibuang ke dalam aliran Sungai Citarum setiap harinya. Tak heran, kadar mercuri dalam ikan budidaya (ikan mas dan lele) di Citarum jauh melebihi ambang batas aman.
Tindakan tegas terhadap pabrik-pabrik yang nakal tersebut terus dilakukan oleh Satgas Citarum Harum. Setidaknya sejak awal 2018 lalu satu per satu pabrik yang tak tertib mendapatkan hukuman yang setimpal, mulai disegel atau dicabut operasionalnya, atau ditutup lubang pembuangan limbah pabriknya.
Pertengahan Januari 2018 lalu, misalnya. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat (Jabar) menutup sementara tiga perusahaan di Kabupaten Bandung.
Penutupan dilakukan lantaran ketiganya diduga membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke saluran yang bermuara ke Sungai Citarum. Ketiga perusahaan tersebut yakni Xpress Laundry, Ciharuman Laundry, dan Elvito Washing.
Pertengahan Maret 2018, Satreskrim Polres Purwakarta, Jawa Barat juga telah mengamankan RSH pemilik PT Emas Rusyati yang beralamat di Kampung Ciseuti Desa Tajur Sindang Kecamatan Sukatani Kabupaten Purwakarta. Perusahaan ini diduga menggunakan bahan kimia berbahaya jenis mercury dalam pengolahan emas yang dibuang langsung ke aliran Sungai Citarum.
Kasat Reskrim Polres Purwakarta, AKP Agtha Bhuwana mengungkapkan bahwa, PT Mas Rusyati telah melakukan pengolahan emas dengan menggunakan bahan Mercury di daerah Ciseuti Purwakarta dan sudah berlangsung sejak tahun 1992.
Di awal Mei 2018, Ditreskrimsus Polda Jabar juga menutup pabrik PT CM 2000 yang berlokasi di Jalan Cibaligo, Blok Mancong, RT 02/01, Desa Melong, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Penutupan pabrik tersebut setelah Subdit 4 Ditreskrimsus Polda Jabar melakukan pengecekan terhadap dugaan pelanggaran tindak pidana di bidang pengelolaan lingkungan hidup, di lingkungan pabrik tersebut.
Setelah melakukan pengecekan terhadap pabrik tersebut, anggota Ditreskrimsus menemukan pembuangan air limbah hasil produksi langsung yang dibuang ke media lingkungan atau ke aliran sungai.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Kombes Pol Samudi, mengatakan adanya pembuangan limbah secara langsung ke aliran sungai itu karena pabrik tersebut tidak memiliki IPAL.
PT CM 2000 tersebut bergerak dalam bidang textile pencelupan atau pencucian kain yang telah berdiri sejak pada tahun 2000.
"Selain itu PT CM 2000 juga tidak dapat menunjukan dokumen perizinan, tidak memiliki IPAL, jadi air limbah sisa hasil produksi langsung dibuang ke media lingkungan," kata Samudi.
Di pengujung Mei 2018, Satgas Citarum Harum Sektor 21 Cimahi juga menutup saluran limbah pabrik PT Pangjaya Mulia di Kelurahan Utama, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Hal ini dilakukan karena PT Pangjaya Mulia sudah beberapa kali kedapatan membuang limbah kotor ke sungai.
Tindakan-tindakan tegas yang dilakukan pihak keamanan terhadap perusahaan-perusahaan yang telah membuang limbah industrinya ke Sungai Citarum, menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Profesor Drh Wiku Adisasmito MSc PhD seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu.
"Saat ini perusahaan-perusahaan yang didirikan di sepanjang aliran Sungai Citarum sudah lebih dari 3000 pabrik, perusahaan tekstil cukup dominan. Tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membenahi kinerja lingkungan pabrik-pabrik tersebut," ujar Wiku.
Untuk itu, Wiku berharap pemilik-pemilik perusahaan itu sendiri yang seharusnya memiliki kesadaran membuat IPAL jika tidak ingin nasib pabriknya akan sama seperti pabrik-pabrik yang sudah dihentikan izin operasinya.
Wiku memang memiliki perhatian yang tinggi terhadap normalisasi Sungai Citarum. Saat ini ia ikut membantu program Citarum Harum bersama Sesjen Wantannas Letjen TNI Doni Monardo.
Gerakan menyelamatkan Sungai Citarum sebetulnya sudah dilakukan sejak akhir tahun 2017 lalu saat Doni Monardo masih menjabat sebagai Pangdam 3 Siliwangi. Kini, gerakan Citarum Harum telah dicanangkan sebagai gerakan nasional yang telah diperkuat oleh Presiden Jokowi dengan Perpres no.15 tahun 2018.
"Jadi, masalah Sungai Citarum bukan cuma persoalan masyarakat Jawa Barat. Justru yang menerima dampak terberat adalah masyarakat Jakarta dan sekitarnya karena selama ini menggunakan air dari Sungai Citarum untuk minum," jelas Wiku Adisasmito.
Wiku pun mengingatkan, krisis yang dialami Sungai Citarum bukan hanya disebabkan oleh limbah pabrik yang dibuang langsung tanpa diolah. Dari penelitian yang telah dilakukan, menurunnya kualitas air Sungai Citarum, limbah pabrik andilnya sekitar 30%.
Sedangkan 70% lainnya disebabkan oleh faktor lain, yang terbesar adalah kotoran hewan ternak serta kotoran manusia yang juga dibuang langsung ke Sungai Citarum. Untuk mengatasi persoalan kotoran hewan yang dibuang langsung ke sungai mulai di daerah Danau Cisanti, Wiku mengusulkan agar ada kerja sama antara pimpinan daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta.
"Mungkin akan bijaksana jika Pemda DKI Jakarta bersedia memberikan hibah ke Pemda Jabar untuk mengelola kotoran hewan ternak tersebut agar diolah menjadi pupuk organik. Hasil produksi pupuk tersebut nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan peternak dan langsung hasilnya dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan DKI Jakarta untuk merawat tanaman-tanaman yang ada di Ibukota menjadi asri. Beban kerja PAM DKI pun menjadi lebih ringan," ungkap Wiku.
(maf)