Hasil Pilkada 2018 Dinilai Bisa Ubah Peta Politik 2019
A
A
A
JAKARTA - Merujuk hasil perolehan suara sementara versi hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, beberapa partai besar kalah dalam pertarungan Pilkada tahun ini.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, hanya menang di enam provinsi dari 17 pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Demikian halnya Gerindra, hanya menguasai tiga provinsi.
Menurut pengamat politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, khusus untuk Pilkada 2018 tidak bisa sepenuhnya dijadikan tolok ukur kesuksesan atau kegagalan tokoh partai politik (Parpol) di Pilpres mendatang.
"Apakah ini jadi tolok ukur untuk Pak Jokowi dan Prabowo? Tidak juga," kata Pangi saat dihubungi wartawan, Jumat (29/6/2018).
Dia menjelaskan, kemenangan dan kekalahan parpol pengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan satu-satu acuan, lantaran tidak banyak kader inti partai yang bertarung di Pilkada.
Parpol dalam pilkada, kata Pangi, hanya sebatas perahu yang disewa oleh kandidat-kandidat yang mayoritas bukan kader Partai.
"Kalau misalnya Pak Djarot di Sumut menang, itu baru menang sesungguhnya, karena dia langsung ditugaskan PDIP, dan dia kader inti partai. Bukan kader naturalisasi," ujarnya.
Kekalahan PDIP di Pilkada 2018, menurut dia, tidak bisa disimpulkan menjadi penghambat kemenangan Jokowi di 2019. Mengingat kandidat-kandidat yang mengalahkan jagoan-jagoan PDIP di pilkada juga banyak yang bukan kader partai nonpemerintah.
Beberapa di antaranya bahkan punya kedekatan personal dengan Jokowi. Dia mencontohan Pilkada Jawa Timur dan Jawa Barat. Hasil hitung cepat, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak memenangkan Pilkada Jatim dan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum di Jawa Barat.
"Bu Khofifah bisa jadi kabar baik bagi Pak Jokowi, karena Khofifah bukan kader partai. Ridwan Kamil juga walaupun diusung Nasdem tapi tidak ada deklarasi kalau dia jadi kader (Nasdem)," jelas dia.
Selain itu, secara personal Khofifah dan Ridwan Kamil memiliki kedekatan dengan Jokowi. "Ganjar sudah dipegang, Khofifah mungkin sudah ada deal deal saat berhenti jadi menteri. Ridwan Kamil juga pernah mengatakan, kalau saya terpilih saya siap memenangkan Jokowi di Jawa Barat. Jadi saya pikir Pak Jokowi masih aman. Tinggal bicara tentang cawapres," ujarnya.
Jika Jokowi aman, bagaimana dengan calon-calon lain, termasuk calon-calon dari luar partai? Pangi berpendapat, calon-calon yang berasal dari Partai Politik masih memiliki banyak peluang. Dia menegaskan, tidak ada korelasi mutlak antara Pilkada dengan Pilpres.
"Kecuali calon-calon dari luar partai agak sulit," tegasnya.
Sejumlah calon dari luar partai yang disebut-bakal bakal ikut meramaikan Pilpres 2019, antara lain Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Chairul Tanjung, Susi Pudjiastusi dan lain.
"Peluang dilirik partai, saya lihat belum ada. Kalau komunikasi, penjajakan itu biasa, tapi yang serius enggak ada," sambungnya.
Alasan partai tidak tertarik dengan tokoh-tokoh dari luar, sebab mereka memiliki calon yang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari.
"Walaupun PKS dengan Pak Prabowo misalnya, apa PKS akan rela memberikan kursinya ke Pak Gatot Nurmantyo. Saya pikir tidak, lebih baik untuk 9 kadernya yang diusulkan jadi cawapres Prabowo," ungkapnya.
Demikian halnya PAN. Menurut Pangi, PAN memiliki Amien Rais yang juga masih berambisi maju.
"Jadi kursi mana yang mau dipakai calon-calon ini, termasuk Pak Gatot? Satu aja partai dapat itu sudah jadi modal, tapi ini satu pun enggak ada. Jadi kendalanya partai politik. Selain elektabilitas juga rendah," tutup dia.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, hanya menang di enam provinsi dari 17 pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Demikian halnya Gerindra, hanya menguasai tiga provinsi.
Menurut pengamat politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, khusus untuk Pilkada 2018 tidak bisa sepenuhnya dijadikan tolok ukur kesuksesan atau kegagalan tokoh partai politik (Parpol) di Pilpres mendatang.
"Apakah ini jadi tolok ukur untuk Pak Jokowi dan Prabowo? Tidak juga," kata Pangi saat dihubungi wartawan, Jumat (29/6/2018).
Dia menjelaskan, kemenangan dan kekalahan parpol pengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan satu-satu acuan, lantaran tidak banyak kader inti partai yang bertarung di Pilkada.
Parpol dalam pilkada, kata Pangi, hanya sebatas perahu yang disewa oleh kandidat-kandidat yang mayoritas bukan kader Partai.
"Kalau misalnya Pak Djarot di Sumut menang, itu baru menang sesungguhnya, karena dia langsung ditugaskan PDIP, dan dia kader inti partai. Bukan kader naturalisasi," ujarnya.
Kekalahan PDIP di Pilkada 2018, menurut dia, tidak bisa disimpulkan menjadi penghambat kemenangan Jokowi di 2019. Mengingat kandidat-kandidat yang mengalahkan jagoan-jagoan PDIP di pilkada juga banyak yang bukan kader partai nonpemerintah.
Beberapa di antaranya bahkan punya kedekatan personal dengan Jokowi. Dia mencontohan Pilkada Jawa Timur dan Jawa Barat. Hasil hitung cepat, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak memenangkan Pilkada Jatim dan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum di Jawa Barat.
"Bu Khofifah bisa jadi kabar baik bagi Pak Jokowi, karena Khofifah bukan kader partai. Ridwan Kamil juga walaupun diusung Nasdem tapi tidak ada deklarasi kalau dia jadi kader (Nasdem)," jelas dia.
Selain itu, secara personal Khofifah dan Ridwan Kamil memiliki kedekatan dengan Jokowi. "Ganjar sudah dipegang, Khofifah mungkin sudah ada deal deal saat berhenti jadi menteri. Ridwan Kamil juga pernah mengatakan, kalau saya terpilih saya siap memenangkan Jokowi di Jawa Barat. Jadi saya pikir Pak Jokowi masih aman. Tinggal bicara tentang cawapres," ujarnya.
Jika Jokowi aman, bagaimana dengan calon-calon lain, termasuk calon-calon dari luar partai? Pangi berpendapat, calon-calon yang berasal dari Partai Politik masih memiliki banyak peluang. Dia menegaskan, tidak ada korelasi mutlak antara Pilkada dengan Pilpres.
"Kecuali calon-calon dari luar partai agak sulit," tegasnya.
Sejumlah calon dari luar partai yang disebut-bakal bakal ikut meramaikan Pilpres 2019, antara lain Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Chairul Tanjung, Susi Pudjiastusi dan lain.
"Peluang dilirik partai, saya lihat belum ada. Kalau komunikasi, penjajakan itu biasa, tapi yang serius enggak ada," sambungnya.
Alasan partai tidak tertarik dengan tokoh-tokoh dari luar, sebab mereka memiliki calon yang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari.
"Walaupun PKS dengan Pak Prabowo misalnya, apa PKS akan rela memberikan kursinya ke Pak Gatot Nurmantyo. Saya pikir tidak, lebih baik untuk 9 kadernya yang diusulkan jadi cawapres Prabowo," ungkapnya.
Demikian halnya PAN. Menurut Pangi, PAN memiliki Amien Rais yang juga masih berambisi maju.
"Jadi kursi mana yang mau dipakai calon-calon ini, termasuk Pak Gatot? Satu aja partai dapat itu sudah jadi modal, tapi ini satu pun enggak ada. Jadi kendalanya partai politik. Selain elektabilitas juga rendah," tutup dia.
(maf)