Pengamat: Ada Pergeseran Politik Nasional Melihat Hasil Pilkada 2018
A
A
A
JAKARTA - Direktur Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus mengatakan, pasca pemungutan suara Pilkada serentak 2018 yang berlangsung kemarin, koalisi politik yang ingin mengganti presiden pada 2019 seakan kehilangan arah karena banyak calon yang diunggulkan oleh koalisi tersebut berguguran.
"Pilkada Jawa menunjukkan bahwa kandidat yang menang adalah pasangan calon yang secara politik berdiri di sebelah Jokowi," kata Sulthan saat dihubungi Sindonews, Kamis (28/6/2018).
Kendati begitu, Sulthan melihat bahwa hasil pilkada serentak 2018 tidak serta merta dapat dijadikan tolok ukur menuju pilpres 2019. Ada banyak faktor yang membuat calon tertentu kalah dan atau menang dalam pilkada, begitu sebaliknya, menghadapi pilpres 2019. Menurutnya, beda pasangan dan beda tingkatan level pertarungan maka, berbeda pula strategi pemenangannya.
Sulthan menganggap, secara kasat mata jika berkaca pada hasil pilkada 2018 Prabowo Subianto dan koalisi strategisnya menjadi lebih berat menuju pilpres. Namun dengan perbedaan suara yang tidak terlalu berjarak jauh membuat peluang Prabowo dan koalisi nasional masih tebuka lebar.
"Dalam politik elektoral, berjarak satu suara memang menjadi masalah, namun semata-mata menjadikan pilkada 2018 sebagai tolak ukur dan terlena dengan kemenangan semu tersebut adalah langkah keliru," ujar pengamat politik asal UIN Jakarta ini.
Menurut Sulthan, hal tersebut masih dubuktikan dengan kebijakan koalisi partai di tingkat nasional yang tidak selamanya diikuti oleh elit partai di tingkatan lokal. Lulusan Hukum Universitas Gadjah Mada ini menganggap ada pergeseran langkah politik antara nasional dan lokal, di mana semakin dinamis peta politik yang berkembang, di situlah peluang Prabowo untuk pilpres 2019 masih terbuka lebar. Hal demikian pun berlaku bagi figur di luar Prabowo dan Petahana Joko Widodo.
"Harus diingat bahwa dalam setiap kontestasi kursi eksekutif, kualitas propaganda masing-masing paslon presiden adalah kunci kemenangan. Saya melihat Prabowo masih memegang kunci-kunci tersebut, sehingga pertarungan pilpres belum bisa ditarik kesimpulan hanya berdasarkan hasil pilkada 2018 semata," pungkasnya.
"Pilkada Jawa menunjukkan bahwa kandidat yang menang adalah pasangan calon yang secara politik berdiri di sebelah Jokowi," kata Sulthan saat dihubungi Sindonews, Kamis (28/6/2018).
Kendati begitu, Sulthan melihat bahwa hasil pilkada serentak 2018 tidak serta merta dapat dijadikan tolok ukur menuju pilpres 2019. Ada banyak faktor yang membuat calon tertentu kalah dan atau menang dalam pilkada, begitu sebaliknya, menghadapi pilpres 2019. Menurutnya, beda pasangan dan beda tingkatan level pertarungan maka, berbeda pula strategi pemenangannya.
Sulthan menganggap, secara kasat mata jika berkaca pada hasil pilkada 2018 Prabowo Subianto dan koalisi strategisnya menjadi lebih berat menuju pilpres. Namun dengan perbedaan suara yang tidak terlalu berjarak jauh membuat peluang Prabowo dan koalisi nasional masih tebuka lebar.
"Dalam politik elektoral, berjarak satu suara memang menjadi masalah, namun semata-mata menjadikan pilkada 2018 sebagai tolak ukur dan terlena dengan kemenangan semu tersebut adalah langkah keliru," ujar pengamat politik asal UIN Jakarta ini.
Menurut Sulthan, hal tersebut masih dubuktikan dengan kebijakan koalisi partai di tingkat nasional yang tidak selamanya diikuti oleh elit partai di tingkatan lokal. Lulusan Hukum Universitas Gadjah Mada ini menganggap ada pergeseran langkah politik antara nasional dan lokal, di mana semakin dinamis peta politik yang berkembang, di situlah peluang Prabowo untuk pilpres 2019 masih terbuka lebar. Hal demikian pun berlaku bagi figur di luar Prabowo dan Petahana Joko Widodo.
"Harus diingat bahwa dalam setiap kontestasi kursi eksekutif, kualitas propaganda masing-masing paslon presiden adalah kunci kemenangan. Saya melihat Prabowo masih memegang kunci-kunci tersebut, sehingga pertarungan pilpres belum bisa ditarik kesimpulan hanya berdasarkan hasil pilkada 2018 semata," pungkasnya.
(pur)